Maklum, menjelang puncak ritual ibadah haji pasien yang membutuhkan pertolongan pun meningkat. Kondisi fisiknya pun jauh lebih kritis dibanding pasien yang ditolong Endang, cuma mendampingi pasien cuci darah.
Realitasnya Balai Kesehatan Haji Indonesia, salah satu pusat kesehatan yang diizinkan berdiri oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi, dari sisi fasilitas jauh dengan yang dimiliki rumah sakit pemerintah setempat. Pemerintah Arab Saudi menyediakan rumah-rumah sakit yang bisa diakses secara gratis selama penyelenggaraan ibadah haji.
Rumah Sakit (RS) King Faisal, misalnya. Rumah sakit ini menjadi rujukan untuk menangani  anggota jemaah haji yang sakit. Pemerintah Arab Saudi menyiapkan RS King Abdul Aziz, RS Annur, RS Hera, dan RS Jiwa King Abdul Azis yang berlokasi di Hera.
RS King Faisal dilengkapi dengan fasilitas ruang rawat darurat, ruang perawatan intensif, ruang rawat inap, serta peralatan perawatan yang canggih dengan kondisi lorong dan kamar yang bersih dan terawat, nyaris tanpa debu. RS tersebut memiliki 300 tempat tidur untuk rawat inap dan didukung oleh ratusan dokter dan perawat. Pokoknya, serba "wah". Termasuk menjadi salah satu pusat rujukan bagi pasien yang terkena MERS-CoV.Â
Selain itu, rumah sakit pemerintah Arab Saudi, termasuk RS King Faisal, menyediakan pelayanan kesehatan yang juga gratis untuk anggota jemaah menderita sakit dan membutuhkan operasi maupun cuci darah. Meskipun musim haji berakhir, jika ada anggota jemaah sakit, mereka tetap dapat dirawat sampai sembuh, bahkan ada yang sampai tiga bulan. Jadi keluarga mereka di Indonesia tidak perlu khawatir. Â
Sayangnya, ketika para pasien dari Jemaah haji dirawat di sejumlah rumah sakit Arab Saudi, kondisi pasien harus terus menerus dipantau. Pasalnya, Â petugas rumah sakit bersangkutan memindahkan pasein seenaknya dari satu kamar ke kamar lainnya. Penulis sempat mengikuti kerja petugas kesehatan yang memantau pasien dirawat inap ini. Lelah sekali. Sebab, setiap jam pasien sudah berpindah tempat.
Patut dipertanyakan, kalaupun Ramli harus cuci darah, bukankah rumah sakit yang ada di Tanah Suci itu menyediakan fasilitas untuk cuci darah? Ini kan persoalan tenaga kesehatan Indonesia saja yang kurang untuk mendampingi, yang berefek hak istithaah seseorang seolah dirampas.Â
Ramli dinyatakan gagal berangkat haji karena tak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji. Kriteria jemaah yang tak boleh berangkat adalah dengan kondisi klinis yang dapat mengancam jiwa, antara lain penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) derajat IV, gagal jantung stadium IV, kegagalan fungsi ginjal kronis (cronic kidney disease) stadium IV dengan paritoneal dialysis/hemodialisis reguler, AIDS stadium IV dengan infeksi oportunistik, stroke haemorhagic luas.
Kemudian berikutnya yang dilarang menunaikan ibadah haji adalah pasien gangguan jiwa berat, antara lain skizofrenia berat, dimensia berat dan retardasi mental berat dengan penyakit yang sulit diharapkan kesembuhannya, antara lain keganasan stadium akhir, tuberculosis totaly drug resistance (TDR), sirosis atau hepatoma decom pensate.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016 tentang istithaah kesehatan Jemaah haji itu ditandatangani Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek pada 23 Maret 2016, berlaku pada 11 April 2016.Â