Mohon tunggu...
Edward Simanungkalit
Edward Simanungkalit Mohon Tunggu... -

Selama ini terus belajar menulis yang dimulai sejak tahun 1993 hingga sekarang. Belakangan belajar menulis buku dan telah berhasil menulis buku: "ORANG TOBA: Asal-usul, Jatidiri, dan Mitos Sianjur Mulamula" (2015). Aktivitas menulis ini didasari satu keyakinan bahwa "kebenaran itu memerdekakan". Ternyata belajar itu tak ada hentinya, karena belajar di Sekolah Kehidupan tak ada habis-habisnya. All Truth is God's Truth.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

MEMBONGKAR MITOS SI RAJA BATAK: Sebuah Strategi Belanda dalam Pembatakan Non-Melayu

24 Juni 2016   01:55 Diperbarui: 27 Juni 2016   05:23 6103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.forgottenmotherland.com

Orang Melayu di pesisir Sumatera Timur menganggap dirinya berbudaya, sedang semua orang yang non-Melayu yang berada di pedalaman dan di lembah pegunungan Bukit Barisan dipandang sebagai orang yang tidak berpengetahuan, berperilaku kasar dan bahkan kanibal, diberi label ”Batak”. Melayu bukan label etnis, dia adalah label budaya. Siapa saja dapat menjadi Melayu, asal dia beragama Islam, beradat-istiadat Melayu, berbahasa Melayu dan mengaku Melayu. Label Melayu dan ”Batak”, menurut Daniel Perret, muncul bersamaan pada abad 16. Label ”Batak” ini muncul sebagai pelengkap label Melayu. Istilah ”Batak” ini disebutkan dengan konotasi merendahkan (seakan memiliki stigma/cacat sosial). Khusus mengenai istilah ”Batak”, Daniel Perret menjelaskan bahwa istilah itu bukan berasal dari orang-orang Toba, Simalungun, Pakpak Bharat, Karo atau Mandailing/Sipirok. Label itu datang dari luar khasanah budaya mereka. Dalam beberapa dokumen bahwa sebutan ”Batak” tidak terdapat dalam sastra pra-kolonial. Bahkan dalam Hikayat Deli (1825) istilah ”Batak” hanya sekali digunakan, sedang dalam Syair Putri Hijau (1924) sama sekali tidak menyinggung ”Batak” atau Melayu. Baik dalam Pustaka Kembaren (1927) maupun Pustaka Ginting (1930) tidak dijumpai kata-kata ”Batak”. Selain itu, B.A. Simanjuntak mencacat bahwa kata-kata ”Batak” tidak dijumpai dalam Pustaha Toba. Memang dalam stempel Singamangaraja, yang tertera hanya kalimat ”Ahu Raja Toba”, bukan ”Ahu Raja Batak.” Karena label ”Batak” dibawa dari luar, maka dia menjadi sebuah label yang kabur dan menyesatkan (evasive identity). Ketika seorang menganggap orang lain ”Batak”, maka dia merasa lebih tinggi dari orang lain itu.

“Batak” dalam literatur baru dikenal dalam laporan Nicolo de Conti (1430) yang selama setahun tinggal di Scimuthera (Kerajaan Samudra) di pantai timur sumatera. Disebutkan nama tempat-tempat “Batech”, sebagai populasi yang bersifat kanibal dan gemar berperang. Selanjutnya, dalam laporan terkenal Tome Pires, Suma Oriental pada awal abad ke-16.

Adapun F. Mendes Pinto, orang Eropa pertama yang masuk ke pedalaman Sumatera Utara, yang merekamnya secara tertulis dalam Peregrination. Di antaranya catatan tentang adanya kunjungan duta raja orang “Batak” menemui kapten Melaka yang baru Pedro de Faria di tahun 1539. Mendes Pinto juga yang mencatat pertama adanya masyarakat Aru di pesisir timur laut Sumatera dan mengunjungi rajanya yang muslim. Sementara itu, dua puluh tahun sebelumnya, Duarte Barbosa sudah mencatat tentang kerajaan Aru yang ketika itu dikuasai oleh orang kanibal penganut paganisme. Tak sedikit, sejak istilah “Batech” muncul (Nicolo de Conti), diikuti juga dengan “Bata” (Tome Pires, Mendes Pinto), “Batang” (Sidi Ali Celibi, 1954), “Batas” (Joao de Barros, 1563). Kemudian dilanjutkan Beaulieu (1629-1621), laporan Tionghoa pada 01/03/1701, Hamilton (1727) dan Charles Miller (1772), sampai akhirnya William Marsden (1783) membuat pembedaan Carrow dan Batta, dilanjutkan John Anderson (1823) yang mendeskripsikan pembedaan Mandiling atau Kataran, Pakpak, Tubba, Karau-karau, Kappak dan Alas. Dalam buku ini diuraikan juga ruang geografi (peta “Batak”) versi ˜orang Eropa” berturut-turut versi Junghun (1841), Collet (1925), Kennedy (1945), Cunningham (1958), Reid (1979), dan Sibeth (1991). Fakta ini menunjukkan berbagai kepentingan yang melandasi kawasan stategis Sumatera Utara sejak jaman prasejarah hingga saat ini dan juga masa mendatang.

Di sekitar penghujung abad ke-19, bahwa posisi pihak non-Melayu semakin terjepit oleh perkembangan ekonomi dan agama yang dialami oleh pihak Melayu. Belanda memanfaatkan situasi ini, sehingga dalam kesempatan berhubungan langsung dengan elit pedalaman ini para kontrolir Belanda yang ditempatkan di dusun-dusun (Simalungun, Karo dan Toba) memperkuat keterpisahan mereka dengan Sultan-Sultan Melayu Pesisir, dan mendorong tumbuhnya perasaan komunitas dan kesadaran etnis sendiri, sebagai orang ”Batak”. Mulai tahun 1888, kontrolir-kontrolir yang ditempatkan di dusun-dusun ditugaskan untuk menangani urusan ”Batak”, yaitu membela kepentingan orang ”Batak” berhadapan dengan orang Melayu. Kemudian pemerintah kolonial menciptakan ruang hukum untuk Dusun dan Dataran sebagai ruang hukum ”Batak”, sedang untuk daerah pesisir dimasukkan dalam ruang hukum Melayu. Dengan keterpisahan ini Belanda dapat lebih mudah memancing konflik antara Melayu dan ”Batak” seperti pecahnya perang Sunggal (1872). Di satu sisi perkebunan asing/Belanda menerima konsesi tanah dari Sultan Melayu dengan sukacita, di sisi lain pemerintah kolonial merangsang timbulnya protes dari pemilik tanah penduduk asli setempat. Demikianlah pemerintah Belanda menggunakan label ”Batak” untuk mempersatukan seluruh suku-suku non-Melayu sebagai sebuah identitas etnik. Van der Tuuk, ahli Bahasa yang bekerja untuk Nederlands Bijbelgenootschap (NBG), dalam suratnya tertanggal 15 November 1855, pernah mengusulkan kepada pengurus NBG agar istilah “Batak” dan “Melayu” tidak digunakan secara resmi. Sebagai gantinya van der Tuuk mengusulkan penyebutan seperti “Mandailing”, “Angkola”, dan lain sebagainya.

Pemerintah Belanda terus menerus memompakan label ”Batak” dengan penguatan sosio-geografis tertentu, nilai-nilai adat budaya dan kemudian agama Kristen. Sehingga keterpisahan kawasan ”Batak dengan Melayu” menjadi lebih nyata dan kontras, tidak dalam pengertian budaya, tetapi dalam pengertian kelompok etnik ”Melayu versus Batak”. Untuk mengukuhkan gerakan ini secara akademis, pemerintah Belanda di Universitas Leiden mendirikan Bataksch Institut. Beberapa cabangnya Bataksch Vereeniging didirikan pada lokasi-lokasi tertentu seperti di Tapanuli dengan berbagai kegiatan termasuk melaksanakan pertemuan-pertemuan, mendirikan museum, opera Batak (Tilhang) yang adopsi dari teater Bangsawan Melayu, menulis adat ”Batak” (yang disusun oleh seorang kontrolir, 1909). Sementara itu, di bagian Selatan Tapanuli telah berdiri kelompok (Bangsa) Mandailing yang berseberangan dengan kelompok ”Batak” di Utara. Sebagai migran di kota Medan, mereka saling berhadapan pula dalam berbagai polemik wacana mengenai ”Batak” bahkan konflik terbuka (peristiwa Sungai Mati 1920). Orang Mandailing tidak mau disebut ”Batak” karena mereka merasa sudah berbudaya tinggi, jadi bukan melulu karena masalah geneologis.

Akhirnya, Daniel Perret dalam desertasinya menyimpulkan bahwa baik istilah ”Batak” maupun ”Melayu” bukanlah label etnik, tetapi label budaya. Tetapi untuk kepentingan strategi kolonial, pemerintah Belanda telah mampu ”memaksakan” atau dengan istilah lain ”mengkonstruksi” orang-orang Simalungun, Karo, Pakpak dan Toba menerima label ”Batak” sebagai label kesatuan etnik dan mematahkan jalinan sosial-tradisional antara kawasan pesisir dan pegunungan (Melayu dan non-Melayu). Bahkan menyediakan fasilitas unsur-unsur pembentukan dan penegasan identitas etnis baru itu sebagai orang ”Batak”. Semua itu untuk kepentingan strategi (divide et empera) kolonial Belanda. Namun bisa dicermati, bahwa saat ini etnis “Batak” seringkali diidentikkan pula sebagai “etnis Kristen”, meskipun terdapat kenyataan bahwa dari etnis ini juga terdapat kalangan pemeluk agama Islam.

Dr. Ichwan Azhari, sejarawan dari Unimed, dalam tulisannya berjudul: ”Konstruksi Batak dan Tapanuli di Dalam Ruang Administratif di Sumatera Utara Sejak Abad 19” (2011). mengemukakan bahwa kata “Batak” awalnya diambil para musafir yang menjelajah ke Sumatra dari para penduduk pesisir untuk menyebut kelompok etnik yang berada di pegunungan dengan nama “bata”. Tapi nama yang diberikan penduduk pesisir ini berkonotasi negatif bahkan cenderung menghina untuk menyebut penduduk pegunungan itu sebagai kurang beradab, liar, dan tinggal di hutan.” Pada sumber-sumber manuskrip Melayu klasik dari abad ke-17 koleksi Leiden dan manuskrip Hikayat Hang Tuah, saat Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511) ada ditemukan kata “Batak” di kalangan Melayu, Malaysia sebagai label penduduk rimba pedalaman dengan pandangan sangat hina dan direndahkan. Di Filipina juga penduduk pesisir menyebut penduduk pedalaman dengan label negatif sebagai “Batak”. Itu sebabnya Van der Tuuk pernah risau dan mengingatkan para misionaris Jerman agar tidak menggunakan nama “Batak” untuk nama etnik, karena gambaran negatif yang terkandung pada kata “Batak” itu. Di Malaysia dan Filipina, penduduk yang diberi label “Batak” tidak mau menggunakan label merendahkan itu menjadi nama etnik mereka. Di Sumatra Utara label itu terus dipakai, karena peran misionaris Jerman dan pemerintah kolonial Belanda yang memberi konstruksi dan makna baru atas kata itu.

Dalam penelitiannya di arsip misionaris Jerman di Wuppertal sejak bulan September 2010, terlihat para misionaris sendiri awalnya mengalami keragu-raguan untuk menggunakan kata “Batak” sebagai nama etnik. Hal ini dikarenakan kata “Batak” itu tidak dikenal oleh orang “Batak” ketika para misionaris datang dan melakukan penelitian awal. Pada tahun 1878 lembaga kantor pusat missionaris Jerman di Barmen mengeluarkan peta resmi misionaris yang dicetak dan disebarluaskan berbentuk buku berjudul Mission Atlas (1878). Dalam buku ini terdapat delapan peta yang di antaranya berjudul Die Sudlichen Batta-lander auf Sumatra (Tanah Batak Selatan di Sumatra). Judul-judul peta Der Nordlichen Battalander Die Sudlichen Batta-lander ini merupakan titik awal konstruksi “Batak Utara” dan “Batak Selatan” yang dilakukan para misionaris Jerman yang dipakai pemerintah kolonial Belanda dan konstruksi itu berpengaruh sampai saat ini.

Konsep dari misionaris Jerman yang semula menggunakan kata “Batak” untuk kelompok masyarakat yang tinggal di kawasan Tapanuli Utara saja, dipakai Belanda lebih lanjut untuk menguatkan cengkraman ideologi kolonial mereka. Perlahan-lahan konsep “Batak” itu mulai meluas dipakai Belanda termasuk sebagai pernyataan identitas oleh penduduk di luar daerah Toba. Peneliti Belanda juga kemudian merumuskan konsep “sub-suku batak” dalam antropologi kolonial yang membagi etnik “Batak” dalam beberapa “sub-suku” seperti sub-suku Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Karo, Batak Simalungun serta Batak Pakpak (Joustra, 1910). Konstruksi Belanda tentang sub-etnik Batak ini sama sekali tidak diperkenalkan apa lagi dipakai para misionaris Jerman selama lebih 50 tahun keberadaan mereka di “tanah batak”. Dalam antropologi di Indonesia moderen konsep “sub-suku Batak” made in Belanda itu kemudian dicopy Payung Bangun dalam buku “Manusia dan Kebudayaan Indonesia” yang diedit Koentjaraningrat (1980). Konsep “sub-suku Batak” merupakan konstruksi konsep kolonial yang dalam perjalanan sejarah berikutnya terbukti tidak tepat dan ditolak sendiri oleh kelompok-kelompok etnik yang dikenakan label “Batak” tersebut. Kini orang Karo, Pak Pak, Simalungun serta Mandailing menolak disebut “Batak” yang dikonstruksi antropologi kolonial. Dengan demikian, dapat dikatakan “Batak” sebagai nama etnik (suku) tidak berasal dari orang “Batak” sendiri, tapi diciptakan atau dikonstruksi oleh para musafir barat dan kemudian dikukuhkan oleh misionaris Jerman yang datang ke “tanah Batak” sejak tahun 1860 an. Pemerintah kolonial Belanda kemudian mengadopsi kata “Batak” yang oleh jasa para misionaris Jerman itu maknanya sudah tidak lagi berkonotasi negatif. Dalam sumber-sumber lisan dan tertulis, terutama di dalam pustaha (tulisan tangan asli Batak) tidak ditemukan kata “Batak” untuk menyebut diri sebagai orang atau etnik “Batak”. Jadi dengan demikian nama “Batak” tidak asli berasal dari dalam kebudayaan “Batak” melainkan sesuatu yang diciptakan dan diberikan dari luar (Lihat: Ichwan Azhari, Konstruksi Batak di Dalam Ruang Administratif di Sumatera Utara Sejak Abad 19, 2011).

Prof. Dr. Uli Kozok menyebutkan bahwa “Batak” bukan bangsa dan juga bukan suku atau etnis melainkan sebuah istilah untuk pengelompokan agar memudahkan dalam pengkajiannya. Kata beliau juga, masalahnya istilah “Batak” sudah dicaplok oleh masyarakat Toba dan menjadikannya sebagai identitas mereka. Artinya, menurutnya, otomatis Mandailing, Karo, Simalungun, dan Pakpak bukanlah menjadi “Batak” (09 November 2014, fan page Prof. Dr. Uli Kozok). Dulu istilah “Batak” konotasinya teramat jelek dan hanya dipakai oleh orang luar (Malayu, Aceh, Minang) dan tidak pernah dipakai oleh orang “Batak” sendiri. Jerman dan Belanda yang mempopulerkan istilah “Batak” dan lama-kelamaan konotasi jelek pun hilang (Agustus 2015, fan page Prof. Dr. Uli Kozok). Uli Kozok juga sebelumnya telah mengungkapkan, dengan menggunakan data primer, bahwa misionaris Jerman berperan atas masuknya Belanda ke Negeri Toba dalam bukunya: “Utusan Damai di Kemelut Perang” (2009) yang dapat juga dibaca di https://nommensen.wordpress.com.

Seluruh paparan di atas mengungkapkan bahwa istilah “Batak” itu bukan berasal dari dalam etnis/suku itu sendiri, tetapi berasal dari luar yang dikonstruksi oleh misionaris Jerman pada Orang Toba di awalnya dan dikonstruksi Belanda pada non-Melayu berikutnya. Kemudian rumusan antropologi kolonial yang kemudian hari dicopy Prof. Dr. Payung Bangun ke dalam antropologi nasional dengan membuat sub-etnik “Batak” seperti: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak mendapat penolakan dari pihak Mandailing, Karo, Simalungun, dan Pakpak, karena bukan berasal dari dalam. Mandailing telah menggugatnya ke pengadilan dalam peristiwa Riwajat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di Sungai Mati, Medan pada tahun 1925 dan putusan pengadilan menyatakan bahwa Etnis Mandailing terpisah dari Batak (Wikipedia). Dengan demikian, memaksakan Mandailing sebagai “Batak” merupakan ketidakpatuhan kepada putusan pengadilan tadi. Itulah sebabnya kemudian Belanda memunculkan istilah lain, yaitu: “Tapanuli”, untuk mempersatukan Utara dan Selatan. Kemudian Angkola memberi nama gerejanya dengan nama GKPA, Simalungun memberi nama gerejanya dengan nama GKPS, dan Pakpak member nama gerejanya dengan nama GKPPD, tanpa ada kata “Batak”. Tanah Pakpak, pemilik hak ulayatnya, adalah marga-marga Pakpak dan jelas terlihat dari Lembaga Adat Sulang Silima yang membuktikan bahwa Pakpak merupakan sebuah etnis tersendiri. Selain itu tarombo Pakpak berbeda sekali dengan tarombo Toba, seperti contohnya marga-marga dari Sicike-cike di Sidikalang dengan ibunya berru Padang dan berru Saraan bahwa mereka sudah 36 generasi, sedang marga-marga Toba rata-rata masih sekitar 20 generasi dan tidak lebih dari 25 generasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun