Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Boleh Pensiun, tapi Profesi Jurnalis Tak Pernah Mati

18 Mei 2017   14:03 Diperbarui: 21 November 2017   19:15 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana suka ria (Dokpri)

Sejatinya, memang, tak seluruh insan pers dapat meraih sukses bekerja sampai usia pensiun. Begitu juga karyawan ANS (aparatur negeri sipil) yang dulu dikenal sebagai pegawai negeri sipil. Karena berbagai hal, wartawan bisa pensiun lebih awal karena mengalami kecelakaan kerja. Bisa juga tewas karena meliput di medan konflik.

Jadi, tak selamanya orang lebih tua lebih awal "berpulang".  Bisa jadi yang muda lebih dulu, dan yang tua belakangan. Yang tua berpulang belakangan dan yang muda lebih dulu. Tak selamanya awan mendung itu akan turun hujan. Anomali cuaca bisa terjadi seketika. Karena itu, sukses pensiun sebagai profesi jurnalis patut disambut dengan kegembiraan.

Realitasnya, seseorang yang bekerja di institusi pemerintah sering dijumpai dengan berbagai cerita. Ada yang menggembirakan lantaran yang bersangkutan dapat kembali ke kampung halaman: selanjutnya berkebun dan dekat dengan sanak saudara. Tetapi ada pula kisah sedih, seseorang memasuki pensiun tidak sukses.

Disebut pensiun tidak sukses lantaran yang bersangkutan dikejar-kejar petugas Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK), polisi atau kejaksaan. Ujungnya, yang bersangkutan bukan menikmati keindahan pada masa tua, di hari pensiun, tetapi malah harus beristirahat di hotel prodeo alias bui.

Bagi jurnalis, pensiun adalah masa paling menggembirakan. Gembira karena selain memang tidak berhadapan dengan aparat hukum lantaran bersih, juga tidak lagi merasa dibebani harus memburu berita setiap hari. Tetapi ia, meski fisik lemah, masih dapat mengekspresikan kemerdekaannya. Pensiun adalah berakhirnya ikatan formal secara kelembagaan, tetapi bukan berarti memutus mata rantai profesi.

Profesi jurnalis tak pernah berakhir. Insan pers sejati akan terus berkarya melalui tulisan, foto dan liputan lainnya yang aktual guna mendorong perubahan bagi kesejahteraan umat. Jurnalis tak pernah mengakhiri profesinya sepanjang masih memiliki waktu dan ruang untuk menyuarakan kebenaran.

Banyak jurnalis melahirkan karya bagus, misalnya tentang pengalaman liputan yang dituangkan dalam bentuk buku. Atau menjadi penceramah di berbagai forum.

Suasana suka ria (Dokpri)
Suasana suka ria (Dokpri)
Profesi yang egaliter

Menarik disimak selama acara 'knowledge sharing' berlangsung, ketiga jurnalis tersebut menyampaikan pengalamannya masing-masing. Jika Yasad Ali menceritakan perjuangannya ketika menjadi kepala biro Aceh dengan berbagai hal tentang perniknya di daerah konflik dan persoalan status kepemilikan kantor di Cirebon, maka Chaidar Abdullah menyampaikan liputannya di sejumlah negara Timur Tengah.

Chaidar mengaku memilih profesi jurnalis tidak didukung dengan kemampuan dirinya. Pasalnya, selama masih sekolah hingga kuliah tak suka dengan pelajaran mengarang. Tetapi, hal itu bisa teratasi ketika masuk Antara lantaran ada panduan teknik menulis (berita). Dengan terus menerus belajar akhirnya membawa dirinya sebagai jurnalis tulen.

Jika saja wartawan senior sekaliber Rosihan Anwar masih ada, karya Chaidar Abdullah patut mendapat acungan jempol. Begitu kira-kira jika menilai karya Chaidar untuk saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun