Mohon tunggu...
Edward Simanungkalit
Edward Simanungkalit Mohon Tunggu... -

Selama ini terus belajar menulis yang dimulai sejak tahun 1993 hingga sekarang. Belakangan belajar menulis buku dan telah berhasil menulis buku: "ORANG TOBA: Asal-usul, Jatidiri, dan Mitos Sianjur Mulamula" (2015). Aktivitas menulis ini didasari satu keyakinan bahwa "kebenaran itu memerdekakan". Ternyata belajar itu tak ada hentinya, karena belajar di Sekolah Kehidupan tak ada habis-habisnya. All Truth is God's Truth.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

MEMBONGKAR MITOS SI RAJA BATAK: Sebuah Strategi Belanda dalam Pembatakan Non-Melayu

24 Juni 2016   01:55 Diperbarui: 27 Juni 2016   05:23 6103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.forgottenmotherland.com

Ekspansi Austronesia, menurut Karafet et al. (2010), antara lain terdiri dari: O-P203, O-M110, dan O-P201*. Karafet et al. (2010) menyebutkan bahwaO-P201*, O-P203 dan O-M110 berbahasa Austronesia pada populasi Toba. O-P201* keluar dari Asia Daratan sementara O-P203 dan O-M110keluar dari Taiwan dalam ekspansi Austronesia ke Indonesia Barat yang berlangsung pada periode 4.000-6.000 tahun lalu (Karafet et al. 2010). Penelitian Jean A. Trejaut et al. (2014) menguatkan bahwa O-P201* memang keluar dari Asia Daratan. O-P201* berasal dari sekitar Yunnan dan Teluk Tonkin. Dengan melihat asal dari O-P201* ini, maka terlihat bahwa O-P201* kemungkinan bersinggungan dengan budaya Dong Son, yang berkembang pada abad ke-5 hingga abad ke-2 SM di lembah Song Hong berdekatan dengan Teluk Tonkin, Vietnam. Hal ini mengingat bahwa populasi Toba didominasi oleh budaya Dong Son. Sedang R-M124 berasal dari dari India, Asia Selatan yang datang sejak millenum pertama masehi di Sumatera.

Akhirnya, K-M526* muncul di Sundaland, sedang O-M95*, O-M110, O-P201, O-P203, dan R-M124 memiliki hubungan paternal dengan K-M526* yang kesemuanya ada pada Y-DNA Toba. Keenam populasi ini datang dengan masing-masing rombongan ke Negeri Toba dan semuanya bercampur hingga membentuk populasi Toba seperti terlihat pada Y-DNA-nya di atas (Lihat: Edward Simanungkalit, “DARI SUNDALAND HINGGA DI NEGERI TOBA: Sebuah Penelusuran Para Ahli Genetika”, dalam Kompasiana, 23/03-2016).

Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula

Sumber: sopopanisioan.blogspot.co.id
Sumber: sopopanisioan.blogspot.co.id
Si Raja Batak, disebut-sebut oleh buku W.M. Hutagalung dan para penulis lainnya, sebagai nenek-moyang tunggal Bangso Batak yang memulai kampung awal di Sianjur Mulamula, kaki Pusuk Buhit, Samosir. Dalam bukunya “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926), W.M. Hutagalung mengemukakan bahwa Si Raja Batak adalah nenek-moyang Bangso Batak, yang terdiri dari: Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing. Dalam buku tersebut, W.M. Hutagalung menulis tarombo Bangso Batak yang dimulai dari Si Raja Batak dengan keturunannya mulai dari marga-marga Toba. Dan, marga-marga Toba ini bersambung dengan marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing, sehingga menempatkan Toba menjadi induknya, yaitu induk dari Bangso Batak. Jadi, marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing adalah keturunan dari marga-marga Toba, sehingga terlihat bahwa Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing dibentuk oleh keturunan marga-marga Toba. Masa hidup Si Raja Batak sendiri disebutkan berdasarkan perhitungan dari Richard Sinaga, Batara Sangti Simanjuntak, Kondar Situmorang, Sarman P. Sagala, Ketut Wiradnyana, dan Prof. Dr. Uli Kozok berkisar dari 500 - 1.000 tahun lalu (Lihat: Edward Simanungkalit, BENARKAH SI RAJA BATAK NENEK-MOYANG BANGSO BATAK DAN TOBA INDUK BANGSO BATAK?, dalam Kompasiana, 20/01-2016).

Balai Arkeologi Medan,pada Juli 2013, telah melakukan penelitian “Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir” dengan melakukan kegiatan survey arkeologi dan ekskavasi di sana. Tinggalan megalitik yang dapat ditemukan di Samosir, yaitu: sarkofagus, tempayan batu, kubus batu, kubur pahat batu, tambak batu, batu dakon, menhir, patung-patung batu seperti patung pangulu balang, lesung batu, palungan batu, bottean, sakkal, gajah dari batu paha, parik (pagar batu), dan punden berundak. Tempayan batu seperti disebutkan tadi ada ditemukan di Sumatera Selatan yang berasal dari millenium kedua masehi. Rumah adat memiliki pola arsitektur rumah panggung melengkung yang merupakan ciri budaya Dong Son. Pola hias di rumah adat dalam bentuk berbagai macam binatang dan sulur-suluran yang dibuat dengan hiasan rumbai-rumbai seperti bulu-bulu yang panjang baik itu pada pahatan flora ataupun pahatan fauna mengingatkan akan hiasan model yang serupa pada benda-benda perunggu yang berasal dari Dong Son. Gambar cecak sebagai lambang kejujuran dan atau kebenaran bagi para pemimpin yang memimpin. Pada tradisi paleometalik Dong Son sangat umum dikenal motif-motif antara lain sulur-suluran, spiral atau pilin berganda, geometris berupa segi empat, bulatan, tumpal maupun belah ketupat dan motif-motif itu masih selalu hadir pada berbagai aspek tinggalan budaya Toba. Disimpulkan bahwa kelompok pendukung budaya Dong Son telah datang dari China Selatan melalui jalur timur menuju ke Taiwan, dari Taiwan terus ke Filipina dan dilanjutkan lagi ke Sulawesi dan seterusnya ke Sumatera melalui pesisir Timur hingga mencapai Samosir (Lihat: Wiradnyana & Setiawan, Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir, 2013). Selain dari yang telah disebutkan tadi bahwa ulos juga memiliki corak dari budaya Dong Son.

Kebudayaan Dong Son adalah kebudayaan zaman perunggu yang berkembang di lembah Song Hong, Vietnam dan secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya kelompok bahasa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam. Kebudayaan ini sendiri mengambil nama situs Dong Son di Tanh Hoa dan berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 SM. Masyarakat Dong Son adalah masyarakat petani dan peternak yang handal serta terampil memancing. Mereka menetap dalam rumah-rumah panggung besar dengan atap yang melengkung lebar dan menjulur menaungi emperannya. Masyarakat Dong Son juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, yang melayari seluruh Laut China hingga ke selatan dengan perahu panjang bercadik dua (wikipedia). Masyarakat Dong Son berasal dari ras Mongoloid. Kebudayaan Dong Son secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya kelompok penutur Austronesia.
Latar Belakang Kata “Batak

Ensiklopedia Britannica memberi keterangan tentang “Batak” sebagai berikut: “Batak, also spelled Battak or Batta, several closely related ethnic groups of north-central Sumatra, Indonesia. The term Batak is one of convenience, likely coined during precolonial times by indigenous outsiders (e.g., the Malay) and later adopted by Europeans. The groups embraced by the term — the Toba, the Karo, the Simalungun, the Pak Pak, the Mandailing, and the Angkola — have to a limited degree adopted it as a self-designation.” (www.britannica.com). Istilah “Batak” itu kemungkinan diciptakan selama masa pra-kolonial oleh pihak luar, misalnya: Melayu, dan kemudian diadopsi oleh orang Eropa. Kelompok-kelompok yang termasuk ke dalamnya, yaitu: Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Pakpak, Mandailing, dan Angkola. Lothar Schreiner, dalam bukunya “Adat dan Injil; Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak” (1999:11) mengatakan: “Sebutan ‘Batak’ maupun ‘daerah Batak’ barulah muncul setelah pengkristenan.” Senada dengan itu, Lance Castle, dalam bukunya, “Kehidupan Politik Sebuah Keresidenan: Tapanuli 1915-1940”, Desertasi Ph.D (1972:138) mengemukakan bahwa sebutan “Batak” itu bermula dari ‘stereotipe’ orang-orang Melayu Muslim di Sumatra Timur terhadap orang “Batak”, sedangkan konotasi yang terkandung dalam sebutan “Batak” ialah: ‘jelek, kasar, jorok, dan bodoh’. Akibatnya banyak orang “Batak” tidak mau menyebutkan identitas mereka sebagai “Batak”, dan lebih senang menyatakan diri sebagai orang: Toba, Karo, Simalungun, Mandailing/Angkola, atau Pakpak/Dairi. Lothar Schreiner dan Lance Castle maupun Ensiklopedia Britannica sebelumnya memberikan informasi bahwa kata “BATAK” itu baru muncul sejak masuknya Kristen dan Kolonial ke daerah pedalaman Sumatera Utara.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa arti kata “Batak” ialah petualang; pengembara. Kata kerja “mem-ba-tak” artinya: 1 bertualang, melanglang; mengembara; 2 merampok; menyamun; merampas. Sedang kata sifat “pem-ba-tak” artinya: perampok; penyamun. Demikian pengertian yang berhubungan dengan kata “Batak” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Dr. Daniel Perret melakukan penelitian mengenai ”Melayu” dan ”Batak” dalam strategi Kolonial Belanda. Sejak 1990 sampai 1993, Perret menggelar penelitian lapangan dengan cakupan wilayah Indonesia timur laut – tempat manipulasi identitas “Batak dan Melayu” dibangun untuk kepentingan para kapitalis perkebunan. Desertasinya telah dibukukan dengan judul ”KOLONIALISME DAN ETNISITAS: Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut” (2010). Sejak abad ke-2 Masehi, lewat tulisan Claudius Ptolemaeus, dan selama satu milenium, Sumatra bagian Utara dianggap sebagai daerah berbahaya karena diduga dihuni oleh sejumlah masyarakat kanibal. Hal ini bahkan masih berlangsung hingga awal abad ke-20. Daerah tersebut diketahui kaya dengan kamper yang diekspor sejak abad ke-5 atau ke-6 M, melalui sebuah tempat yang bernama Barus. Pada awal abad ke-13 M, Zhao Rugua mencatat sebuah negeri bernama Pa-t’a, di bawah kuasa Sriwijaya. Kaitan antara Pa-t’a dan Bata sudah diterima umum.

Dari penelusurannya, Perret menemukan jejak pengaruh besar pemerintah kolonial Belanda terhadap pola hubungan dan akulturasi dua kelompok penyandang budaya tadi di awal. “Batak” di satu pihak dan “Melayu” di pihak lain, dengan ciri khas bahasa, pakaian, dan adat-istiadat masing-masing. Mengenai istilah “Batak” ini, Daniel Perret memandangnya sebagai ciptaan penjajah berdasarkan rujukan teks Belanda dan melihat istilah “Batak” berkonotasi merendahkan sebagai sebutan orang luar bagi orang pedalaman yang beradat kasar. Seiring dengan semakin meluasnya proses Islamisasi di kalangan orang-orang pedalaman yang bermigrasi ke pesisir timur Sumatera Utara, mereka mengadopsi identitas Melayu dengan beragama Islam bahkan proses itu meluas ke pedalaman. Perkembangan Islam ini mencemaskan penjajah, sehingga menghalangi dakwah di daerah yang telah dikristenkan dan larangan mengangkat warga muslim sebagai pegawai pemerintah setempat. Penyebaran Islam terus bergerak masuk wilayah pedalaman yang dinilai mengancam kolonialisasi, sehingga pemerintah kolonial merasa perlu mengintensifkan Kristenisasi di “Tanah Batak”.

Daniel Perret mengungkapkan, berdasarkan masukan dari J.T. Creemer, pengembangan Kristen di daerah “Batak” memiliki fungsi yang cukup strategis bagi kolonial Belanda., karena berpindah agama menjadi Kristen membuat orang “Batak” tidak akan menimbulkan masalah bagi penjajah kolonial. Sementara Islam mulai masuk ke “Tanah Batak” yang dirasakan sebagai sebuah potensi mencemaskan bagi kepentingan penjajah, maka upaya menghadirkan misi Kristen dilakukan. Berdasarkan kajian etnologi, Daniel Perret memperlihatkan bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah “keluarga besar Batak” baru terjadi pada era kolonialisme Belanda. Bahkan dalam disertasi J. Pardede (1975), sebagaimana disebutkan oleh Perret, dikemukakan bahwa istilah “Tanah Batak” dan “rakyat Batak” merupakan sebuah terminologi baru yang diciptakan oleh pihak asing. Perret juga menyebutkan bahwa perbedaan antara “Batak” dan “Melayu”, seperti telah menjadi sebuah kesepakatan para penulis, hanya terletak pada faktor kanibalisme. Nicolo de’ Conti yang pernah tinggal di Scimuthera (Kerajaan Samudra) di pantai timur sumatera pada tahun 1430, menjadi orang pertama yang menyebutkan nama tempat “Batech” yang dikaitkan dengan sebuah populasi yang bersifat kanibal dan gemar berperang. Oleh karena itulah, awalnya sebutan “Batak” dianggap sebagai sebuah penghinaan bagi penduduk setempat dan kata “Batak” tidak dipakai oleh orang setempat ketika berbicara tentang diri mereka sendiri. Kata ini telah menjadi semacam evasive identity yang secara umum digunakan untuk menunjuk “orang lain” atau untuk memperlihatkan sebuah kategori yang meliputi pemakan babi dari manapun asalnya. Anehnya, Perret mengungkapkan fenomena sebutan “Batak” justru digunakan oleh penduduk dusun untuk mengidentifikasi para misionaris Belanda dan orang Tionghoa, karena mereka juga memakan babi. Sebutan “Batak” tampaknya juga tidak dapat ditemukan dalam karya sastra era pra-kolonial. Dalam perkembangan waktu selanjutnya istilah “Batak” ini kemudian diterima sebagai sebuah identitas etnis tertentu. Daniel Perret mengungkapkan, setelah keberadaan orang-orang “Batak” diterima oleh orang Barat, kemudian mulailah diciptakanlah batas-batas “Tanah Batak”. Jadi, istilah “Batak” adalah identitas yang sengaja diciptakan pada masa kolonialisme di Sumatera Utara. Studi Daniel Perret menunjukkan adanya pola di mana istilah “Batak” sengaja dimunculkan, sebagai pembeda sebuah etnis di Sumatra Utara dengan bangsa “Melayu” yang identik memeluk Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun