Keras kepala, bisa pula disebut kepala batu, adalah salah satu penyakit yang sulit diobati. Orang desa sering menyebutnya ketika seseorang sudah terjangkit penyakit ini sulit untuk diberi nasihat. Kalaupun didengar, seketika bagai masuk kuping kiri lantas keluar dari kuping kanan atau sebaliknya.
Orang berpenyakit seperti ini sangat tegar tengkuk. Sebab, memunjam istilah ulama, jenis manusia seperti itu hatinya sudah kelam. Hitam pekat lantaran tak pernah disentuh nilai-nilai universal, jauh dari ajaran agama sehingga etika dianggapnya sebagai sekedar instrumen saja dalam melakoni kehidupan.
Generasi muda, yang berumur 17- 37 tahun, atau kelahiran 1980- 2000-an tergolong manusia-manusia yang masih bisa membuka "pintu hati". Apa dasarnya? Lagi-lagi menurut para ulama di kalangan kampung saya. Katanya, seseorang yang sudah berusia 40 tahun ke atas jauh lebih sulit untuk diberi nasihat ketimbang usia 40 tahun ke bawah.
Entah benar atau tidak, itu tidak terlalu penting bagi saya. Hanya saja pemuda yang usianya kini dalam kisaran 17 - 37 tahun dan disebut generasi millennial (atau millennials) punya tantangan jauh lebih berat dibanding generasi sebelumnya.
Karenannya, tak heran, para orang tua generasi tempo doeloe sering mengingatkan, - dengan kalimat sederhana - , didiklah anak-anakmu karena tantangan yang mereka hadapi jauh lebih berat daripada dirimu sendiri di kemudian hari. Nyatanya, kata-kata tersebut masih kuat membekas, terutama pada diri penulis.
Dulu, ketika kita sekolah, belum ada komputer dan internet. Ketika memasuki dunia kerja, para orang tua belajar lagi menyesuaikan dengan kemajuan zaman. Tak perlu malu, belajar dengan anak tentang penggunakan internet dengan segala fiturnya.
***
Untuk pemuda masa kini, atau generasi millenial itu, tentu tantangannya berbeda. Selain tuntutan untuk terus mengikuti kemajuan Informasi Teknologi (IT) yang sedemikian pesat, para pemuda juga dihadapkan kepada paham yang berlawanan dengan sendi-sendi semangat pemuda, yaitu radikalisme disamping makin kuatnya pengaruh narkoba hingga korupsi.
Sumpah Pemuda, yang berbunyi Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Sumpah pemuda itu perlu terus menerus disegarkan secara berkelanjutan. Sejarah kepemudaan Indonesia penting diaktualaisasikan, dikobarkan api semangatnya mengingat radikalisme kini menjadi "paham" yang berpotensi merusak generasi selanjutnya.
Hal ini sejalan dengan komitmen pemuda itu sendiri yang ditegaskan melalui keputusan Kongres Pemuda Kedua yang diselenggarakan dua hari, 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Keputusan ini menegaskan cita-cita akan ada "tanah air Indonesia", "bangsa Indonesia", dan "bahasa Indonesia".