***
Di tengah masyarakat, sering terdengar cerita seseorang ketika hendak menunaikan ibadah haji semasih di Tanah Air sakit-sakitan. Namun, ketika berada di Tanah Suci, yang bersangkutan kesehatannya segar-bugar.
Bisa pula, secara medis sehat selama berada di Tanah Air hingga keberangkatan. Tetapi tatkala kaki menginjakkan Bandara King Abdul Aziz Jeddah, tiba-tiba anggota calon jemaah haji bersangkutan 'ngamuk', penyakit jiwanya kumat.
Di antara para petugas medis yang ditugasi Kementerian Kesehatan ---khususnya yang sudah senior dan menjadi Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH)--- paham benar bahwa penyakit kagetan berupa kurang waras diakibatkan faktor mistik, atau memang benar punya penyakit bawaan kelainan jiwa.
Dalam rubrik ini penulis pernah mengungkap bahwa Indonesia pada musim haji 2017 mengirim jemaah sebanyak 221.000 orang yang terbagi ke dalam kuota haji regular 204.000 orang dan kuota haji khusus 17.000 orang.
Sedangkan jumlah petugas haji pada 2017 ini sekitar 3.250 orang, terdiri dari petugas kelompok terbang (kloter) yang menyertai jamaah, petugas nonkloter (PPIH Arab Saudi) dan petugas tenaga musiman (temus).
Melihat realitas itu, maka jelas jumlah anggota jemaah haji dan petugas sangat tidak memadai. Kuota jemaah haji bertambah 31 persen sedangkan petugas haji bertambah 13 persen. Angka itu jelas bukan sebuah perbandingan yang seimbang, sehingga butuh kerja keras dari semua petugas haji.
Dari data Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu atau SISKOHAT jumlah anggota Jemaah usia 61 tahun ke atas mencapai 52.746 orang atau sekitar 26 persen Jemaah haji merupakan kategori usia lanjut yang tentu akan membutuhkan "pelayanan khusus".
Tentu, ke depan tak mungkin lagi anggota calon jemaah haji yang sudah menjalani perawatan cuci darah seperti yang dialami Ramli dapat pendampingan petugas PPIH Kesehatan. Demikian pula bagi memiliki penyakit gangguan jiwa berat meski rumah sakit setempat masih menerima pasien dengan beragam jenis penyakit.
Hak pergi menunaikan ibadah haji Ramli memang seperti dirampas. Sebab, Â Istithah haji tak lagi dapat dimaknai sebatas mampu finansial, tapi juga harus sehat jasmani dan rohani. Kriteria sehat pun tak lagi dari prespektif agama semata, tetapi menurut ukuran yang ditetapkan pemerintah.