Selain karena adanya keterbatasan kewenangan APIP, sebenarnya masih ada persoalan lainnya yang memerlukan pengawasan BPKP yaitu terkait dengan independensi dan obyektivitas APIP untuk melakukan pemeriksaan. Hal tersebut dihadapi ketika melakukan pemeriksaan bilamana terdapat tindakan penyimpangan pengelolaan keuangan negara/daerah oleh Menteri/Pimpinan Lembaga, Gubernur, Bupati/Walikota.Â
Sehingga wajar bilamana Presiden menugaskan BPKP yang secara independen, obyektif dan profesional melakukan pemeriksaan (dalam konteks pengawasan intern) terhadap Menteri/Lembaga, Gubernur, Bupati/Walikota, sebelum dilakukan oleh BPK atau Aparat Penegak Hukum (APH). Selanjutnya bilamana terdapat indikasi tindak pidana korupsi, BPKP melakukan koordinasi dengan APH untuk dilakukan penanganan lebih lanjut sesuai kewenangannya.
Walaupun audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan pengelolaan keuangan negara dapat dilakukan oleh APIP lainnya selain BPKP, namun bilamana terdapat penyimpangan yang diduga dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga, Gubernur, Bupati/Walikota maka tidak layak dilakukan oleh APIP yang berada pada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
Sesuai Perpres No 192 tahun 2014 dan Inpres No 9 tahun 2014, pelaksanaan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya oleh BPKP tidak mungkin lagi dilakukan seperti halnya ketika BPKP melaksanakan tugasnya berdasarkan Keppres No 31 tahun 1983.Â
BPKP sebagai pembina pengawasan intern APIP lainnya baik Pusat dan Daerah, konsekuensinya tidak tepat lagi melakukan pengawasan sektoral terhadap unit kerja di lingkungan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. APIP Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah terus diberdayakan peran pengawasan internnya agar mampu melakukan pengawasan secara efektif terhadap unit kerja di lingkungan masing-masing Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.
Kata kunci yang penting atas pengaturan pengawasan dalam Perpres No 192 tahun 2014 dan Inpres No 9 tahun 2014 adalah sinegi dan koordinasi oleh BPKP dalam pengawasan yang bersifat nasional, lintas sektoral dalam mendukung secara nyata efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional.
Sesuai pasal 3 huruf f Perpres No 192 tahun 2014 dinyatakan bahwa fungsi BPKP melakukan pengoordinasian dan sinergi penyelenggaraan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional bersama-sama dengan aparat pengawasan intern pemerintah lainnya; Selanjutnya sesuai diktum keempat Inpres No 9 tahun 2014, diperintahkan kepada para Menteri Kabinet Kerja; Sekretaris Kabinet; Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; Jaksa Agung; Panglima Tentara Nasional Indonesia; Kepala Lembaga Pemerintahan Non Kementerian; Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Negara; Para Gubernur; Para Bupati/Walikota bersinergi, berkoordinasi, dan memberikan akses kepada Kepala BPKP untuk melakukan pengawasan.
Walaupun BPKP tidak lagi melakukan pengawasan sektoral namun efektivitas pengawasan sektoral  mempunyai pengaruh pada efektivitas pengawasan lintas sektoral oleh BPKP.Â
Sudah nyatakah kedudukan BPKP sebagai koordinator APIP dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional ?
Tugas BPKP dan APIP lainnya semakin kompleks karena UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, mengamanatkan kepada BPKP dan APIP lainnya bersama aparat penegak hukum untuk dapat mengidentifikasi penyimpangan yang berindikasi pidana atau  administratif, sebelum dilakukan penyidikan oleh aparat penegak hukum.  Amanat ini telah membawa konsekuensi BPKP dan APIP lainnya perlu memiliki pemahaman mengenai "mens rea"  seperti pemahaman yang dimilki APH. Namun bukan berarti BPKP dan APIP lainnya harus memilki kewenangan yang sama dengan APH berkenaan dengan proses penegakan hukum.
(baca tulisan terkait: Penegakan Hukum yang Berkeadilan dan Transparan Masih Jauh dari Harapan)