Sambil menahan nafas, berkonsentrasi, membaca Asma Allah, kuarahkan telapak tangan ke si ganteng. Tak sampai dalam hitungan detik, ia terjerembab. Dia terjatuh tak dapat bangun untuk beberapa saat, sementara si wanita yang jadi seterusnya ngeloyor begitu saja meninggalkan tempat kejadian perkara.
Baru sekali itu aku mempraktekan pukulan jarak jauh. Awalnya, aku tak percaya bahwa orang mabuk lebih mudah dijatuhkan daripada orang waras, sehat. Jadi, ilmu yang kupelajari dari seorang pimpinan spiritual - namanya tak kusebut - sangat dahsyat kekuatannya. Orang banyak menyebutnya Ilmu Hikmah. Tetapi ada pula yang menyebut Ilmu Jabarullah.
Aku tak terlalu ambil pusing dengan nama ilmu itu. Tetapi, ketika berlatih, biasanya selain berlatih fisik juga disertai mengadu kekuatan sesama rekan sepergurun. Ketika malam hari, di hari tertentu, para ikhwan atau murid melaksanakan zikir bersama disusul wejangan dari Pak Guru. Lebih nyata keampuhan ilmu itu saat menghadapi rekan yang tengah emosional, marah. Tatkala rekan atau lawan emosional menghadapiku, maka mudah dijatuhkan.
Tentang eksperimen ilmu menghadapi pemabuk, ternyata pelakunya bukan aku sendiri. Rekanku lainnya pun melakukan hal yang sama. Itu baru kutahu setelah Pak Guru - guru spiritualku yang bermukim di kota Mempawah (sekitar 80 km dari Pontianak) - memberi nasihat bahwa perilaku mencoba ilmu seperti itu tidak pantas dilakukan. Ia minta agar hal itu tak diulangi lagi.
Aku bermukim di kota berjuluk hantu itu pada 1995, tepatnya mulai 10 Februari 1995 dengan dilantik oleh Wagub Kalbar Drs. H. Muchali Taufik. Kupikir, awalnya, ini memang benar-benar kota hantu. Mobil di jalan raya masih bisa dihitung dengan jari. Yang menarik, pemandangan Sungai Kapuas. Belum lagi sejumlah rumah di tepi sungai tersebut. Kata orang setempat, jika meminum air sungai itu tak bakal lupa kota itu. Jika sudah pindah ke tempat asal atau kota lainnya, bakal kembali ke kota itu. Apakah itu mitos, entahlah.
Betul saja. Setelah usai tugas di kota itu pada 2002, hingga kini aku sering bertandang ke Pontianak. Datang untuk sekedar melepas rindu dengan sesama rekan seperguruan dan rekan-rekan awak media setempat.
Rasa jengkel di hati ini belum juga reda. Sudah hampir lima tahun lebih kubertugas di Pontianak dan belum juga ditarik ke Jakarta. Pikirku, jika saat itu dipindah sangat kebetulan sekali putra-puteriku baru saja naik kelas. Harapannya, biaya kepindahan dan mendaftarkan anak sekolah di sekolah lainnya tidak memberatkan lagi.
Harapan itu sia-sia. Sementara tugas di daerah itu makin berat menyusul konflik antaretnis berkepanjangan. Seingatku, pada akhir 1997, sudah muncul rusuh. Kukira awalnya peristiwa di Monterado, Bengkayang, itu hanya kejadian biasa. Lambat laun membesar. Baru kusadari itu bukan kejadian biasa setelah sejumlah warga dievakuasi dengan pesawat Herkules ke Pontianak.
Hampir seluruh ibukota Kabupaten, pada saat itu, dilanda rusuh. Komnas HAM, yang berkunjung ke Pontianak saat itu, menyebutnya sebagai konflik antaretnis: Dayak dan Madura. Kecuali kota Putussibau dan Ketapang yang relatif tenang. Saat itu, pers sangat hati-hati mewartakan kejadian ini. Awalnya menyebut sebagai konflik antarkelompok. Barulah ada "keberanian" mengungkap kejadian memilukan itu sebagai konflik antaretnis. Maklum, kontrol kepada awak media masih ketat.
Konflik sosial di provinsi itu datangnya beruntun. Kasus konflik etnis Madura-Dayak (1997) belum selesai, pada 1999 muncul kasus serupa antara Madura-Melayu yang diwarnai dengan pencegatan mobil bagi warga Sambas di Wajo, 1 km dari arah Pontianak. Menghadapi kenyataan itu, hati siapa yang tak merasa pilu: harta habis terbakar dan nyawa melayang sia-sia.