Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Negara Hadir Perkuat Sertifikasi Halal

14 Oktober 2017   20:40 Diperbarui: 18 Oktober 2017   19:56 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menag Lukman Hakim Saifuddin tengah menjelaskan prihal hadirnya BPJPH. Foto | Kemenag

Kehadiran Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sejatinya memperkuat sertifikasi halal itu yang selama ini ditangani oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hal ini merupakan salah satu wujud negara hadir memperkuat sertifikasi halal.

Sertifikasi halal selama ini sifatnya voluntary dan ditingkatkan menjadi obligatory, sesuatu diwajibkan atas dasar undang-undang, untuk kemaslahatan seluruh bangsa.

Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, BPJPH adalah sebagai badan baru di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag). Hadirnya BPJPH membawa sebuah perubahan besar khususnya dalam pengembangan industri halal yang akan bergulir di Tanah Air, seperti harapan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin ketika peresmian BPJPH di Jakarta (11/10/2017) silam. 

Sertifikasi halal di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Dimulai dari labelisasi atas produk nonhalal oleh Departemen Kesehatan tahun 1976. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat itu tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No 280 tanggal 10 November 1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan Pada Makanan Yang Mengandung Bahan Berasal Dari Babi.

Surat Keputusan yang ditanda-tangani Menteri Kesehatan Prof. Dr. G.A. Siwabessy ketika itu, mengharuskan semua makanan dan minuman yang mengandung unsur babi ditempeli label bertuliskan "mengandung babi" dan diberi gambar seekor babi utuh berwarna merah di atas dasar putih.

Konsultan The Fatwa Center Jakarta M. Fuad Nasar menyebut, proses penerbitan Sertifikasi Halal saat itu ditangani oleh MUI dengan terbentuknya Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM-MUI) pada 1989. Fondasi awal Jaminan Produk Halal di Indonesia digariskan sejak era kepemimpinan Ketua Umum MUI K.H. Hasan Basri, dengan Ketua LPPOM MUI periode yang pertama ialah Prof. Dr. Ir. M. Amin Aziz dan kemudian Prof. Dr. Hj. Aisjah Girindra.

UU Jaminan Produk Halal mengatur kewenangan penerbitan sertifikat halal oleh pemerintah dalam hal ini Kemenag. Pascaberoperasinya BPJPH nantinya kewenangan MUI tetap penting dan strategis, yaitu memberikan fatwa penetapan kehalalan suatu produk yang kemudian disampaikan kepada BPJPH sebagai dasar penerbitan Sertifikat Halal.

Saat peluncuran BPJPH, Ketua MUI hadir. Foto | Kemenag.
Saat peluncuran BPJPH, Ketua MUI hadir. Foto | Kemenag.
Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh MUI selama ini tetap berlaku sampai jangka waktunya habis. Sinergi dan kerjasama BPJPH dengan MUI antara lain dalam hal Sertifikasi Auditor Syariah, Penetapan Kehalalan Produk, dan Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).  

Mantan Wakil Sekretaris BAZNAS melihat bahwa semua itu merupakan substansi yang amat penting. Sebab, setiap muslim pada prinsipnya diperintahkan dalam ajaran Islam supaya memilih konsumsi yang halal dan thayyib (baik), atau lebih populer disebut HalalituBaik serta menjauhi yang haram demi untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani.

Produk halal dewasa ini bukan hanya makanan, minuman, obat-obatan, melainkan meliputi produk sandang dan bahkan pariwisata halal. Isu halal dewasa ini menjadi isu ekonomi yang mendapat perhatian luas dan universal, sama seperti isu ekonomi syariah.

Ketua Majelis Ulama Indonesia KH. Ma'ruf Amin mengakui, saat ini sertifikasi halal sudah menjadi 'trend' kehidupan global. Program jaminan produk halal semula berangkat dari upaya perlindungan umat (himayatul ummah) mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak halal. Kini, bukan hanya sebagai perlindungan, jaminan produk halal juga telah menjadi ajang bisnis dunia.

Kewenangan penerbitan sertifikat halal oleh Kemenag merupakan penguatan dari sistem yang sudah ada. Dalam konteks ekonomi global, industri halal kini menjadi 'trend' dunia. 'Booming' industri halal saat ini sedang terjadi. Potensi industri halal di Indonesia relatif sangat besar dengan angka pertumbuhan rata-rata berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi secara umum. Sebagaimana dirilis dalam Global Islamic Economy Indicator 2017, Indonesia masuk 10 besar negara konsumen industri halal terbesar di dunia.

Indonesia merupakan pusat halal dunia. Bahkan, lembaga halal food dunia berada di Indonesia, dan diketuai oleh orang Indonesia juga. Dengan diresmikannya BPJPH, diharapkan penyelenggaraannya (jaminan produk halal) atau HalalituBaik akan lebih baik ke depan.

"Nah, ke depan seharusnya kita berupaya agar Indonesia menjadi negara produsen halal yang masuk peringkat besar dunia, harap Fuad.

Diskusi Ketua BPJH dengan kalangan penulis kompasiana. Foto | Dokumen Pribadi.
Diskusi Ketua BPJH dengan kalangan penulis kompasiana. Foto | Dokumen Pribadi.
***

Memang HalalituBaik, karena itu ke depan, proses penerbitan sertifikat halal harus dilakukan dengan baik. Dalam pelaksanaannya nanti akan melibatkan tiga pihak, yaitu: BPJPH, MUI dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).

Kepala BPJPH Soekoso ketika bicara di hadapan para kompasianer  -  www.kompasiana.com/edysupriatna/59d8409343322f2ece166552/dari-diskusi-sertifikasi-halal-citizen-media-ikut-menyebarkan-pemahaman-produk-halal - sempat menyinggung tatacara penerbitan sertifikat halal sudah diatur pada Bab V UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Ada beberapa tahapnya dalam penerbitan sertifikat halal.

Pertama, pengajuan permohonan oleh pelaku usaha. "Pelaku Usaha mengajukan permohonan Sertifikat Halal secara tertulis kepada BPJPH, dengan menyertakan dokumen: data Pelaku Usaha, nama dan jenis Produk, daftar Produk dan Bahan yang digunakan, dan proses pengolahan Produk," kata Soekoso.

Kedua, pemilihan LPH. Di sini pelaku usaha diberi kewenangan untuk memilih LPH untuk memeriksa dan/atau menguji kehalalan produknya.

LPH adalah lembaga yang mendapatkan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk. LPH bisa didirikan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat. Saat ini, LPH yang sudah eksis adalah LPPOM-MUI.

"LPH yang dipilih oleh pelaku usaha kemudian akan ditetapkan oleh BPJPH," kata Soekoso.

"Penetapan LPH, paling lama lima hari sejak dokumen permohonan dinyatakan lengkap," sambungnya.

Tahapan ketiga adalah pemeriksaan produk. Pemeriksaan dilakukan oleh Auditor Halal LPH yang telah ditetapkan oleh BPJPH.  Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi dan atau di laboratorium.

"Pengujian di laboratorium dapat dilakukan jika dalam pemeriksaan Produk terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya," ujar Soekoso.

"Hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kemudian diserahkan kepada BPJPH," imbuhnya.

Keempat, Penetapan Kekhalalan Produk. BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk yang dilakukan LPH kepada MUI untuk memperoleh penetapan kehalalan Produk. Dari situ, lanjut Soekoso, MUI lalu menetapkan kekhalalan Produk melalui sidang Fatwa Halal.

"Sidang Fatwa Halal digelar paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian Produk dari BPJPH," jelasnya.

Kelima, Penerbitan Sertifikasi. Produk yg dinyatakan halal oleh sidang fatwa MUI, dilanjutkan oleh BPJPH untuk mengeluarkan sertifikat halal. Penerbitan sertifikat halal ini paling lambat 7 hari sejak keputusan kehalalan Produk diterima dari MUI diterima.

"Pelaku usaha wajib memasang label halal beserta nomor registrasinya pada produk usahanya," ujarnya.

Soekoso menambahkan, BPJPH juga akan mempublikasikan penerbitan Sertifikat Halal setiap Produk.

"Untuk produk yang dinyatakan tidak halal, BPJPH mengembalikan permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha disertai dengan alasan," tuturnya.

Seluruh aturan proses sertifikasi halal ini, kata Soekoso akan diatur dalam Peraturan Menetri Agama.

***

Para ulama yang berhimpun dalam wadah MUI mendukung pelaksanaan UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).  Sebab, HalalituBaik dan sudah jelas. Ada dua alasan kenapa MUI mendukung pelaksanaan UU Jaminan Produk Halal. Pertama, UU ini lahir atas inisiatif MUI. Kedua, dengan UU ini, maka  tujuan MUI untuk melindungi umat Islam dari mengonsumsi produk makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetik yang tidak halal, bisa tercapai.

"Sejak 1989, ketika MUI mulai melakukan sertifikasi halal atas produk-produk usaha, tujuannya adalah untuk melindungi umat dari konsumsi yang tidak halal," kata anggota Komis Fatwa MUI Aminuddin Yakub.

Kalau dulu di bawah pengelolaan MUI hanya bersifat sukarela (volunteer), maka dengan adanya UU ini, pada 2019 nanti halal akan menjadi sebuah kewajiban atau mandatori, "Kalau mandatori, maka harus dikelola lembaga yang lebih besar otoritasnya, dan dalam hal ini adalah Kementerian Agama," ia menjelaskan.

Amin menegaskan bahwa MUI tetap berperan penting dan startegis dalam pelaksanaan sertifikasi halal. Berdasarkan  UU JPH, setidaknya ada 3 kewenangan utama MUI, yaitu: penetapan halal, justifikasi para auditor Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan akreditas LPH.

"Kalau dulu LPH hanya satu, yaitu LP POM MUI, ke depan perguruan tinggi dan ormas terbuka untuk membuat LPH. Jadi tidak hanya satu," tandasnya.

Logo halal menunggu diganti. Foto | Bimas Islam
Logo halal menunggu diganti. Foto | Bimas Islam
Kemudian, bagaimana dengan pengurusan sertifikasi halal itu sendiri?

Kemenag memang kini tengah berbenah. Ke depan, pastinya bahwa permohonan sertifikasi halal suatu produk oleh pelaku usaha diajukan kepada BPJPH. Kemenag kini tengah mengembangkan registrasi online. Sistem itu diharapkan mampu mengefektifkan alur yang selama ini masih dilakukan manual sehingga dari sisi waktu lebih efisien.

"Ini bisa dilakukan dalam satu atau dua jam. Kalau semua dokumen yang dipersyaratkan di-upload dalam registrasi online, maka akan mempercepat proses," kata Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama Mastuki kepada penulis.

Namun praktisi halal, Aisyah mengingatkan. Katanya, meskipun posisi sertifikasi halal oleh BPJH telah dikuatkan oleh negara, dalam tataran pelaksanaan di lapangan hendaknya dapat bekerja efektif sehingga tidak terjebak pada alur birokrasi yang justru malah semakin panjang.

Menjawab kritik tersebut, Kemenag dapat memahami dan menerima. Sebab, dengan dukungan Teknologi, Informasi, Komunikasi (ITC) tentu dapat dilakukan dalam satu atau dua jam. "Tentu, kalau semua dokumen yang dipersyaratkan diupload dalam registrasi online, maka akan mempercepat proses," ujar Mastuki.

Memang dalam UU sudah diatur soal waktu. Sehingga, jika dikalkulasi, total sampai penerbitan sertifikasi dan label halal, memakan waktu 40 -- 45 hari. Jadi, ini sudah ada kepastian waktu.

"Dan kami bekerja dalam sistem," ia menegaskan.

 

Bahan Bacaan:Undang-undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang JPH, Seminar dan wawancara

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun