Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Kompasianival Berbagi] Guru Spiritualku Sebagai Saksi Konflik Antaretnis

23 September 2016   23:57 Diperbarui: 24 September 2016   05:25 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang etnis Dayak tengah melakukan ritual dan berdoa agar konflik di daerahnya segera berakhir (Dokpri)

Ketua Ikatan Keluarga Besar Madura, H. Yahya H. Salehudin menyatakan sedih. Bukan hanya aparat pemerintah, semua tokoh masyarakat dan agama pun ikut prihatin. Semua dibuat menjadi sibuk memadamkan amarah.

Ancaman Guru

Gambaran konflik antaretnis di daerah ini tak sepenuhnya kutuliskan dengan lengkap. Pertimbangannya, selain dibatasi jumlah kata dalam tulisan ini juga mempertimbangan pentingnya menjaga keutuhan NKRI. Peristiwa lalu adalah pelajaran yang harus diambil hikmahnya untuk merajut kerukunan lebih erat bahwa negara ini dibangun di atas bhineka tunggal ika.

Sepanjang delapan tahun bermukim di Pontianak, ketika bertugas ke daerah pedalaman bersama seorang guru spiritual, banyak dijumpai kisah memilukan. Banyak bangunan rumah dan rumah ibadah hancur. Bukan karena dihancurkan, tetapi lebih disebabkan roboh dengan sendirinya kerena tak digunakan lagi dan tidak terawat.

Masih terpandang di mataku, etnis Dayak masuk ke dalam bus Damri – bus antarkota Pontianak – Kuching (Serawak, Malaysia) – memperlihatkan bagian tubuh manusia. Pandangan mata tersebut lama kutahan dalam hati. Tetapi, peristiwa memilukan itu sampai juga ketelinga isteri di rumah.

Di peristiwa lain, karena kelebihan spiritual yang dimiliki etnis Dayak, dari jarak kejauhan yang bersangkutan bisa mengendus keberadaan etnis dari pihak lawan. Cerita itu bukanlah cerita mengada-ada. Ini realitas. Etnis Dayak punya panglima. Etnis Dayak memang memiliki kemampuan lebih dalam hal ini. Dan hal itu haruslah ditempatkan sebagai kekayaan budaya yang harus dihormati.

Di sisi lain, bagi diriku sebagai pendatang, pertikaian berdarah dan memilukan itu telah menyebabkan isteri harus dirawat di rumah sakit jiwa. Pasalnya, ia menghadapi kenyataan di luar nalar kemanusiaan.

Hubungan dengan guru spiritualku sempat menjadi terganggu. Ini bukan lantaran kasusnya seperti Aa Gatot Brajamusti dengan para muridnya yang cantik-cantik akibat kasus narkoba. Tetapi disebabkan pada soal prinsip bagaimana agar isteriku dapat sembuh dari penyakit banyang-banyang akibat kekerasan pada konflik di daerah itu.

Aku ingin agar isteriku segera dimasukan ke rumah sakit jiwa. Supaya lekas sembuh. Tetapi, sang guruku itu menolak. Malah ia minta agar hal itu tidak dilakukan. Alasannya, katanya, akan meninggalkan trauma lebih parah. Bukan menyembuhkan, tetapi menambah penyakit pada jiwanya.

Lantas, solusinya?

Guruku minta agar niatku itu ditunda. Sementara para dokter dan perawat sudah menyiapkan ruang khusus sebagai tempat perawatan isteriku. Ketika niat itu sudah bulat, guru spiritualku mengancam: “Jangan dibawa ke rumah sakit. Atau, kalau itu dilakukan juga, jangan anggap saya sebagai guru.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun