Haji 2017 | Kok Bisa Hak Berhaji Dirampas?
Seorang ibu di embarkasi haji Bekasi, beberapa tahun silam, mengibuli petugas kesehatan di embarkasi. Tatkala hendak diperiksa urine, ia menukar urine yang dimilikinya dengan kakak kandungnya. Ibu ini jauh hari sudah sadar bahwa ia sudah berbadan "dua". Jika urine miliknya yang diperiksa, petugas akan mengetahui dirinya hamil. Ia cemas tidak akan diberangkatkan menunaikan ibadah haji.
Upaya membohongi petugas gagal. Sebab, petugas kesehatan tak kalah akal untuk mencari tahu bahwa wanita tengah hamil tak diizinkan menunaikan ibadah haji. Sesuai peraturan, ibu hamil boleh berangkat haji asalkan usia kandungannya 14 hingga 26 minggu.
Hal ini sesuai dengan keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Nomor 458 Tahun 2000 Nomor : 1652.A/Menkes-Kesos/SKB/XI/2000 Tentang Calon Haji Wanita Hamil untuk melaksanakan ibadah haji.Â
Bukan hanya wanita hamil dilarang berangkat haji. Pasien cuci darah (hemodialisa) pun dilarang menunaikan ibadah haji. Baru-baru ini mencuat kasus pelarangan pasien cuci darah (hemodialisa) akan menunaikan ibadah haji. Kasus Ramli (62 tahun) telah menarik perhatian publik setelah videonya ramai di media sosial.Â
Ramli memprotes Dinas Kesehatan Kota (DKK) Padang, Sumatera Barat. Sebab, selain ia sudah melunasi seluruh biaya penyelenggaraan ibadah haji, juga lolos tes kesehatan awal di Puskesmas. Istri Ramli bersikeras agar suaminya dapat diberangkatkan ke Tanah Suci.
Larangan berangkat haji bagi pasien hemodialisa, seperti yang dialami Ramli, sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016 tentang istithaah kesehatan Jemaah haji. Ini yang jadi pegangan bagi petugas kesehatan haji.
Seorang perawat kesehatan petugas PPIH (Panitia Penyelenggara Ibadah Haji) Arab Saudi, Endang (bukan nama sebenarnya), hanya mampu tertunduk. Lalu ia mengelus dada sambil berlinang air mata setelah rekannya marah besar lantaran seharian tidak di tempat tugas.
Saat itu waktu sehari penuh diperuntukan melayani dan mendampingi pasien cuci darah di salah satu rumah sakit setempat. Saat bersamaan, rekan-rekan Endang tengah bekerja keras menolong pasien. Terutama anggota jemaah haji berusia lanjut dan memiliki resiko tinggi.
Kasus ini tak sekali dialami oleh Endang saja, petugas lain pun tak bisa menghindar dari tugas seperti itu.
Maklum, menjelang puncak ritual ibadah haji pasien yang membutuhkan pertolongan pun meningkat. Kondisi fisiknya pun jauh lebih kritis dibanding pasien yang ditolong Endang, cuma mendampingi pasien cuci darah.
Realitasnya Balai Kesehatan Haji Indonesia, salah satu pusat kesehatan yang diizinkan berdiri oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi, dari sisi fasilitas jauh dengan yang dimiliki rumah sakit pemerintah setempat. Pemerintah Arab Saudi menyediakan rumah-rumah sakit yang bisa diakses secara gratis selama penyelenggaraan ibadah haji.
Rumah Sakit (RS) King Faisal, misalnya. Rumah sakit ini menjadi rujukan untuk menangani  anggota jemaah haji yang sakit. Pemerintah Arab Saudi menyiapkan RS King Abdul Aziz, RS Annur, RS Hera, dan RS Jiwa King Abdul Azis yang berlokasi di Hera.
RS King Faisal dilengkapi dengan fasilitas ruang rawat darurat, ruang perawatan intensif, ruang rawat inap, serta peralatan perawatan yang canggih dengan kondisi lorong dan kamar yang bersih dan terawat, nyaris tanpa debu. RS tersebut memiliki 300 tempat tidur untuk rawat inap dan didukung oleh ratusan dokter dan perawat. Pokoknya, serba "wah". Termasuk menjadi salah satu pusat rujukan bagi pasien yang terkena MERS-CoV.Â
Selain itu, rumah sakit pemerintah Arab Saudi, termasuk RS King Faisal, menyediakan pelayanan kesehatan yang juga gratis untuk anggota jemaah menderita sakit dan membutuhkan operasi maupun cuci darah. Meskipun musim haji berakhir, jika ada anggota jemaah sakit, mereka tetap dapat dirawat sampai sembuh, bahkan ada yang sampai tiga bulan. Jadi keluarga mereka di Indonesia tidak perlu khawatir. Â
Sayangnya, ketika para pasien dari Jemaah haji dirawat di sejumlah rumah sakit Arab Saudi, kondisi pasien harus terus menerus dipantau. Pasalnya, Â petugas rumah sakit bersangkutan memindahkan pasein seenaknya dari satu kamar ke kamar lainnya. Penulis sempat mengikuti kerja petugas kesehatan yang memantau pasien dirawat inap ini. Lelah sekali. Sebab, setiap jam pasien sudah berpindah tempat.
Patut dipertanyakan, kalaupun Ramli harus cuci darah, bukankah rumah sakit yang ada di Tanah Suci itu menyediakan fasilitas untuk cuci darah? Ini kan persoalan tenaga kesehatan Indonesia saja yang kurang untuk mendampingi, yang berefek hak istithaah seseorang seolah dirampas.Â
Ramli dinyatakan gagal berangkat haji karena tak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji. Kriteria jemaah yang tak boleh berangkat adalah dengan kondisi klinis yang dapat mengancam jiwa, antara lain penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) derajat IV, gagal jantung stadium IV, kegagalan fungsi ginjal kronis (cronic kidney disease) stadium IV dengan paritoneal dialysis/hemodialisis reguler, AIDS stadium IV dengan infeksi oportunistik, stroke haemorhagic luas.
Kemudian berikutnya yang dilarang menunaikan ibadah haji adalah pasien gangguan jiwa berat, antara lain skizofrenia berat, dimensia berat dan retardasi mental berat dengan penyakit yang sulit diharapkan kesembuhannya, antara lain keganasan stadium akhir, tuberculosis totaly drug resistance (TDR), sirosis atau hepatoma decom pensate.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016 tentang istithaah kesehatan Jemaah haji itu ditandatangani Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek pada 23 Maret 2016, berlaku pada 11 April 2016.Â
***
Di tengah masyarakat, sering terdengar cerita seseorang ketika hendak menunaikan ibadah haji semasih di Tanah Air sakit-sakitan. Namun, ketika berada di Tanah Suci, yang bersangkutan kesehatannya segar-bugar.
Bisa pula, secara medis sehat selama berada di Tanah Air hingga keberangkatan. Tetapi tatkala kaki menginjakkan Bandara King Abdul Aziz Jeddah, tiba-tiba anggota calon jemaah haji bersangkutan 'ngamuk', penyakit jiwanya kumat.
Di antara para petugas medis yang ditugasi Kementerian Kesehatan ---khususnya yang sudah senior dan menjadi Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH)--- paham benar bahwa penyakit kagetan berupa kurang waras diakibatkan faktor mistik, atau memang benar punya penyakit bawaan kelainan jiwa.
Dalam rubrik ini penulis pernah mengungkap bahwa Indonesia pada musim haji 2017 mengirim jemaah sebanyak 221.000 orang yang terbagi ke dalam kuota haji regular 204.000 orang dan kuota haji khusus 17.000 orang.
Sedangkan jumlah petugas haji pada 2017 ini sekitar 3.250 orang, terdiri dari petugas kelompok terbang (kloter) yang menyertai jamaah, petugas nonkloter (PPIH Arab Saudi) dan petugas tenaga musiman (temus).
Melihat realitas itu, maka jelas jumlah anggota jemaah haji dan petugas sangat tidak memadai. Kuota jemaah haji bertambah 31 persen sedangkan petugas haji bertambah 13 persen. Angka itu jelas bukan sebuah perbandingan yang seimbang, sehingga butuh kerja keras dari semua petugas haji.
Dari data Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu atau SISKOHAT jumlah anggota Jemaah usia 61 tahun ke atas mencapai 52.746 orang atau sekitar 26 persen Jemaah haji merupakan kategori usia lanjut yang tentu akan membutuhkan "pelayanan khusus".
Tentu, ke depan tak mungkin lagi anggota calon jemaah haji yang sudah menjalani perawatan cuci darah seperti yang dialami Ramli dapat pendampingan petugas PPIH Kesehatan. Demikian pula bagi memiliki penyakit gangguan jiwa berat meski rumah sakit setempat masih menerima pasien dengan beragam jenis penyakit.
Hak pergi menunaikan ibadah haji Ramli memang seperti dirampas. Sebab, Â Istithah haji tak lagi dapat dimaknai sebatas mampu finansial, tapi juga harus sehat jasmani dan rohani. Kriteria sehat pun tak lagi dari prespektif agama semata, tetapi menurut ukuran yang ditetapkan pemerintah.
Karena itu, penulis berharap jajaran Kemenkes dan Kemenag ke depan penting mensosialisasikan tentang istithaah kesehatan haji itu. Ibarat pohon yang layu, ingatan seseorang penting disegarkan terus menerus. Bagi kalangan yang tidak puas dengan aturan tersebut, tentu terbuka untuk menggunakan haknya menggugat ke badan peradilan berwenang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H