Bila ada saudara kita salah menuliskan ayat dan kemudian dianjurkan untuk dizikirkan, tetapi penulisan ayat yang dimaksudkan penyampai pesan salah. Bisa fatal. Penulis tak perlu menyebut contohnya.
Jika suatu ayat tersebut disebarkan, salah penulisan dan tanpa penjelasan, akan menyesatkan bagi penerima pesan. Apalagi jika diamalkan tanpa bimbingan. Sudah salah tulis, kemudian disebarluaskan. Potensi penyebaran kesalahan makin besar, tentunya. Maka, jadilah berita hoax, kebohongan tersebar.
Penting diingat, ucapan dalam ritual Islam menggunakan tulisan Arab. Jika tidak paham ejaan dan panduannya dalam penulisan ke dalam Bahasa Indonesia, tentu dapat berdampak pada pengucapannya.
Dalam Bahasa Indonesia tulisan bulan suci Ramadhan berbeda-beda. Ada yang menggunakan huruf "h" di belakang huruf "d" ada yang tidak. Contoh lain masih banyak. Antara para ahli bahasa pun tentang pedoman penulisan istilah keagamaan masih jadi perdebatan. Jika ada kesepakatan antarpakar tentang hal ini, realitasnya publik belum mengikuti.
***
Kesalahan pengetikan dalam media sosial sulit diperbaiki dibanding media online. Di media massa, artikel dan berita jika hendak tayang akan melawati satu proses ketat. Jika berita bersangkutan dirasakan cukup sensitif dan memiliki dampak luas, tentu para editor akan berhati-hati. Apa lagi jika berita bersangkutan masuk dalam agenda setting.
Hati-hati dari sisi: ejaan (pengetikan), istilah dan substansi dari berita atau artikel yang ditulis oleh pewarta. Termasuk kode etik dan aspek hukum yang berpotensi menimbulkan dampak buruk.
Jadi, di sini ada proses editing yang melibatkan orang lain. Kesalahan penulisan bisa saja ditimpakan tanggung jawabnya pada reporter, tetapi editor pun tidak bisa lepas begitu saja. Tanggung jawab renteng berlaku.
Berbeda dengan penggunakan media sosial. Seseorang bebas menyampaikan pesan. Dia tidak perlu belajar tentang kode etik, karena siapa saja bisa menyampaikan pesan tanpa memikirkan dampak negatif yang timbul. Apakah sarana yang digunakan itu WA, twitter dan facebook. Pokoknya, semua sarana berbasis internet dan teknologi informasi lainnya.
Apakah berita atau artikelnya ditulis panjang, atau singkat. Tidak ada yang membatasi. Penyampai pesan (komunikator) nggak perlu tahu latarbelakang publik (komunikan) bahwa ketika tengah mengetik pesan dengan gadgetnya dirinya gembira atau marah. Kehadiran redaktur tak perlu, karena memang kini dunia maya kehadirannya tidak bisa ditolak dan tanpa sekat.
***