Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Fatwa Medsos dari MUI, Jangan Melenceng Lagi Penggunaannya

7 Juni 2017   19:28 Diperbarui: 7 Juni 2017   20:01 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penggunaan media sosial (Medsos) meningkat di Tanah Air, namun perlu dibarengi dengan etika agar tak menimbulkan masalah ke depan (Foto; Republika)

Fatwa Medsos dari MUI, Jangan Melenceng Lagi Penggunaannya

Tak dapat dipungkiri kenyataan bahwa perbedaan latar belakang, pendidikan, budaya, asal usul, usia, agama ikut mempengaruhi daya tangkap seseorang terhadap konten atau isi berita yang disampaikan melalui media sosial atau medsos.

Kata lontong yang dilemparkan ke media sosial akan membawa ingatan seseorang kepada nama presenter kondang Cak Lontong. Namun berbeda maknanya jika ditangkap orang Betawi, terutama anak remajanya. Lontong adalah nama makanan, nasi kepel bulat lonjong berisi oncom atau kentang dan cabe dibungkus daun pisang.

Dalam sebuah percakapan di media sosial, melalui What's App (WA) seorang rekan menyebut lontong. Begini isi percakapannya.

Johan: Sekarang Lontong naik daun.

Kemudian rekannya Mamad melalui telepon genggamnya di lain tempat menjawab.

Mamad: Dibungkus daun pisang kaleee

Johan: Nasibnya berubah, tampil pakai jas

Mamad: Ya berubah lah. Warna berubah, sebab jus diaduk. Manis lagi.

Johan: Lu nggak paham ya?

Mamad: Tau lah. Ngomongin lontong, kan?

Johan: Sekarang sering dicari orang, dapat panggilan. Sering manggung

Mamad: Ya iyalah. Orang butuh, untuk buka puasa. Lu omongin burung, yang lagi ngetren, mau manggung lagi.

Percakapan dua sahabat melalui media sosial yang berbeda latar belakang, asal usul, pendidikan dan usia itu tidak nyambung. Johan berpendidikan akademis, lebih tua dan berpengalaman sering pindah kota ketika bertugas. Sedangkan Mamad cuma berpendidikan sampai tingkat sekolah lanjutan pertama. Dua sahabat ini berbicara lewat WA, tapi tak ketemu pokok soalnya.

Pokok yang dibicarakan adalah Lontong, yang menurut Johan adalah Cak Lontong. Presenter yang tengah naik daun, atau tengah terkenal karena kepiawaiannya sebagai pembawa acara di beberapa stasiun televisi.

Berbeda dengan Mamad, sahabatnya Johan itu. Ketika bicara lontong, ingatnya tak jauh dari soal makanan. Apa lagi saat Ramadan ini. Lontong bagi Mamat adalah menu utama saat berbuka puasa setelah ia menyantap buah kurma dan seteguk air putih.

Disebut jas oleh Johan tapi maknanya lain lagi yang ditangkap. Jas yang dimaksud oleh Johan telah berubah makna menjadi jus. Apa lagi kedua orang ini menggunakan WA saat menjelang buka puasa.

Demikian juga kata manggung. Manggung yang dimaksud Johan adalah tampil di pentas, atau berbicara di hadapan orang banyak di tempat umum. Oleh si Mamat, kata manggung dimaknai sebagai burung perkutut aduan yang tengah dilombakan.

Kesimpulannya, ibarat ungkapan, Jaka Sembung bawa golok. Nggak nyambung goblok.

***

Kesalahan kecil pada pembicaraan sederhana menggunakan sarana media telepon genggam (HP) kapan dan dimana pun bisa terjadi terhadap siapa pun. Lebih fatal lagi pada percakapan mengandung unsur suku, agama, ras dan antargolongan atau SARA?

Kesalahan ketik, kesalahan penyebutan nama yang disampaikan menggunakan media sosial jauh lebih fatal. Jika seseorang menyebut nabi anu dan seterusnya tetapi salah pengetikan dan ditulis "n" menjadi "b" sehingga menjadi babi anu. Bagaimana reaksi Anda? Marah, bukan?

Bila ada saudara kita salah menuliskan ayat dan kemudian dianjurkan untuk dizikirkan, tetapi penulisan ayat yang dimaksudkan penyampai pesan salah. Bisa fatal. Penulis tak perlu menyebut contohnya.

Jika suatu ayat tersebut disebarkan, salah penulisan dan tanpa penjelasan, akan menyesatkan bagi penerima pesan. Apalagi jika diamalkan tanpa bimbingan. Sudah salah tulis, kemudian disebarluaskan. Potensi penyebaran kesalahan makin besar, tentunya. Maka, jadilah berita hoax, kebohongan tersebar.

Penting diingat, ucapan dalam ritual Islam menggunakan tulisan Arab. Jika tidak paham ejaan dan panduannya dalam penulisan ke dalam Bahasa Indonesia, tentu dapat berdampak pada pengucapannya.

Dalam Bahasa Indonesia tulisan bulan suci Ramadhan berbeda-beda. Ada yang menggunakan huruf "h" di belakang huruf "d" ada yang tidak. Contoh lain masih banyak. Antara para ahli bahasa pun tentang pedoman penulisan istilah keagamaan masih jadi perdebatan. Jika ada kesepakatan antarpakar tentang hal ini, realitasnya publik belum mengikuti.

***

Kesalahan pengetikan dalam media sosial sulit diperbaiki dibanding media online. Di media massa, artikel dan berita jika hendak tayang akan melawati satu proses ketat. Jika berita bersangkutan dirasakan cukup sensitif dan memiliki dampak luas, tentu para editor akan berhati-hati. Apa lagi jika berita bersangkutan masuk dalam agenda setting.

Hati-hati dari sisi: ejaan (pengetikan), istilah dan substansi dari berita atau artikel yang ditulis oleh pewarta. Termasuk kode etik dan aspek hukum yang berpotensi menimbulkan dampak buruk.

Jadi, di sini ada proses editing yang melibatkan orang lain. Kesalahan penulisan bisa saja ditimpakan tanggung jawabnya pada reporter, tetapi editor pun tidak bisa lepas begitu saja. Tanggung jawab renteng berlaku.

Berbeda dengan penggunakan media sosial. Seseorang bebas menyampaikan pesan. Dia tidak perlu belajar tentang kode etik, karena siapa saja bisa menyampaikan pesan tanpa memikirkan dampak negatif yang timbul. Apakah sarana yang digunakan itu WA, twitter dan facebook. Pokoknya, semua sarana berbasis internet dan teknologi informasi lainnya.

Apakah berita atau artikelnya ditulis panjang, atau singkat. Tidak ada yang membatasi. Penyampai pesan (komunikator) nggak perlu tahu latarbelakang publik (komunikan) bahwa ketika tengah mengetik pesan dengan gadgetnya dirinya gembira atau marah. Kehadiran redaktur tak perlu, karena memang kini dunia maya kehadirannya tidak bisa ditolak dan tanpa sekat.

***

Sungguh hebat ucapan Napoleon Bonaparte. Meski terasa lebay atau berlebihan, namun senyatanya demikian adanya. Kaisar Perancis ini tidak takut dengan tentara lawan ketika di medan perang. Tapi justru lebih takut kepada ujung-ujung pena wartawan. Ungkapan yang masyhur, dan begini bunyinya: “Saya lebih takut menghadapi satu pena wartawan daripada seribu bayonet musuh.”

Jika melihat kondisi kini, tentu Napoleon lebih takut dengan para pengguna media sosial. Di jari lentik, pengguna media sosial bisa mempengaruhi publik untuk mengubah sikap, pandangan dan pendapat. Dengan cara itu pula, opini publik dapat digiring untuk kepentingan tertentu: menyerang atau menjatuhkan lawan. Atau membentuk pencitraan untuk meraih dukungan. Tergantung, siapa yang mengendalikan (di belakang).

Bagi pihak yang merasa dirugikan, tersinggung karena terpepet dijelek-jelekan marwahnya melalui media sosial, ada di antaranya mengambil tindakan konyol. Persekusi, misalnya.

Sungguh elok Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika bersinergi dan mengingatkan tentang pentingnya beretika atau bermuamalah dalam pengunaan media sosial. Ada sembilan rambu berupa ketentuan hukum yang tertuang dalam Fatwa MUI tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial.

Penulis tak menyebutkan satu persatu, tetapi rambu tersebut patut diindahkan.Beretika atau berakhlak menggunakan media sosial adalah salah satu cara menghindari pertentangan dan permusuhan hingga dijauhi dari jerat hukum. Karena itu, janganlah melenceng  dalam menggunakan media sosial. Hidup damai dan harmonis penting dijadikan sebagai kebutuhan sehari-hari. Harap semua dapat mengindahkannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun