Sungguh hebat ucapan Napoleon Bonaparte. Meski terasa lebay atau berlebihan, namun senyatanya demikian adanya. Kaisar Perancis ini tidak takut dengan tentara lawan ketika di medan perang. Tapi justru lebih takut kepada ujung-ujung pena wartawan. Ungkapan yang masyhur, dan begini bunyinya: “Saya lebih takut menghadapi satu pena wartawan daripada seribu bayonet musuh.”
Jika melihat kondisi kini, tentu Napoleon lebih takut dengan para pengguna media sosial. Di jari lentik, pengguna media sosial bisa mempengaruhi publik untuk mengubah sikap, pandangan dan pendapat. Dengan cara itu pula, opini publik dapat digiring untuk kepentingan tertentu: menyerang atau menjatuhkan lawan. Atau membentuk pencitraan untuk meraih dukungan. Tergantung, siapa yang mengendalikan (di belakang).
Bagi pihak yang merasa dirugikan, tersinggung karena terpepet dijelek-jelekan marwahnya melalui media sosial, ada di antaranya mengambil tindakan konyol. Persekusi, misalnya.
Sungguh elok Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika bersinergi dan mengingatkan tentang pentingnya beretika atau bermuamalah dalam pengunaan media sosial. Ada sembilan rambu berupa ketentuan hukum yang tertuang dalam Fatwa MUI tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial.
Penulis tak menyebutkan satu persatu, tetapi rambu tersebut patut diindahkan.Beretika atau berakhlak menggunakan media sosial adalah salah satu cara menghindari pertentangan dan permusuhan hingga dijauhi dari jerat hukum. Karena itu, janganlah melenceng dalam menggunakan media sosial. Hidup damai dan harmonis penting dijadikan sebagai kebutuhan sehari-hari. Harap semua dapat mengindahkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H