Tragedi itu terus berlanjut. Baru sampai semester I 2018, PLN harus menderita rugi Rp6,49 triliun. Penyebabnya antara lain karena Perseroan harus merogoh kocek lebih dalam sampai Rp16,8 triliun hanya untuk belanja batubara.
Sialnya, lagi, kerugian tadi sama sekali bukan karena manajemen di bawah komando Soafyan Basir tidak becus. Justru kemampun menangguk laba hingga Rp10,98 triliun tadi menjadi bukti keandalan mereka. PLN rugi berat karena tingginya harga batubara yang dibeli dan harus menanggung ongkos pencitraan rezim sekarang yang ingin tetap kinclong dan tampak jagoan di mata rakyatnya.
Betapa tidak, di tengah lonjakan harga energi primer yang digunakan pembangkit listrik (BBM, Solar, Gas, batubara), PLN tidak boleh menaikkan harga jual listrik.Â
Bukan itu saja, PLN juga dikepung naiknya harga pembelian listrik dari IPP, menanggung beban dalam melaksanakan Public Service Obligation (PSO), dan penugasan Pemerintah untuk pencapaian 100% elektrifikasi. Belum lagi, perusahaan ini juga terlibat dalam megaproyek superambisius, pembangunan pembangkit 35.000 MW!
Sebaliknya, simak betapa dahsyatnya keuntungan para petambang batubara dari melonjak-lonjaknya harga komoditas ini di pasar dunia. PT Adaro Energy Tbk, misalnya, sampai triwulan III-2017 berhasil meraup laba sebesar US$495 juta, naik 76% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.Â
Ini setara dengan Rp7,17 triliun! Itu baru Adaro saja. Diperkirakan brankas 10 pengusaha besar batubara dari mendapat tambahan pendapatan durian runtuh ini sekitar Rp66Trilyun. Merekalah yang menguasai 60% produksi pada 2017.
Sudah puluhan tahun
Sekadar perbandingan saja, pada periode Januari-Februari 2018 Pertamina langsung berdarah-darah sebesar Rp3,9 triliun saat rezim ini menerapkan kebijakan BBM satu harga. Padahal, kewajiban ini baru berlangsung 'seumur jagung'. Â
Apakah Pemerintah tahu dan mau tahu, bahwa kebijakan satu harga sudah dilakukan PLN sejak puluhan tahun silam.Â
Bisakah para birokrat yang gaji dan fasilitas berlimpahruahnya dibayar dari uang rakyat itu membayangkan, betapa dahsyatnya beban dan kerugian PLN saat mengalirkan listrik di daerah-daerah terluar, terpencil, dan tertinggal (3T).
Bisakah dan maukah mereka menghitung harga tiap batang tiang listrik yang dipancangkan PLN dan berapa harga per meter kabel yang direntang melintasi lembah dan gunung, melewati pinggir-pinggir hutan hanya untuk menerangi beberapa puluh rumah di pedesaan itu? Berapa investasi dan biaya pokok produksi listrik yang harus ditanggung PLN dengan semua itu? Dan tahukah Luhut serta para koleganya yang ikut rapat di ruang sejuk dengan camilan lezat di Istana Jumat silam, bahwa penduduk desa itu menikmati harga subsidi yang amat murah.Â