oleh Edy Mulyadi*
Presiden Joko Widodo mengukuhkan pembentukan Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit atau Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC). Hal itu dituangkan Jokowi dalam Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2016 tentang Pengesahan Charter of the Establishment of the CPOPC, 4 Mei 2016.
CPOPC dibentuk dua negara, Indonesia-Malaysia, dengan tujuan mengendalikan harga minyak sawit global. Lewat Dewan ini, daya saing dan harga CPO Indonesia-Malaysia di pasar internasional akan lebih baik. Di atas semua itu, nasib dan kesejahteraan petani pun akan meningkat.
Pengesahan CPOPC oleh Presiden Jokowi punya arti penting. Pasalnya, dengan meratifikasi Piagam ini, Pemerintah Indonesia memiliki payung hukum untuk mengakui keberadaan dan operasional Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit di Indonesia.
Adalah Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramlli yang menjadi sosok penting di balik berdirinya CPOPC. Dialah yang merintis dan mengambil inisiatif kerja sama dengan Malaysia, sesama produsen utama minyak sawit dunia. Asal tahu saja, kedua negara ini menghasilkan sekitar 85% produksi crude palm oil (CPO) dunia.
“Idenya sederhana. Sebagai dua produsen utama dunia, Indonesia dan Malaysia relatif tidak mampu berbicara banyak di pasar CPO internasional. Selama ini pasar CPO dunia lebih banyak ditentukan para pembeli. Mereka bukan saja mematok harga, tapi juga mengatur soal mutu, tata cara budi daya, dan lainnya. Kita ingin mengakhiri dominasi yang tidak fair ini. Kita ingin Indonesia dan Malaysia punya peran lebih besar di pasar minyak sawit dunia,” papar Rizal Ramli, usai mewakili Pemerintah Indonesia menandatangani piagam pembentukan CPOPC, di Kuala Lumpur, (21/11).
Penugasan khusus
Mungkin orang bertanya, Rizal Ramli kok iseng banget ngurusin CPO? Apa hubungannya kemaritiman dengan minyak sawit? Mestinya, urusan ini ada di ranah Menteri Perindustrian dan atau Menteri Perdagangan.
Tapi, begitulah Rizal Ramli. Tangan dinginnya membuat jejak kinerjanya bisa tertera di mana-mana, menembus area dan domain ‘normal’. Tapi, eit, ini tidak berati dia kurang kerjaan atau serakah sehingga ‘menjarah’ domain kementerian lain, lho.
Keterlibatan RR, begitu dia disapa kalangan dekatnya, dalam soal CPO karena mendapat special assignment dari bosnya, Presiden Jokowi. Kisahnya berawal pada suatu sore, medio September 2016, beberapa pekan setelah dia dilantik menjadi Menko.
Waktu itu, media sedang dijejali pemberitaan ‘perang terbuka’ antara Rizal Ramli versus Wapres Jusuf Kalla terkait program listrik 35.000 MW. Maklum, mantan aktivis sejak mahasiswa itu mengritik proyek tersebut yang dinilainya ambisius dan tidak masuk akal. Kritik juga dilayangkannya karena jika dipaksakan, maka PLN diambang kebangkrutan karena harus membayar sekitar US$10 miliar/tahun untuk membeli 21.000 MW listrik swsta yang idle terkait proyek tersebut.