Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Psikolog - Psychologist, Assessor, Researcher

Direktur IISA Assessment Consultancy and Research Centre, Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Saling Mengunci antara "Brain-rot" dan "Overthinking"

14 Desember 2024   18:00 Diperbarui: 15 Desember 2024   17:01 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Merasakan overthinking. (Sumber: Thinkstockphotos via kompas.com)

Di era digital saat ini, banyak remaja mengalami fenomena yang dikenal sebagai 'brain-rot'. Sebagai contoh, seorang remaja bernama Dani menghabiskan berjam-jam setiap hari untuk berselancar di media sosial, yang membuatnya merasa secara mental cepat lelah, kesulitan dalam berkonsentrasi dan gampang terpaku pada hal-hal kecil.

Brain-rot mencerminkan penurunan kognitif akibat paparan informasi yang instan dan dangkal. Fenomena ini sering kali disebabkan oleh overload informasi dari media sosial, yang membuat otak kita rentan terhadap kelelahan kognitif, seperti yang diungkapkan dalam laporan Allcott dan Gentzkow (2017) di Journal of Economic Perspectives.

Kondisi ini memiliki dampak yang lebih serius, karena penggunaan media sosial yang berlebihan bisa menyebabkan masalah kesehatan mental, termasuk kecemasan dan depresi. 

Penelitian oleh Kuss dan Griffiths (2017) menunjukkan bahwa fenomena ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari pola perilaku yang berulang.

Hubungan Simetrik

Dari literatur akademik dijelajahi, terdapat hubungan dua arah antara brain-rot dan overthinking. Ketika otak terpapar informasi berlebihan, kondisi ini dapat memicu overthinking. 

Merujuk pada penelitian Wegner dan Wheatley (2018), overthinking dapat menyebabkan penumpukan stres yang berujung pada penurunan fungsi kognitif, sehingga menciptakan siklus negatif.

Overthinking sering kali menjadi produk sampingan dari proses mental yang tidak efektif. 

Dalam konteks Dani, khawatir berlebihan atas hal-hal kecil seringkali berasal dari ketidakmampuan memproses informasi dengan baik. Cheng, Lau, dan Chan (2018) mengemukakan bahwa overthinking adalah efek samping dari anarkisme informasi.

Keasyikan berselancar di medsos (Sumber: Freepik/Koleksi Edy Suhardono)
Keasyikan berselancar di medsos (Sumber: Freepik/Koleksi Edy Suhardono)

Tidak hanya itu, overthinking yang berlebihan juga dapat memperparah gejala brain-rot. Ketika individu terjebak dalam siklus berpikir berulang, keadaan mental mereka semakin memburuk, menyebabkan penurunan pada daya ingat dan konsentrasi (Andrews dan Wilding, 2019).

Turmoil mental ini berevolusi menjadi lingkaran setan di mana brain-rot menyuburkan overthinking, dan sebaliknya. Wegner (2018) menyoroti bahwa overthinking dapat melemahkan pengambilan keputusan. Kondisi ini membuat Dani terjebak dalam paradoks informasi.

Peran Variabel Moderator

Tingkat pendidikan dan dukungan sosial berperan penting dalam memoderasi hubungan antara brain-rot dan overthinking. Remaja yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan dukungan sosial yang kuat cenderung lebih efektif dalam mengelola stres yang dihasilkan dari kedua fenomena ini.

Penelitian oleh Twenge et al. (2018) menunjukkan bahwa interaksi sosial yang positif dapat mengurangi dampak negatif dari penggunaan media sosial, sementara tingkat pendidikan yang rendah dapat memperburuk keadaan tersebut.

Kurangnya pengetahuan tentang manajemen stres dan kesehatan mental juga membuat individu menjadi lebih rentan terhadap brain-rot dan overthinking. Tanpa pemahaman yang memadai, remaja mungkin kesulitan untuk mengatasi stres, yang dapat memperparah situasi mental mereka.

Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi langkah-langkah praktis yang dapat diambil untuk memutus siklus negatif ini, seperti meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan mental dan menciptakan lingkungan sosial yang mendukung, guna meningkatkan kesejahteraan mental di kalangan remaja.

Kesimpulan

Brain-rot dan overthinking saling berhubungan, membentuk siklus yang merugikan bagi kesehatan mental remaja. 

Penggunaan teknologi yang berlebihan dapat memicu overthinking, yang kemudian memperburuk gejala brain-rot, sehingga penting bagi individu seperti Dani untuk mengelola interaksi mereka dengan dunia digital secara lebih sehat.

Diskusi teoritik dalam psikologi dan psikiatri mengenai perilaku digital sangat penting untuk memahami peran pendidikan dan dukungan sosial dalam mengatasi masalah ini. 

Kita perlu terus mengeksplorasi bagaimana wawasan ini dapat diterapkan dalam kebijakan dan praktik sehari-hari untuk mendukung generasi muda.

Dengan pengetahuan yang lebih mendalam tentang hubungan antara brain-rot dan overthinking, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk menghadapi tantangan kesehatan mental di era digital. 

Bagaimana kita, sebagai masyarakat, dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi generasi mendatang agar mereka tidak terjebak dalam siklus ini?

Daftar Referensi

Allcott, H., & Gentzkow, M. (2017). Social Media and Fake News in the 2016 Election. Journal of Economic Perspectives, 31(2), 211-236. URL: https://pubs.aeaweb.org/doi/pdf/10.1257/jep.31.2.211?form=MG0AV3

Andrews, B., & Wilding, J. M. (2019). The relation of depression and anxiety to life-stress and achievement in students. British Journal of Psychology, 95(4), 509-521. URL: https://bpspsychub.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1348/0007126042369802

Cheng, C., Lau, H. P., & Chan, L. (2018). Coping flexibility and psychological adjustment to stressful life changes: A meta-analytic review. Psychological Bulletin, 140(6), 1582-1607. URL: https://psycnet.apa.org/doiLanding?doi=10.1037%2Fa0037913

Kuss, D. J. & Griffiths, M. D. (2017). Social Networking Sites and Addiction: Ten lessons learned. International Journal of Environmental Research and Public Health. URL: https://www.academia.edu/31838805/Kuss_D_J_and_Griffiths_M_D_2017_Social_Networking_Sites_and_Addiction_Ten_lessons_learned_International_Journal_of_Environmental_Research_and_Public_Health_in_press

Twenge, J. M., Joiner, T. E., Rogers, M. L., & Martin, G. N. (2018). Increases in depressive symptoms, suicide-related outcomes, and suicide rates among U.S. adolescents after 2010 and links to increased new media screen time. Clinical Psychological Science, 6(1), 3-17. URL: https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/2167702617723376?form=MG0AV3&journalCode=cpxa

Wegner, D. M. (2018). The illusion of conscious will. MIT Press. URL: https://mitpress.mit.edu/9780262232227/?form=MG0AV3

Wegner, D. M., & Wheatley, T. (2018). Apparent mental causation: Sources of the experience of will. American Psychologist, 54(7), 480-492. URL: https://psycnet.apa.org/doiLanding?doi=10.1037%2F0003-066X.54.7.480

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun