Regulasi yang berpotensi menimbulkan persoalan tidak fokusnya BPKP dan APIP lainnya berperan melakukan pengawasan intern pemerintah :
1. UU No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.
UU inisiatif DPR RI ini belum mempertimbangkan pentingnya fungsi pengawasan sebagai kekuasan administratif Presiden dalam sistem Presidensial.
2. UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
UU ini memberikan akses Menteri Dalam Negeri melalui Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri untuk mengatur peran APIP dengan pemahaman pengawasannya yang berbeda dengan pemahaman pengawasan intern yang diatur dalam PP No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Selain itu UU tersebut tidak mempertimbangkan keberadaan BPKP sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah.
Oleh karena itu, sudah saatnya regulasi yang berpotensi menghambat tidak fokusnya APIP melakukan pencegahan korupsi dibenahi atau direformasi sejalan dengan konstitusi yang menganut sistem pemerintahan presidensial.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, Presiden dapat menggunakan hak prerogatifnya sesuai konstitusi membentuk Kementerian Urusan Pengawasan/BPKP, kemudian mengambil suatu kebijakan pengawasan intern pemerintah hanya berada dalam tangan Presiden.
Hanya Presiden melalui BPKP yang dapat melakukan akses keseluruh APIP tidak saja melakukan pembinaan namun diberikan pula peran melakukan pengawasan terhadap APIP. Pengawasan ini dilakukan tidak dalam rangka pengawasan melekat oleh atasan langsung secara berjenjang, tapi pengawasan yang semata-mata untuk kepentingan Presiden.
BPKP sebagai APIP Presiden perlu dipertajam perannya semacam “komite audit” sehingga dapat melakukan pengawasan (peer reviu) terhadap APIP lainnya terkait efektivitas pengawasan oleh APIP Daerah dan Pusat. Pengawasan tersebut setidaknya untuk meyakinkan :
1. Kapabilitas dan kompetensi SDM yang ada pada APIP secara substantif apakah telah memadai melakukan pencegahan korupsi.
2. Manajemen pengawasan intern APIP lainnya apakah telah sejalan dengan BPKP.