Sebelumnya, Pangdam VI Tanjungpura Mayjen TNI Namuri Anoem S, menyatakan kerusuhan itu bisa diatasi dan diakhir dengan perjanjian perdamaian. Kok, mengapa berulang lagi?
Gubernur Kalbar, H. Aspar Aswin saat itu mengaku sangat sedih dan prihatin. Kalangan anggota dewan setempat, H. Muhammad Jimmy Ibrahim dan para anggota keluarga korban di daerah itu juga menyatakan kesedihannya.
Untuk mengetahui akar masalah konflik di daerah tersebut, aku tak malu-malu bertanya kepada orang yang kunilai lebih paham. Terutama dari kajian akademis, baik dari sisi sosiologis maupun antropologis. Yaitu pendeta Dr. William Chang. Saat itu, pendeta ini masih manggajar di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Pontianak.
Setidaknya, bentuk konflik di daerah itu sudah ada sejak lama, mulai menyangkut masalah perbedaan kebudayaan hingga filsafat hidup. Bentuk konflik akibat benturan cara pandang hidup warga setempat dapat dilihat dari benturan pribadi yang kemudian diseret kepada bentuk konflik kolektif berbai Suku, Antaragama, Ras dan Antargolongan (SARA).
Tak bermaksud membuka lembaran memilukan, pada catatanku, pertikaian anara etnis Madura dan Dayak tak hanya sekali. Untuk katagori besar sudah empat kali: pada 6-9 Agustus 1977 di Kecamatan Samalantan, Kabupaten Sambas. Kedua, di tempat yang sama, pada 1-12 Nopember 1979. Ketiga, di Ambawang, Kabupaten Pontianak pada 20-23 Nopember 1983. Keempat di Sanggau Ledo, 29 Nopember 1996 - 6 Januari 1997. Kelima, awal 1997 mencuat dan berkembang kerusuhan yang diawali di Siantan, Kabupaten Pontianak.
Peristiwa yang terakhir ini meluas ke Kabupaten Pontianak, Sambas, Sanggau dengan korban jiwa dan harta yang jauh lebih besar dari peristiwa sebelumnya. Peristiwa yang diawali pada Ramadhan tersebut melibatkan warga dari 12 kecamatan di Kalimantan Barat: Ngabang, Tamilah, Sengah, Toho, Menjalin, Mempawah Hilir, Manyuke, Sungai Pinyuh, Sungai Kunyit, Pak Buluh, Segedung, Anjungan dan Batulayang.
Rasa penyesalan
“Saya tak menyangka keadaan dapat terjadi seperti itu,” ungkap Marlina, 32 tahun, wanita Dayak beranak dua ketika kutemui di pengungsian. Ikut mengungsi suaminya di Markas Yonif 643/WS di Desa Moton, Anjungan, Kecamagtan Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak.
Marlina mengaku bernasip mujur. Jika saja ia tidak memperhatikan tanda atau isyarat gaib yang diyakininya ketika berada di Kecamatan Mandor, ia berpendapat mungkin sudah menjadi mangsa serbuan saudaranya yang berlainan etnis dari daerah lain.
Di barak tentara itu, Marlina bukanlah wanita Dayak satu-satunya yang mengungsi. Masih banyak warga beretnis Dayak lainnya. Sekjen Komnas HAM Baharudin Lopa, saat meninjau wilayah konflik tersebut, menyebut bahwa peristiwa itu bercirikan kesukuan.
Kapten Bambang T, Kasi IV logistik pada Yonif 643, bercertia bahwa di barak tersebut tercatat pada 3 Februari 1997 sebanyak 6.500 orang, 60 persen beretnis Madura, sisanya Dayak, Sunda, Bugis dan Melayu. Jumlah pengungsi berangsur-angsur berkurang lantaran diambil anggota keluarganya, ada yang kembali ke tempat asal karena rumahnya tidak terbakar.