Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jauhkan Pemuda dari Paham ISIS

27 Oktober 2017   09:03 Diperbarui: 27 Oktober 2017   09:50 1493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pemuda dari berbagai etnis setelah menyatakan komitmennya berfoto bersama. Foto | www.getscoop.com

 Keras kepala, bisa pula disebut kepala batu, adalah salah satu penyakit yang sulit diobati. Orang desa sering menyebutnya ketika seseorang sudah terjangkit penyakit ini sulit untuk diberi nasihat. Kalaupun didengar, seketika bagai masuk kuping kiri lantas keluar dari kuping kanan atau sebaliknya.

Orang berpenyakit seperti ini sangat tegar tengkuk. Sebab, memunjam istilah ulama, jenis manusia seperti itu hatinya sudah kelam. Hitam pekat lantaran tak pernah disentuh nilai-nilai universal, jauh dari ajaran agama sehingga etika dianggapnya sebagai sekedar instrumen saja dalam melakoni kehidupan.

Generasi muda, yang berumur 17- 37 tahun, atau kelahiran 1980- 2000-an tergolong manusia-manusia yang masih bisa membuka "pintu hati". Apa dasarnya? Lagi-lagi menurut para ulama di kalangan kampung saya. Katanya, seseorang yang sudah berusia 40 tahun ke atas jauh lebih sulit untuk diberi nasihat ketimbang usia 40 tahun ke bawah.

Entah benar atau tidak, itu tidak terlalu penting bagi saya. Hanya saja pemuda yang usianya kini dalam kisaran 17 - 37 tahun dan disebut generasi millennial (atau millennials) punya tantangan jauh lebih berat dibanding generasi sebelumnya.

Karenannya, tak heran, para orang tua generasi tempo doeloe sering mengingatkan, - dengan kalimat sederhana - , didiklah anak-anakmu karena tantangan yang mereka hadapi jauh lebih berat daripada dirimu sendiri di kemudian hari. Nyatanya, kata-kata tersebut masih kuat membekas, terutama pada diri penulis.

Dulu, ketika kita sekolah, belum ada komputer dan internet. Ketika memasuki dunia kerja, para orang tua belajar lagi menyesuaikan dengan kemajuan zaman. Tak perlu malu, belajar dengan anak tentang penggunakan internet dengan segala fiturnya.

***

Untuk pemuda masa kini, atau generasi millenial itu, tentu tantangannya berbeda. Selain tuntutan untuk terus mengikuti kemajuan Informasi Teknologi (IT) yang sedemikian pesat, para pemuda juga dihadapkan kepada paham yang berlawanan dengan sendi-sendi semangat pemuda, yaitu radikalisme disamping makin kuatnya pengaruh narkoba hingga korupsi.

Sumpah Pemuda, yang berbunyi Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Sumpah pemuda itu perlu terus menerus disegarkan secara berkelanjutan. Sejarah kepemudaan Indonesia penting diaktualaisasikan, dikobarkan api semangatnya mengingat radikalisme kini menjadi "paham" yang berpotensi merusak generasi selanjutnya.

Hal ini sejalan dengan komitmen pemuda itu sendiri yang ditegaskan melalui keputusan Kongres Pemuda Kedua yang diselenggarakan dua hari, 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Keputusan ini menegaskan cita-cita akan ada "tanah air Indonesia", "bangsa Indonesia", dan "bahasa Indonesia".

***

Jika saja komitmen sumpah pemuda itu dipegang erat, potensi ancaman radikalisme dapat diredam secara bertahap. Terlebih kini alumni ISIS kini sudah kembali ke negara asal masing-masing. Soufan Center,  sebuah lembaga think tank yang berbasis di AS. seperti dikutip Republika, menyebut sekitar 5.600 militan asing ISIS telah kembali ke negara asal mereka masing-masing.

Mereka mencakup 400 militan dari total 3.417 militan asal Rusia; 760 dari total 3.244 militan asal Arab Saudi; 800 militan dari total 2.926 militan asal Tunisia; 271 militan dari 1.910 militan asal Prancis, dan setengah dari 850 orang yang meninggalkan Inggris.

Disebut,  33 negara telah melaporkan kedatangan para militan itu dalam dua tahun terakhir. Hal tersebut disebabkan mereka kehilangan wilayah di Irak dan Suriah. Hanya tak disebut sudah berapa banyak anggota ISIS asal Indonesia yang sudah kembali. Bagi saya, ISIS yang telah berhasil "merayu" pemuda Indonesia harus dipandang punya potensi menebarkan kekerasan. Ini harus dihindari.

Bagaimana caranya?

Jadilah orang tua sejati. Siapa pun dia, entah berpendidikan tinggi hingga rendah, warga berkemampuan secara ekonomi, birokrat, politisi hingga tokoh masyarakat, agama, apa lagi ulama dituntut untuk membuka diri menerima pemuda yang kembali ke Tanah Air setelah mereka keluar dari ISIS.

Sekeras apa pun dia, sekuat apa pun paham dan keyakinan tertanam di hati, bila dilakukan pendekatan dengan baik dan ikhlas -- harus ada keyakinan -- bahwa semua itu akan membuahkan hasil. Nilai universal, ajaran kebaikan tak akan padam sepanjang zaman. Menjauhkan pemuda dari radikalisme kini menjadi bagian terpenting di negeri tercinta ini.

Selamat hari pemuda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun