Sumber: http://solutourandtravel.blogspot.co.id
Oleh: Edward Simanungkalit *
Sundaland dalam Ilmu Pengetahuan Modern
Setelah Gunung Toba meletus 74.000 tahun lalu yang memusnahkan hampir semua manusia dan kalderanya menjadi Danau Toba, maka terjadi kembali migrasi manusia dari Afrika ke Sundaland di sekitar 70.000 tahun lalu. Mereka bermigrasi menyusuri pesisir pantai melalui India Selatan sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Stephen Oppenheimer dari Oxford University, Inggris, yang dikenal menulis buku: “Eden in The East: The Drowned Continent of Southeast Asia” (1999). Dia menulis buku ini setelah memimpin proyek besar yang dipercayakan HUGO (Human Genome Organizatioan) melakukan pemetaan DNA manusia sedunia (Kompas, 20/10-2011). Kemudian 90 orang lebih ilmuwan Asia dari konsorsium Pan-Asian SNP di bawah naungan Human Genome Organization (HUGO) memetakan jalur migrasi manusia ini sebagai satu-satunya jalur migrasi ke Sundaland secara lebih tegas. Para ilmuwan ini telah melakukan studi terhadap 73 populasi Asia Tenggara dan Asia Timur, yang selain berhasil memetakan jalur migrasi tadi, mereka menyimpulkan bahwa akar genetik manusia berhubungan sangat erat antara kelompok etnik dan kelompok bahasa (Detik, 11/12-2009; Kompas, 14/12-2009 & 12/12-2011). Migrasi dari Afrika yang tejadi ini sebagian melewati Sundaland hingga sampai ke Papua dan Australia, yang sekarang disebut Aborigin di Australia. Migrasi dari Afrika ini sesuai dengan teori “Out of Africa” yang terkenal itu.
Sejak 20.000 tahun lalu, menjelang tenggelamnya Sundaland, terjadi banyak letusan gunung berapi, gempa bumi, dan banjir, sehingga membuat para penghuni Sundaland berhamburan ke Asia Daratan, yang disebut sebagai peristiwa “Out of Sundaland”. Dengan demikian, selama 50.000 tahun sudah banyak manusia mendiami Sundaland, sehingga Stephen Oppenheimer tiba pada kesimpulan bahwa Sundaland merupakan induk peradaban dunia (Kompas, 27/10-2010). Di sisi lain, Prof. Arysio Nunes dos Santos, Ph.D. dalam bukunya: “Atlantis The Lost Continent Finally Found” (2005), malah menguraikan sebuah teori yang menempatkan secara definitif bahwa Atlantis berada di wilayah Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Brunei (Wikipedia). Kemudian terkait dengan keterlibatannya dalam penelitian atas situs megalitik Gunung Padang di Cianjur, geolog Dr. Danny Hilman (2013), menulis dan meluncurkan bukunya dalam acara seminar: “PLATO TIDAK BOHONG: Atlantis Ada di Indonesia”. Lebih jauh lagi, Dhani Irwanto, dalam bukunya: “ATLANTIS: The Lost City is in Java Sea” (2015), menyampaikan sebuah hipotesis baru bahwa Atlantis ada di Laut Jawa, dekat Pulau Bawean, yaitu di antara pulau Bawean dengan daratan Kalimantan. Semuanya ini menyebabkan Indonesia menjadi perhatian para ilmuwan dunia sekarang ini dengan sebuah pertanyaan: “Apakah yang mereka kerjakan selama 50.000 tahun di Sundaland?”. Stephen Oppenheimer dan Arysio Nunes dos Santos telah berjasa mempromosikan Indonesia ke seluruh dunia melalui buku yang mereka tulis.
Sundaland akhirnya tenggelam sekitar 8.000 tahun lalu di mana air laut naik permukaannya hingga memasuki daratan rendah Sundaland tersebut. Sehingga, tinggallah Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, yang merupakan daratan tertinggi dari Sundaland tersebut dan menjadi terpisah dari Semenanjung Malaka. Demikianlah bekas kawasan Sundaland yang sekarang dikenal dengan Semanjung Malaka, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan pulau-pulau kecil lain di sekitarnya.
Populasi Toba yang berdiam di Negeri Toba Menurut Para Ahli Genetika
Sebagaimana dikemukakan oleh Tatiana M. Karafet (Karafet et al. 2010), dari Universitas Arizona – Amerika Serikat, bahwa TOBA Y-DNA Haplogroup terdiri dari: K-M526*= 13,51%, O-M95*=13.51%, O-M201*= 56,76%, O-M110= 10,81%, O-P203= 2,7%, dan R-M214= 2,7% (http://www.anthrogenica.com/showthread.php?2573-New-DNA-Papers-General-Discussion Thread/page49).
Kemudian lebih lengkap lagi mengenai Y-DNA Toba ini digambarkan seperti di bawah ini:
Jean A. Trejaut et al. (2014) mengemukakan bahwa O-M95*bermigrasi dari Indochina ke Indonesia Barat. O-M95* bermigrasi melalui Semenanjung Malaka terus ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. O-M95* ditemukan juga pada Toba Y-DNA Haplogroups. O-M95* ini diperkirakan lebih dulu bermigrasi sebelum ekspansi Austronesia di sekitar 4.000 - 6.000 tahun lalu, tetapi jarak waktunya tidak jauh antara O-M95* dengan ekspansi Austronesia. Melalui penelitian paleontologi yang dilakukan oleh Bernard K. Maloney (1979) di Humbang, sekitar Siborongborong hingga Silaban Rura, terdeteksi aktivitas mereka berupa pembukaan hutan secara kecil-kecilan pada sekitar 6.500 tahun lalu. Mungkin masih ada jejak aktivitas mereka di tempat yang lain seperti di Silindung, Toba Holbung, atau Samosir, tapi belum ditemukan atau mungkin juga sudah lenyap akibat dirusak alam.
Ekspansi Austronesia, menurut Karafet et al. (2010), antara lain terdiri dari: O-P203, O-M110, dan O-P201*. Karafet et al. (2010) menyebutkan bahwaO-P201*, O-P203 dan O-M110 berbahasa Austronesia pada populasi Toba. O-P201* keluar dari Asia Daratan sementara O-P203 dan O-M110keluar dari Taiwan dalam ekspansi Austronesia ke Indonesia Barat yang berlangsung pada periode 4.000-6.000 tahun lalu (Karafet et al. 2010). Penelitian Jean A. Trejaut et al. (2014) menguatkan bahwa O-P201* memang keluar dari Asia Daratan. O-P201* berasal dari sekitar Yunnan dan Teluk Tonkin. Dengan melihat asal dari O-P201* ini, maka terlihat bahwa O-P201* kemungkinan bersinggungan dengan budaya Dong Son, yang berkembang pada abad ke-5 hingga abad ke-2 SM di lembah Song Hong berdekatan dengan Teluk Tonkin, Vietnam. Hal ini mengingat bahwa populasi Toba didominasi oleh budaya Dong Son. Sedang R-M124 berasal dari dari India, Asia Selatan yang datang sejak millenum pertama masehi di Sumatera.
Akhirnya, K-M526* muncul di Sundaland, sedang O-M95*, O-M110, O-P201, O-P203, dan R-M124 memiliki hubungan paternal dengan K-M526* yang kesemuanya ada pada Y-DNA Toba. Keenam populasi ini datang dengan masing-masing rombongan ke Negeri Toba dan semuanya bercampur hingga membentuk populasi Toba seperti terlihat pada Y-DNA-nya di atas (Lihat: Edward Simanungkalit, “DARI SUNDALAND HINGGA DI NEGERI TOBA: Sebuah Penelusuran Para Ahli Genetika”, dalam Kompasiana, 23/03-2016).
Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula
Balai Arkeologi Medan,pada Juli 2013, telah melakukan penelitian “Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir” dengan melakukan kegiatan survey arkeologi dan ekskavasi di sana. Tinggalan megalitik yang dapat ditemukan di Samosir, yaitu: sarkofagus, tempayan batu, kubus batu, kubur pahat batu, tambak batu, batu dakon, menhir, patung-patung batu seperti patung pangulu balang, lesung batu, palungan batu, bottean, sakkal, gajah dari batu paha, parik (pagar batu), dan punden berundak. Tempayan batu seperti disebutkan tadi ada ditemukan di Sumatera Selatan yang berasal dari millenium kedua masehi. Rumah adat memiliki pola arsitektur rumah panggung melengkung yang merupakan ciri budaya Dong Son. Pola hias di rumah adat dalam bentuk berbagai macam binatang dan sulur-suluran yang dibuat dengan hiasan rumbai-rumbai seperti bulu-bulu yang panjang baik itu pada pahatan flora ataupun pahatan fauna mengingatkan akan hiasan model yang serupa pada benda-benda perunggu yang berasal dari Dong Son. Gambar cecak sebagai lambang kejujuran dan atau kebenaran bagi para pemimpin yang memimpin. Pada tradisi paleometalik Dong Son sangat umum dikenal motif-motif antara lain sulur-suluran, spiral atau pilin berganda, geometris berupa segi empat, bulatan, tumpal maupun belah ketupat dan motif-motif itu masih selalu hadir pada berbagai aspek tinggalan budaya Toba. Disimpulkan bahwa kelompok pendukung budaya Dong Son telah datang dari China Selatan melalui jalur timur menuju ke Taiwan, dari Taiwan terus ke Filipina dan dilanjutkan lagi ke Sulawesi dan seterusnya ke Sumatera melalui pesisir Timur hingga mencapai Samosir (Lihat: Wiradnyana & Setiawan, Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir, 2013). Selain dari yang telah disebutkan tadi bahwa ulos juga memiliki corak dari budaya Dong Son.
Kebudayaan Dong Son adalah kebudayaan zaman perunggu yang berkembang di lembah Song Hong, Vietnam dan secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya kelompok bahasa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam. Kebudayaan ini sendiri mengambil nama situs Dong Son di Tanh Hoa dan berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 SM. Masyarakat Dong Son adalah masyarakat petani dan peternak yang handal serta terampil memancing. Mereka menetap dalam rumah-rumah panggung besar dengan atap yang melengkung lebar dan menjulur menaungi emperannya. Masyarakat Dong Son juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, yang melayari seluruh Laut China hingga ke selatan dengan perahu panjang bercadik dua (wikipedia). Masyarakat Dong Son berasal dari ras Mongoloid. Kebudayaan Dong Son secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya kelompok penutur Austronesia.
Latar Belakang Kata “Batak”
Ensiklopedia Britannica memberi keterangan tentang “Batak” sebagai berikut: “Batak, also spelled Battak or Batta, several closely related ethnic groups of north-central Sumatra, Indonesia. The term Batak is one of convenience, likely coined during precolonial times by indigenous outsiders (e.g., the Malay) and later adopted by Europeans. The groups embraced by the term — the Toba, the Karo, the Simalungun, the Pak Pak, the Mandailing, and the Angkola — have to a limited degree adopted it as a self-designation.” (www.britannica.com). Istilah “Batak” itu kemungkinan diciptakan selama masa pra-kolonial oleh pihak luar, misalnya: Melayu, dan kemudian diadopsi oleh orang Eropa. Kelompok-kelompok yang termasuk ke dalamnya, yaitu: Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Pakpak, Mandailing, dan Angkola. Lothar Schreiner, dalam bukunya “Adat dan Injil; Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak” (1999:11) mengatakan: “Sebutan ‘Batak’ maupun ‘daerah Batak’ barulah muncul setelah pengkristenan.” Senada dengan itu, Lance Castle, dalam bukunya, “Kehidupan Politik Sebuah Keresidenan: Tapanuli 1915-1940”, Desertasi Ph.D (1972:138) mengemukakan bahwa sebutan “Batak” itu bermula dari ‘stereotipe’ orang-orang Melayu Muslim di Sumatra Timur terhadap orang “Batak”, sedangkan konotasi yang terkandung dalam sebutan “Batak” ialah: ‘jelek, kasar, jorok, dan bodoh’. Akibatnya banyak orang “Batak” tidak mau menyebutkan identitas mereka sebagai “Batak”, dan lebih senang menyatakan diri sebagai orang: Toba, Karo, Simalungun, Mandailing/Angkola, atau Pakpak/Dairi. Lothar Schreiner dan Lance Castle maupun Ensiklopedia Britannica sebelumnya memberikan informasi bahwa kata “BATAK” itu baru muncul sejak masuknya Kristen dan Kolonial ke daerah pedalaman Sumatera Utara.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa arti kata “Batak” ialah petualang; pengembara. Kata kerja “mem-ba-tak” artinya: 1 bertualang, melanglang; mengembara; 2 merampok; menyamun; merampas. Sedang kata sifat “pem-ba-tak” artinya: perampok; penyamun. Demikian pengertian yang berhubungan dengan kata “Batak” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Dr. Daniel Perret melakukan penelitian mengenai ”Melayu” dan ”Batak” dalam strategi Kolonial Belanda. Sejak 1990 sampai 1993, Perret menggelar penelitian lapangan dengan cakupan wilayah Indonesia timur laut – tempat manipulasi identitas “Batak dan Melayu” dibangun untuk kepentingan para kapitalis perkebunan. Desertasinya telah dibukukan dengan judul ”KOLONIALISME DAN ETNISITAS: Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut” (2010). Sejak abad ke-2 Masehi, lewat tulisan Claudius Ptolemaeus, dan selama satu milenium, Sumatra bagian Utara dianggap sebagai daerah berbahaya karena diduga dihuni oleh sejumlah masyarakat kanibal. Hal ini bahkan masih berlangsung hingga awal abad ke-20. Daerah tersebut diketahui kaya dengan kamper yang diekspor sejak abad ke-5 atau ke-6 M, melalui sebuah tempat yang bernama Barus. Pada awal abad ke-13 M, Zhao Rugua mencatat sebuah negeri bernama Pa-t’a, di bawah kuasa Sriwijaya. Kaitan antara Pa-t’a dan Bata sudah diterima umum.
Dari penelusurannya, Perret menemukan jejak pengaruh besar pemerintah kolonial Belanda terhadap pola hubungan dan akulturasi dua kelompok penyandang budaya tadi di awal. “Batak” di satu pihak dan “Melayu” di pihak lain, dengan ciri khas bahasa, pakaian, dan adat-istiadat masing-masing. Mengenai istilah “Batak” ini, Daniel Perret memandangnya sebagai ciptaan penjajah berdasarkan rujukan teks Belanda dan melihat istilah “Batak” berkonotasi merendahkan sebagai sebutan orang luar bagi orang pedalaman yang beradat kasar. Seiring dengan semakin meluasnya proses Islamisasi di kalangan orang-orang pedalaman yang bermigrasi ke pesisir timur Sumatera Utara, mereka mengadopsi identitas Melayu dengan beragama Islam bahkan proses itu meluas ke pedalaman. Perkembangan Islam ini mencemaskan penjajah, sehingga menghalangi dakwah di daerah yang telah dikristenkan dan larangan mengangkat warga muslim sebagai pegawai pemerintah setempat. Penyebaran Islam terus bergerak masuk wilayah pedalaman yang dinilai mengancam kolonialisasi, sehingga pemerintah kolonial merasa perlu mengintensifkan Kristenisasi di “Tanah Batak”.
Daniel Perret mengungkapkan, berdasarkan masukan dari J.T. Creemer, pengembangan Kristen di daerah “Batak” memiliki fungsi yang cukup strategis bagi kolonial Belanda., karena berpindah agama menjadi Kristen membuat orang “Batak” tidak akan menimbulkan masalah bagi penjajah kolonial. Sementara Islam mulai masuk ke “Tanah Batak” yang dirasakan sebagai sebuah potensi mencemaskan bagi kepentingan penjajah, maka upaya menghadirkan misi Kristen dilakukan. Berdasarkan kajian etnologi, Daniel Perret memperlihatkan bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah “keluarga besar Batak” baru terjadi pada era kolonialisme Belanda. Bahkan dalam disertasi J. Pardede (1975), sebagaimana disebutkan oleh Perret, dikemukakan bahwa istilah “Tanah Batak” dan “rakyat Batak” merupakan sebuah terminologi baru yang diciptakan oleh pihak asing. Perret juga menyebutkan bahwa perbedaan antara “Batak” dan “Melayu”, seperti telah menjadi sebuah kesepakatan para penulis, hanya terletak pada faktor kanibalisme. Nicolo de’ Conti yang pernah tinggal di Scimuthera (Kerajaan Samudra) di pantai timur sumatera pada tahun 1430, menjadi orang pertama yang menyebutkan nama tempat “Batech” yang dikaitkan dengan sebuah populasi yang bersifat kanibal dan gemar berperang. Oleh karena itulah, awalnya sebutan “Batak” dianggap sebagai sebuah penghinaan bagi penduduk setempat dan kata “Batak” tidak dipakai oleh orang setempat ketika berbicara tentang diri mereka sendiri. Kata ini telah menjadi semacam evasive identity yang secara umum digunakan untuk menunjuk “orang lain” atau untuk memperlihatkan sebuah kategori yang meliputi pemakan babi dari manapun asalnya. Anehnya, Perret mengungkapkan fenomena sebutan “Batak” justru digunakan oleh penduduk dusun untuk mengidentifikasi para misionaris Belanda dan orang Tionghoa, karena mereka juga memakan babi. Sebutan “Batak” tampaknya juga tidak dapat ditemukan dalam karya sastra era pra-kolonial. Dalam perkembangan waktu selanjutnya istilah “Batak” ini kemudian diterima sebagai sebuah identitas etnis tertentu. Daniel Perret mengungkapkan, setelah keberadaan orang-orang “Batak” diterima oleh orang Barat, kemudian mulailah diciptakanlah batas-batas “Tanah Batak”. Jadi, istilah “Batak” adalah identitas yang sengaja diciptakan pada masa kolonialisme di Sumatera Utara. Studi Daniel Perret menunjukkan adanya pola di mana istilah “Batak” sengaja dimunculkan, sebagai pembeda sebuah etnis di Sumatra Utara dengan bangsa “Melayu” yang identik memeluk Islam.
Orang Melayu di pesisir Sumatera Timur menganggap dirinya berbudaya, sedang semua orang yang non-Melayu yang berada di pedalaman dan di lembah pegunungan Bukit Barisan dipandang sebagai orang yang tidak berpengetahuan, berperilaku kasar dan bahkan kanibal, diberi label ”Batak”. Melayu bukan label etnis, dia adalah label budaya. Siapa saja dapat menjadi Melayu, asal dia beragama Islam, beradat-istiadat Melayu, berbahasa Melayu dan mengaku Melayu. Label Melayu dan ”Batak”, menurut Daniel Perret, muncul bersamaan pada abad 16. Label ”Batak” ini muncul sebagai pelengkap label Melayu. Istilah ”Batak” ini disebutkan dengan konotasi merendahkan (seakan memiliki stigma/cacat sosial). Khusus mengenai istilah ”Batak”, Daniel Perret menjelaskan bahwa istilah itu bukan berasal dari orang-orang Toba, Simalungun, Pakpak Bharat, Karo atau Mandailing/Sipirok. Label itu datang dari luar khasanah budaya mereka. Dalam beberapa dokumen bahwa sebutan ”Batak” tidak terdapat dalam sastra pra-kolonial. Bahkan dalam Hikayat Deli (1825) istilah ”Batak” hanya sekali digunakan, sedang dalam Syair Putri Hijau (1924) sama sekali tidak menyinggung ”Batak” atau Melayu. Baik dalam Pustaka Kembaren (1927) maupun Pustaka Ginting (1930) tidak dijumpai kata-kata ”Batak”. Selain itu, B.A. Simanjuntak mencacat bahwa kata-kata ”Batak” tidak dijumpai dalam Pustaha Toba. Memang dalam stempel Singamangaraja, yang tertera hanya kalimat ”Ahu Raja Toba”, bukan ”Ahu Raja Batak.” Karena label ”Batak” dibawa dari luar, maka dia menjadi sebuah label yang kabur dan menyesatkan (evasive identity). Ketika seorang menganggap orang lain ”Batak”, maka dia merasa lebih tinggi dari orang lain itu.
“Batak” dalam literatur baru dikenal dalam laporan Nicolo de Conti (1430) yang selama setahun tinggal di Scimuthera (Kerajaan Samudra) di pantai timur sumatera. Disebutkan nama tempat-tempat “Batech”, sebagai populasi yang bersifat kanibal dan gemar berperang. Selanjutnya, dalam laporan terkenal Tome Pires, Suma Oriental pada awal abad ke-16.
Adapun F. Mendes Pinto, orang Eropa pertama yang masuk ke pedalaman Sumatera Utara, yang merekamnya secara tertulis dalam Peregrination. Di antaranya catatan tentang adanya kunjungan duta raja orang “Batak” menemui kapten Melaka yang baru Pedro de Faria di tahun 1539. Mendes Pinto juga yang mencatat pertama adanya masyarakat Aru di pesisir timur laut Sumatera dan mengunjungi rajanya yang muslim. Sementara itu, dua puluh tahun sebelumnya, Duarte Barbosa sudah mencatat tentang kerajaan Aru yang ketika itu dikuasai oleh orang kanibal penganut paganisme. Tak sedikit, sejak istilah “Batech” muncul (Nicolo de Conti), diikuti juga dengan “Bata” (Tome Pires, Mendes Pinto), “Batang” (Sidi Ali Celibi, 1954), “Batas” (Joao de Barros, 1563). Kemudian dilanjutkan Beaulieu (1629-1621), laporan Tionghoa pada 01/03/1701, Hamilton (1727) dan Charles Miller (1772), sampai akhirnya William Marsden (1783) membuat pembedaan Carrow dan Batta, dilanjutkan John Anderson (1823) yang mendeskripsikan pembedaan Mandiling atau Kataran, Pakpak, Tubba, Karau-karau, Kappak dan Alas. Dalam buku ini diuraikan juga ruang geografi (peta “Batak”) versi ˜orang Eropa” berturut-turut versi Junghun (1841), Collet (1925), Kennedy (1945), Cunningham (1958), Reid (1979), dan Sibeth (1991). Fakta ini menunjukkan berbagai kepentingan yang melandasi kawasan stategis Sumatera Utara sejak jaman prasejarah hingga saat ini dan juga masa mendatang.
Di sekitar penghujung abad ke-19, bahwa posisi pihak non-Melayu semakin terjepit oleh perkembangan ekonomi dan agama yang dialami oleh pihak Melayu. Belanda memanfaatkan situasi ini, sehingga dalam kesempatan berhubungan langsung dengan elit pedalaman ini para kontrolir Belanda yang ditempatkan di dusun-dusun (Simalungun, Karo dan Toba) memperkuat keterpisahan mereka dengan Sultan-Sultan Melayu Pesisir, dan mendorong tumbuhnya perasaan komunitas dan kesadaran etnis sendiri, sebagai orang ”Batak”. Mulai tahun 1888, kontrolir-kontrolir yang ditempatkan di dusun-dusun ditugaskan untuk menangani urusan ”Batak”, yaitu membela kepentingan orang ”Batak” berhadapan dengan orang Melayu. Kemudian pemerintah kolonial menciptakan ruang hukum untuk Dusun dan Dataran sebagai ruang hukum ”Batak”, sedang untuk daerah pesisir dimasukkan dalam ruang hukum Melayu. Dengan keterpisahan ini Belanda dapat lebih mudah memancing konflik antara Melayu dan ”Batak” seperti pecahnya perang Sunggal (1872). Di satu sisi perkebunan asing/Belanda menerima konsesi tanah dari Sultan Melayu dengan sukacita, di sisi lain pemerintah kolonial merangsang timbulnya protes dari pemilik tanah penduduk asli setempat. Demikianlah pemerintah Belanda menggunakan label ”Batak” untuk mempersatukan seluruh suku-suku non-Melayu sebagai sebuah identitas etnik. Van der Tuuk, ahli Bahasa yang bekerja untuk Nederlands Bijbelgenootschap (NBG), dalam suratnya tertanggal 15 November 1855, pernah mengusulkan kepada pengurus NBG agar istilah “Batak” dan “Melayu” tidak digunakan secara resmi. Sebagai gantinya van der Tuuk mengusulkan penyebutan seperti “Mandailing”, “Angkola”, dan lain sebagainya.
Pemerintah Belanda terus menerus memompakan label ”Batak” dengan penguatan sosio-geografis tertentu, nilai-nilai adat budaya dan kemudian agama Kristen. Sehingga keterpisahan kawasan ”Batak dengan Melayu” menjadi lebih nyata dan kontras, tidak dalam pengertian budaya, tetapi dalam pengertian kelompok etnik ”Melayu versus Batak”. Untuk mengukuhkan gerakan ini secara akademis, pemerintah Belanda di Universitas Leiden mendirikan Bataksch Institut. Beberapa cabangnya Bataksch Vereeniging didirikan pada lokasi-lokasi tertentu seperti di Tapanuli dengan berbagai kegiatan termasuk melaksanakan pertemuan-pertemuan, mendirikan museum, opera Batak (Tilhang) yang adopsi dari teater Bangsawan Melayu, menulis adat ”Batak” (yang disusun oleh seorang kontrolir, 1909). Sementara itu, di bagian Selatan Tapanuli telah berdiri kelompok (Bangsa) Mandailing yang berseberangan dengan kelompok ”Batak” di Utara. Sebagai migran di kota Medan, mereka saling berhadapan pula dalam berbagai polemik wacana mengenai ”Batak” bahkan konflik terbuka (peristiwa Sungai Mati 1920). Orang Mandailing tidak mau disebut ”Batak” karena mereka merasa sudah berbudaya tinggi, jadi bukan melulu karena masalah geneologis.
Akhirnya, Daniel Perret dalam desertasinya menyimpulkan bahwa baik istilah ”Batak” maupun ”Melayu” bukanlah label etnik, tetapi label budaya. Tetapi untuk kepentingan strategi kolonial, pemerintah Belanda telah mampu ”memaksakan” atau dengan istilah lain ”mengkonstruksi” orang-orang Simalungun, Karo, Pakpak dan Toba menerima label ”Batak” sebagai label kesatuan etnik dan mematahkan jalinan sosial-tradisional antara kawasan pesisir dan pegunungan (Melayu dan non-Melayu). Bahkan menyediakan fasilitas unsur-unsur pembentukan dan penegasan identitas etnis baru itu sebagai orang ”Batak”. Semua itu untuk kepentingan strategi (divide et empera) kolonial Belanda. Namun bisa dicermati, bahwa saat ini etnis “Batak” seringkali diidentikkan pula sebagai “etnis Kristen”, meskipun terdapat kenyataan bahwa dari etnis ini juga terdapat kalangan pemeluk agama Islam.
Dr. Ichwan Azhari, sejarawan dari Unimed, dalam tulisannya berjudul: ”Konstruksi Batak dan Tapanuli di Dalam Ruang Administratif di Sumatera Utara Sejak Abad 19” (2011). mengemukakan bahwa kata “Batak” awalnya diambil para musafir yang menjelajah ke Sumatra dari para penduduk pesisir untuk menyebut kelompok etnik yang berada di pegunungan dengan nama “bata”. Tapi nama yang diberikan penduduk pesisir ini berkonotasi negatif bahkan cenderung menghina untuk menyebut penduduk pegunungan itu sebagai kurang beradab, liar, dan tinggal di hutan.” Pada sumber-sumber manuskrip Melayu klasik dari abad ke-17 koleksi Leiden dan manuskrip Hikayat Hang Tuah, saat Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511) ada ditemukan kata “Batak” di kalangan Melayu, Malaysia sebagai label penduduk rimba pedalaman dengan pandangan sangat hina dan direndahkan. Di Filipina juga penduduk pesisir menyebut penduduk pedalaman dengan label negatif sebagai “Batak”. Itu sebabnya Van der Tuuk pernah risau dan mengingatkan para misionaris Jerman agar tidak menggunakan nama “Batak” untuk nama etnik, karena gambaran negatif yang terkandung pada kata “Batak” itu. Di Malaysia dan Filipina, penduduk yang diberi label “Batak” tidak mau menggunakan label merendahkan itu menjadi nama etnik mereka. Di Sumatra Utara label itu terus dipakai, karena peran misionaris Jerman dan pemerintah kolonial Belanda yang memberi konstruksi dan makna baru atas kata itu.
Dalam penelitiannya di arsip misionaris Jerman di Wuppertal sejak bulan September 2010, terlihat para misionaris sendiri awalnya mengalami keragu-raguan untuk menggunakan kata “Batak” sebagai nama etnik. Hal ini dikarenakan kata “Batak” itu tidak dikenal oleh orang “Batak” ketika para misionaris datang dan melakukan penelitian awal. Pada tahun 1878 lembaga kantor pusat missionaris Jerman di Barmen mengeluarkan peta resmi misionaris yang dicetak dan disebarluaskan berbentuk buku berjudul Mission Atlas (1878). Dalam buku ini terdapat delapan peta yang di antaranya berjudul Die Sudlichen Batta-lander auf Sumatra (Tanah Batak Selatan di Sumatra). Judul-judul peta Der Nordlichen Battalander Die Sudlichen Batta-lander ini merupakan titik awal konstruksi “Batak Utara” dan “Batak Selatan” yang dilakukan para misionaris Jerman yang dipakai pemerintah kolonial Belanda dan konstruksi itu berpengaruh sampai saat ini.
Konsep dari misionaris Jerman yang semula menggunakan kata “Batak” untuk kelompok masyarakat yang tinggal di kawasan Tapanuli Utara saja, dipakai Belanda lebih lanjut untuk menguatkan cengkraman ideologi kolonial mereka. Perlahan-lahan konsep “Batak” itu mulai meluas dipakai Belanda termasuk sebagai pernyataan identitas oleh penduduk di luar daerah Toba. Peneliti Belanda juga kemudian merumuskan konsep “sub-suku batak” dalam antropologi kolonial yang membagi etnik “Batak” dalam beberapa “sub-suku” seperti sub-suku Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Karo, Batak Simalungun serta Batak Pakpak (Joustra, 1910). Konstruksi Belanda tentang sub-etnik Batak ini sama sekali tidak diperkenalkan apa lagi dipakai para misionaris Jerman selama lebih 50 tahun keberadaan mereka di “tanah batak”. Dalam antropologi di Indonesia moderen konsep “sub-suku Batak” made in Belanda itu kemudian dicopy Payung Bangun dalam buku “Manusia dan Kebudayaan Indonesia” yang diedit Koentjaraningrat (1980). Konsep “sub-suku Batak” merupakan konstruksi konsep kolonial yang dalam perjalanan sejarah berikutnya terbukti tidak tepat dan ditolak sendiri oleh kelompok-kelompok etnik yang dikenakan label “Batak” tersebut. Kini orang Karo, Pak Pak, Simalungun serta Mandailing menolak disebut “Batak” yang dikonstruksi antropologi kolonial. Dengan demikian, dapat dikatakan “Batak” sebagai nama etnik (suku) tidak berasal dari orang “Batak” sendiri, tapi diciptakan atau dikonstruksi oleh para musafir barat dan kemudian dikukuhkan oleh misionaris Jerman yang datang ke “tanah Batak” sejak tahun 1860 an. Pemerintah kolonial Belanda kemudian mengadopsi kata “Batak” yang oleh jasa para misionaris Jerman itu maknanya sudah tidak lagi berkonotasi negatif. Dalam sumber-sumber lisan dan tertulis, terutama di dalam pustaha (tulisan tangan asli Batak) tidak ditemukan kata “Batak” untuk menyebut diri sebagai orang atau etnik “Batak”. Jadi dengan demikian nama “Batak” tidak asli berasal dari dalam kebudayaan “Batak” melainkan sesuatu yang diciptakan dan diberikan dari luar (Lihat: Ichwan Azhari, Konstruksi Batak di Dalam Ruang Administratif di Sumatera Utara Sejak Abad 19, 2011).
Prof. Dr. Uli Kozok menyebutkan bahwa “Batak” bukan bangsa dan juga bukan suku atau etnis melainkan sebuah istilah untuk pengelompokan agar memudahkan dalam pengkajiannya. Kata beliau juga, masalahnya istilah “Batak” sudah dicaplok oleh masyarakat Toba dan menjadikannya sebagai identitas mereka. Artinya, menurutnya, otomatis Mandailing, Karo, Simalungun, dan Pakpak bukanlah menjadi “Batak” (09 November 2014, fan page Prof. Dr. Uli Kozok). Dulu istilah “Batak” konotasinya teramat jelek dan hanya dipakai oleh orang luar (Malayu, Aceh, Minang) dan tidak pernah dipakai oleh orang “Batak” sendiri. Jerman dan Belanda yang mempopulerkan istilah “Batak” dan lama-kelamaan konotasi jelek pun hilang (Agustus 2015, fan page Prof. Dr. Uli Kozok). Uli Kozok juga sebelumnya telah mengungkapkan, dengan menggunakan data primer, bahwa misionaris Jerman berperan atas masuknya Belanda ke Negeri Toba dalam bukunya: “Utusan Damai di Kemelut Perang” (2009) yang dapat juga dibaca di https://nommensen.wordpress.com.
Seluruh paparan di atas mengungkapkan bahwa istilah “Batak” itu bukan berasal dari dalam etnis/suku itu sendiri, tetapi berasal dari luar yang dikonstruksi oleh misionaris Jerman pada Orang Toba di awalnya dan dikonstruksi Belanda pada non-Melayu berikutnya. Kemudian rumusan antropologi kolonial yang kemudian hari dicopy Prof. Dr. Payung Bangun ke dalam antropologi nasional dengan membuat sub-etnik “Batak” seperti: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak mendapat penolakan dari pihak Mandailing, Karo, Simalungun, dan Pakpak, karena bukan berasal dari dalam. Mandailing telah menggugatnya ke pengadilan dalam peristiwa Riwajat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di Sungai Mati, Medan pada tahun 1925 dan putusan pengadilan menyatakan bahwa Etnis Mandailing terpisah dari Batak (Wikipedia). Dengan demikian, memaksakan Mandailing sebagai “Batak” merupakan ketidakpatuhan kepada putusan pengadilan tadi. Itulah sebabnya kemudian Belanda memunculkan istilah lain, yaitu: “Tapanuli”, untuk mempersatukan Utara dan Selatan. Kemudian Angkola memberi nama gerejanya dengan nama GKPA, Simalungun memberi nama gerejanya dengan nama GKPS, dan Pakpak member nama gerejanya dengan nama GKPPD, tanpa ada kata “Batak”. Tanah Pakpak, pemilik hak ulayatnya, adalah marga-marga Pakpak dan jelas terlihat dari Lembaga Adat Sulang Silima yang membuktikan bahwa Pakpak merupakan sebuah etnis tersendiri. Selain itu tarombo Pakpak berbeda sekali dengan tarombo Toba, seperti contohnya marga-marga dari Sicike-cike di Sidikalang dengan ibunya berru Padang dan berru Saraan bahwa mereka sudah 36 generasi, sedang marga-marga Toba rata-rata masih sekitar 20 generasi dan tidak lebih dari 25 generasi.
Malah pihak Simalungun telah menyusun sebuah buku berjudul: “SEJARAH ETNIS SIMALUNGUN” (2012) hasil kerja dari sebuah tim yang mumpuni sebanyak 7 orang tanpa mengunakan kata “Batak” dan “sub-etnik”. Akan halnya dengan GKBP, sebenarnya namanya sejak awal GKP (Gereja Karo Protestan), tetapi oleh pengaruh Belanda dan pendeta Toba serta pendeta-pendeta lulusan Seminari Sipoholon mengakibatkan namanya dirubah menjadi GKBP (Gereja Batak Karo Protestan) pada tahun 1941. Pada waktu itu, Ketua Moderamen GBKP, Pdt. J. van Muylwijk dan Sekretaris Moderamen adalah Guru Lucius Tambun ditetapkan untuk periode 1941-1943. Nama awalnya Gereja Karo Protestan (GKP) membuktikan bahwa mereka memang sejak awal bukan “Batak”. Selain itu, gabungan Katolik, gereja-gereja lain dan Muslim lebih banyak jumlahnya daripada keseluruhan warga GBKP, sehingga tidak merupakan suara mayoritas. Meskipun demikian, DNA Karo jauh lebih valid untuk membuktikan bahwa Karo bukanlah keturunan Toba dengan asal-usul yang berbeda (Lihat: Edward Simanungkalit, DARI ASIA DARATAN HINGGA DI TANAH KARO: Sebuah Penelusuran Para Ahli Genetika, dalam Kompasiana, 24/05-2016). Belakangan ada juga usaha untuk membatakkan Nias dengan menyebut Nias sebagai keturunan Raja Asi-asi, tetapi inipun juga secara arkeologi dan genetika berbeda antara Toba dengan Nias yang memiliki marka Y-DNA: O-M110 dan O-P203 (Lihat juga: KARO DAN NIAS BUKAN KETURUNAN SI RAJA BATAK; INI BUKTINYA, dalam Kompasiana, 24/03-2016). Jadi, pada dasarnya masing-masing etnis ini adalah etnis yang terbentuk sendiri-sendiri dan kemudian ada migran dari dalam ke luar dan dari luar ke dalam, tetapi bukan mengubah etnis aslinya.
Menarik, N. Siahaan, BA. dalam bukunya “Sejarah Kebudayaan Batak” (1964) mengemukakan dengan kritis dan jernih sebagai berikut: “Berapa jumlah orang Batak dan kapan mereka tiba di sekitar gunung Pusuk Buhit tidak dapat dijawab (rasanya tidak mungkin hanya seorang, yakni Si Raja Batak dengan isterinya jadi nenek-moyang pertama). ... Mengenai riwayat Si Raja Batak, yakni leluhur bersama suku Batak, semata-mata masuk mitos. … Si Raja Batak sudah tokoh mitos, demikian juga Tatea Bulan dan Isumbaon. Tentang nama-nama yang lain kita terima saja mereka itu leluhur yang pernah hidup.” (1964:83,84,86). Tepat sekali pertanyaan kritis dan pernyataan kritis N. Siahaan tadi, bahwa tidak mungkin hanya seorang bersama isterinya menjadi nenek-moyang bersama dan itu semata-mata merupakan mitos. sehingga Si Raja Batak adalah tokoh mitos!
Di Humbang, mulai dari Silaban Rura hingga Siborong-borong telah ditemukan adanya aktivitas banyak manusia sekitar 6.500 tahun lalu. Dalam bukunya “Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia”, Peter Bellwood (2000:339) menulis: “Sebagai contoh, sebuah inti polen dari rawa Pea Simsim dekat Danau Toba di Sumatera bagian Utara menunjukkan bahwa pembukaan hutan kecil-kecilan mungkin sudah dimulai pada 4.500 Sebelum Masehi.”. Bellwood merujuk kepada hasil penelitian paleontologi oleh Bernard Kevin Maloney (1979) dari Universitas Hull, Inggris, di daerah Humbang, sebelah barat Danau Toba dan Bernard K. Maloney sendiri sudah menulis beberapa buku tentang hal ini. Penelitian paleontologi atas pembukaan hutan ini dilakukan pada 4 (empat) tempat, yaitu: di Pea Simsim, sebelah barat Nagasaribu, di Pea Bullock, dekat Silangit – Siborongborong, di Pea Sijajap, daerah Simamora Nabolak, dan di Tao Sipinggan, Silaban. Penelitian ini membuktikan bahwa telah ada aktivitas manusia sekitar 6.500 tahun lalu di Humbang (www.anu.edu.au; www.manoa.hawaii.edu; www.lib.washington.edu). Fakta ini membuktikan bahwa lebih dulu ada banyak manusia di Humbang pada sekitar 6.500 tahun lalu dan Etnis Toba sekarang adalah keturunannya berdasarkan genetikanya. Dengan demikian, lebih tepat mengatakan bahwa Humbang sebagai kampung awal etnis Toba daripada Sianjur Mulamula, dan mereka inilah nenek-moyang Etnis Toba yang lebih awal, bukan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula dan sekaligus membuktikan bahwa Si Raja Batak tidak ada alias fiktif.
Selanjutnya, hasil penelitian para ahli genetika membuktikan juga bahwa populasi Toba memiliki Y-DNA Haplogroups: K-M526*, O-M95*, O-M110, O-P201*,O-P203, dan R-M124. Dengan demikian, keenam populasi tadi datang ke Negeri Toba dan bercampur membentuk sebuah populasi besar, yaitu populasi Toba. Kelima marka di awal datang pada masa pra-sejarah yang disusul R-M124 pada tahun masehi, sehingga bukan sepasang suami-isteri seperti Si Raja Batak dengan isterinya. Jelas, bahwa Si Raja Batak hanyalah tokoh fiktif yang tidak pernah ada di dalam sejarah.
Ada kesan bahwa pihak pembuat mitos dan tarombo tersebut adalah orang-orang pembaca Alkitab, sehingga pihak tersebut berimajinasi tentang Adam dan Hawa di Taman Eden dan menulis tarombo seperti tarombo Adam. Sekaligus berat dugaan bahwa turian-turian dan tarombo Batak tersebut bukan warisan nenek-moyang yang dibuat beratus-ratus tahun yang lalu, tetapi diciptakan belakangan oleh orang modern. Walaupun mungkin saja sudah ada cerita (turiturian) sebelumnya, tetapi tidak sedetail itu seperti halnya banyak mitologi tentang asal-usul dari suku-suku di daerah lain, sehingga ada dugaan cerita (turiturian) tersebut sudah mengalami modifikasi sedemikian rupa sesuai dengan kepentingan pihak yang merupakan tokoh intelektualnya.
Tarombo Bangso Batak Berpusat pada Si Raja Batak
Dalam buku “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926), W.M. Hutagalung menguraikan tarombo sebanyak 346 halaman. Tarombo yang berkaitan dengan Toba di dalam buku tersebut boleh dikatakan amburadul seperti tarombo penulis yaitu marga Simanungkalit. Kemudian berdasarkan tarombo Toba tersebut, maka W.M. Hutagalung menghubungkannya dengan marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing dan dengan berbagai cara seperti “jurus padomuhon langit dohot tano” dijadikanlah marga-marga keempat etnis tersebut menjadi keturunan marga-marga Toba. Akibatnya, selain menjadikan keturunan Si Raja Batak, maka marga-marga keempat etnis tadi juga menjadi keturunan marga-marga Toba seakan-akan tanah Pakpak, tanah Karo, tanah Simalungun, dan tanah Mandailing itu tanah kosong ketika Si Raja Batak sampai di Sianjur Mulamula. Dan, kemudian, sebagai tanah kosong, maka datanglah keturunan Si Raja Batak dari marga-marga Toba membentuk masyarakat Pakpak, masyarakat Karo, masyarakat Simalungun, dan masyarakat Mandailing. Inilah kesalahan fatal yang dilakukan pegawai Belanda bernama W.M. Hutagalung dalam menulis buku tersebut atau mungkin juga merupakan kesalahan fatal yang disengaja untuk tujuan tertentu sesuai “pesanan”. Terlihat jelas bahwa W.M. Hutagalung, sang asisten demang tersebut, adalah memenuhi pesanan majikannya, penjajah Belanda, dan penjajah Belanda juga memfasilitasi upaya penulisan buku tersebut serta memerintahkan penerbitannya.
Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing bukanlah berasal dari Sianjur Mulamula dan ini sudah penulis kemukakan sebelumnya dalam tulisan berjudul “BENARKAH SI RAJA BATAK NENEK-MOYANG BANGSO BATAK DAN TOBA INDUK BANGSO BATAK? ” (Kompasiana, 20/01-2016). Hal ini dikuatkan lagi dengan bukti-bukti arkeologis di masing-masing tanah tersebut, sehingga semakin tampak jelas betapa tidak masuk akalnya tarombo yang disusun oleh W.M. Hutagalung tersebut. Tarombo “Batak” ini diturunkan oleh tokoh mitos bernama Si Raja Batak dan dihubungkan dengan 4 (empat) etnis lain yang berbeda dengan Orang Toba, sehingga semakin sulit diterima pikiran sehat bahkan dapat menyesatkan. Untuk membangun Tarombo “Bangso Batak” seperti itu, maka dapat diduga banyak menggunakan turiturian dan legenda yang tidak valid, karena dasarnya sudah bertentangan dengan fakta. Untuk itu, Tarombo “Bangso Batak” tersebut harus diuji validitasnya dengan tes DNA/penelitian genetika apalagi dengan adanya lembaga terpercaya sekarang ini yang memberikan jasa tes DNA dengan mengenakan tarif sebesar $ 99 USD per-orang.
Tarombo Bangso Batak sebagai Strategi Pembatakan
Mulai dari tokoh tunggal yang menjadi puncak tarombo sudah bermasalah ditambah dengan tarombo yang menghubungkan Si Raja Batak dengan Toba dan dengan Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing membuat semakin bermasalah. Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing dijadikan menjadi keturunan marga-marga Toba yang pada akhirnya berpuncak kepada Si Raja Batak yang menurunkan mereka semuanya. ‘Ypes mengatakan bahwa Dairi, Karo, Simalungun, Angkola Mandailing berasal dari suku Toba, demikian juga dialeknya’ (Siahaan & Pardede, 19..:15, 48). Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa Karo, Simalungun, Mandailing, dan Pakpak terbukti tidak berasal dari Sianjur Mulamula, sehingga sama sekali bukan keturunan Si Raja Batak. Leluhur Karo, Simalungun, Mandailing, dan Pakpak lebih tua dari Si Raja Batak. Tarombo tersebut mempersatukan masyarakat non-Melayu tersebut menjadi sebuah etnis, yaitu Etnis Batak dengan sub-etnik: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak.
Membuat perbandingan antara Si Raja Batak dengan suku lain seperti Gayo akan memperlihatkan betapa terlalu cepatnya pertumbuhan keturunan Si Raja Batak, sehingga patut dipertanyakan kebenaran tarombo tersebut. Kemudian telah diperlihatkan betapa tidak masuk akalnya kalau hanya sepasang manusia yang datang bermigrasi ke Sianjur Mulamula, karena tidak masuk akal kalau hanya sepasang menjadi pendukung sebuah budaya seperti budaya Dong Son. Selain itu, Karo, Simalungun, Mandailing, dan Pakpak memiliki ciri budaya yang berbeda dengan Toba, apalagi Karo sudah dilakukan tes DNA di mana Y-DNA Haplogroup dari Karo yaitu: C-RPS4Y*,O-M95,O-M119,dan R-M173. Y-DNA dari Karo ini terbukti sama sekali bukan diturunkan oleh marga-marga Toba seperti dibuat dalam tarombo Si Raja Batak tadi (Lihat: Edward Simanungkalit, KARO DAN NIAS BUKAN KETURUNAN SI RAJA BATAK; INI BUKTINYA, dalam Kompasiana, 24/03-2016)
Tarombo dengan nenek-moyang tunggal Si Raja Batak memiliki keturunan Bangso Batak, yaitu: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak. Ini merupakan usaha mempersatukan seluruh masyarakat non-Melayu dalam satu nama “Batak” yang harus dibedakan dengan “Melayu”. Jelas, pelabelan ini seperti yang dikemukakan oleh beberapa pakar sebelumnya, yaitu: label Melayu dan label Batak. Pelabelan ini dikonstruksi oleh Belanda dan secara khusus di Toba turut juga dikonstruksi oleh misionaris Jerman. Si Raja Batak, yang tarombonya dibuat oleh Belanda melalui tangan W.M. Hutagalung sebagai pesanan Belanda, tampak sekarang merupakan upaya konstruksi nama “Batak” terhadap masyarakat non-Melayu. Tokoh mitos Si Raja Batak dibuat namanya dengan memakai kata “Batak”, jelas adalah buatan Belanda untuk keperluan konstruksi tersebut. Jadi, Si Raja Batak sebenarnya tidak ada dan itu hanya tokoh ciptaan Belanda dalam mengkonstruksi atau dalam rangka pembatakan masyarakat non-Melayu tersebut. Setelah misionaris Jerman dan kolonial Belanda berhasil mengkonstruksi Toba menjadi “Batak” yang dimulai sejak mereka berkiprah di Negeri Toba tahun 1862 dan kolonial Belanda ingin memperkokoh pembatakan tersebut dengan memerintahkan penerbitan buku W.M. Hutagalung (1926) dan buku K.W.H. Ypes (1932).
Sejak awal abad ke-20, sebelum buku W.M. Hutagalung diterbitkan pada tahun 1926, Belanda mulai menggerakkan orang-orang Toba dari Negeri Toba bermigrasi ke Tanah Simalungun. Migrasi ini sepenuhnya diback-up dan diarahkan oleh Belanda dan misionaris Jerman/RMG dengan diadakannya sebuah pos yang mengurusi migrasi ini di bawah pimpinan Andreas Simangunsong. Hingga terjadilah migrasi besar-besaran dari Negeri Toba ke hampir seluruh Tanah Simalungun. Hingga pada tahun 1920 saja di daerah ‘Ondeafdeling Simalungun’ sudah ada 21.832 jiwa orang Toba, dan 69.852 orang Simalungun. Antara tahun 1950-1956 hampir 250.000 orang Toba telah bermigrasi meninggalkan kampung halamannya. Demikian juga orang-orang Toba bermigrasi dari Negeri Toba ke Tanah Pakpak dan sebagian diteruskan hingga ke Tanah Alas. Menurut sensus tahun 1930 terdapat 1.789 orang Toba di Tanah Alas, sedang pada tahun 1934 sudah mencapai 3.500 orang Toba di Tanah Alas. Tahun 1954 orang Toba di Tanah Alas mencapai 14.790 jiwa. Tahun 1974 jumlah penduduk Tanah Alas sebanyak 91.303 jiwa terdiri dari orang Alas (45%), Toba (35%), sedang suku lain-lain berkisar 20% (O.H.S. Purba dan Elvis F. Purba, 1998:6-27). Migrasi yang berlangsung dari Negeri Toba ke Tanah Pakpak dan Tanah Simalungun ini tentulah juga menimbulkan banyak permasalahan bagi orang Pakpak dan orang Simalungun sebagai penduduk asli. Untuk masalah-masalah di Tanah Pakpak ini, Budi Agustono telah menulis desertasi berjudul: “Rekonstruksi Identitas Etnik: Sejarah Sosial Politik Orang Pakpak di Sumatera Utara 1958-2003” (2010). Sedang Pdt. Dr. Martin Lukito Sinaga juga banyak membahas tentang migrasi Orang Toba ke Tanah Simalungun di dalam bukunya: “Identitas Pos Kolonial ‘Gereja Suku’ dalam Masyarakat Sipil” (2004). Semua migrasi Toba ini diikuti oleh misionaris Jerman/RMG yang diikuti dengan mendirikan gereja-gereja bagi para migran ini. Di Dairi, penjajah Belanda menetapkan persyaratan bagi yang mau dilantik untuk menempati suatu jabatan haruslah dibaptis dulu sebelumnya dan mau menerima tarombo Bangso Batak, sehingga mulailah terjadi proses Tobanisasi.
Penciptaan sub-etnik yang dilakukan oleh antropolog kolonial Belanda yang dicopy Payung Bangun yaitu: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak tetap merupakan sisa-sisa ciptaan kolonial sekarang ini. Pembuatan sub-etnik tersebut justru mendukung tarombo yang disusun oleh Belanda melalui W.M. Hutagalung maupun Ypes. Meskipun yang dilakukan oleh para antropolog ini hanya berdasarkan budaya, tetapi akan melebur sub-etnik tersebut dan mempermudah proses pembatakan melalui tarombo tadi. Pembatakan dengan tarombo terbukti telah merusak marga-marga etnis di luar Toba tadi, karena disebut-sebut menjadi keturunan marga-marga Toba sementara Si Raja Bataknya hanyalah mitos, bahkan tidak pernah ada seperti yang diceritakan oleh W.M. Hutagalung. Akhirnya terjadilah pembatakan untuk menjadikan sebuah etnik “Batak” melalui proses Tobanisasi dengan meminjam istilah di dalam buku “Sejarah Etnis Simalungun”. Oleh karena itu, penulis menyatakan tetap lebih baik dengan hanya menyebut: Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Angkola, dan Pakpak seperti yang pernah disarankan oleh Van der Tuuk sebelumnya (Bandingkan juga: Edward Simanungkalit, HALAK TOBA – ORANG TOBA, dalam Kompasiana, 22/12-2016).
Populasi Toba adalah Etnis Toba
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa yang pertama melakukan konstruksi terhadap Toba ialah misionaris Jerman, sehingga Toba yang pada awalnya dijadikan ”Batak”. Tetapi, kemudian hari Belanda melakukan konstruksi lebih luas lagi hingga seluruh masyarakat non-Melayu di daratan Sumatera Utara dibatakkan atau dijadikan “Batak”. Kemudian istilah “Batak” tadi kemudian ditambah, sehingga menjadi “Batak Toba” yang dapat dilihat pada judul buku-buku yang ditulis oleh Johannes Warneck pada awal abad ke-20. Kata “Batak” merupakan hasil konstruksi misionaris Jerman ini dan mereka memberikan arti baru di dalam kata tersebut seperti dikatakan oleh Dr. Johannes Warneck, yaitu: “Penunggang kuda yang lincah.” Penulis merasa arti ini berlebihan, karena Toba tidak memiliki sejarah yang menonjol dengan kuda bila dibandingkan dengan Simalungun yang pernah memiliki pasukan berkuda yang hebat. Tuan Rondahaim, Raja Raya, memiliki pasukan berkuda yang sangat kuat di penghujung abad ke-19, sehingga tidak pernah dapat dikalahkan oleh Belanda sampai akhir hayatnya.
Si Raja Batak adalah tokoh mitos ciptaan Belanda yang tidak pernah ada secara fisik. Oleh karena tidak tepat menggunakan nama “Si Raja Batak”, maka lebih baik menyebutnya sebagai penghuni awal Sianjur Mulamula yang jumlahnya banyak. Penghuni awal Sianjur Mulamula ini juga bukanlah satu-satunya nenek-moyang Populasi Toba, karena penghuni awal Humbang sudah lebih dulu berdiam di sana sejak 6.500 tahun lalu. Selanjutnya, perlu kembali kepada masyarakat Toba masa lalu di dalam huta-horja-bius di mana Raja Singamangaraja sebagai primus interpares yang dibubarkan oleh Belanda pada tahun 1915. Huta dan horja dibangun oleh satu marga dan kemudian bergabung dengan horja lainnya membentuk bius. Di sinilah ada tarombo yang dimiliki oleh masing-masing marga di dalam huta dan horja tadi. Huta-horja-bius ini dibangun oleh beberapa marga dan marga-marga tersebut bekerja sama di dalam bius, sehingga tidak pernah ditemukan tarombo seperti yang disusun oleh Belanda melalui tangan W.M. Hutagalung (1926) maupun W.K.H. Ypes (1932), meskipun perbedaan tarombo yang ditulis kedua orang ini sangat mendasar perbedaannya. Kalaupun ada tarombo, maka tarombo itu adalah tarombo marga-marga/rumpun marga. Dengan demikian, maka istilah “Batak”, “Tano Batak”, “Si Raja Batak”, “Bangso Batak”, dan “Tarombo Bangso Batak” hanyalah ciptaan dan konstruksi misionaris Jerman dan Belanda. Sedang, buku: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” yang ditulis oleh W.M. Hutagalung (1926) hanyalah menjadi duri dalam daging sekarang ini. Akhirnya, sejarah harus ditulis ulang kembali! ***
_____________________________________
Catatan kaki:
K-M526*, yang muncul di Sundaland, adalah yang menurun menurunkan O-M175 dan diperkirakan ke Yunan, Tiongkok Selatan. O-M175 memiliki sub-clade atau menurunkan: O-M95, O-M122, dan O-M119. O-M95 diasosiakan dengan Austroasiatik. Sedang turunan O-M122 antara lain O-P201. Turunan O-M119 adalah O-M110 dan O-P203. O-M110 diasosiakan Tai Kadai tetapi yang di Taiwan berbahasa Austronesia dan O-P203 diasosiakan Austronesia. O-M119 yang berada di sekitar Yunan diasosiakan Austronesia dan O-P201 yang berada di antara Yunan dengan Teluk Tonkin ditemukan berbahasa Austronesia. Selain O-M95 berbahasa Austroasiatik, yang berada di sekitar Yunan ada berbahasa Austronesia dan inilah kemungkinan proto-Austronesia, sedang yang di Taiwan berbahasa Austronesia. Jadi, pre-Austronesia atau proto-Austronesia berasal dari Asia Daratan, sedang dari Taiwan berasal Austronesia. Adapun R-M124 adalah sub-clade dari R dan R sendiri adalah keturunan dari K-M526*. R ditemukan di Asia Tengah, sedang R-M124 berasal dari India, di Asia Selatan. Dengan demikian, semuanya merupakan turunan dari Sundaland, sehingga penghuni awal Sianjur Mulamula yang berbahasa Austronesia dengan berbudaya Dongson itu bukan dari Israel di TimurTengah maupun dari Manchuria. Jurnal mengenai DNA di atas merupakan hasil penelitian dari 20-an orang professor doctor dari berbagai Negara yang melakukan penelitian di Asia Timur dan Asia Tenggara.
Di dekat Teluk Tonkin, Vietnam pernah berkembang dua buah kebudayaan, yaitu: kebudayaan Hoabinh atau Hoabinhian (18.000-3.000 tahun lalu, menurut Belwood, 2000:238-241) dan kebudayaan Dongson (5.000-2.000 SM, Wikipedia). Hoabinhian ini ditemukan berbahasa Austroasiatik, sedang Dongson berbahasa Austronesia. Itu sebabnya diperkirakan bahwa Hoabinhian itu O-M95*. Orang Asli atau suku Semang di Malaysia sekarang berasal dari Hoabinhian yang berbahasa Austroasiatik. Kalau dilihat dari fisik, bahwa Orang Asli ini berkulit hitam. Sedang fosil Hoabinhian yang ditemukan di gua Loyang Mandale dekat Takengon, Gayo, berusia 7.400 tahun (belakangan ditemukan berusia 8.430 tahun) sebagaimana dilaporkan pimpinan tim arkeologi Balarmed di Gayo, Aceh Tengah, Ketut Wiradnyana di dalam bukunya, GAYO MERANGKAI IDENTITAS (2011). Fosil Hoabinhian dari gua Loyang Mendale ini telah dilakukan tes DNA oleh Eijkman Institute dan dihubungan dengan DNA dari 300 lebih siswa/i di Takengon pada tahun 2011, sehingga terbukti bahwa orang Gayo adalah keturunan dari fosil Hobinhian tersebut (Lihat juga: Ketut Wiradnyana, Indikasi Pembauran Budaya Hoabinh dan Austronesia di Pulau Sumatera Bagian Utara, 2011). Akitivitas pembukaan hutan kecil-kecilan 6.500 tahun lalu di Humbang, dari Silaban Rura hingga Silangit, Siborong-borong, yang ditemukan oleh Bernard K. Maloney (1979) besar kemungkinan dilakukan oleh Hoabinhian yang datang dari Gayo, Aceh Tengah ini. Itu sebabnya, sejak awal di tahun 2015 lalu, penulis berkesimpulan bahwa Hoabinhian dari Loyang Mandale inilah yang datang ke Humbang pada 6.500 tahun lalu, karena cocok dari segi waktu dan ciri-ciri lainnya.
Kebudayaan Dongson lebih maju daripada kebudayaan Hoanbinh (Hoabinhian), karena Dongson sudah merupakan budaya perunggu, sedang Hoabinhian masih merupakan budaya zaman batu akhir. Sementara situs-situs arkeologi yang ditemukan di Kabupaten Samosir merupakan hasil dari budaya Dongson dan kebudayaan Toba didominasi oleh budaya Dongson dengan berbahasa Austronesia. O-P201 yang berbahasa Austronesia berasal dari sekitar Dong Son di dekat Teluk Tonkin, Vietnam di mana daerah Dong Son ini berada di antara Yunan dengan Teluk Tonkin, Vietnam Utara. Jelas, bahwa penghuni awal Sianjur Mulamula bukan berasal dari Gayo, karena yang di Gayo adalah Hoabinhian. Memang ada juga ditemukan fosil Austronesia di Gayo, tetapi berasal dari masa yang lebih muda sebagaima dijelaskan oleh arkeolog Ketut Wiradnya dalam tulisannya yang disebutkan di atas. Walaupun Gayo dan Toba sama-sama berbahasa Austronesia, tetapi Gayo tidak berbudaya Dongson, sedang Toba berbudaya Dongson. Itu sebabnya, arkeolog Ketut Wiradnyana, yang memimpin Tim Balai Arkeologi Medan di Gayo, mengemukakan: “Sampai saat sekarang ini saya belum menemukan adanya budaya Dongson (Tanah Batak) di bumi Gayo. Kita akan melakukan kajian lebih mendalam lagi tentang ini. … Sementara di Tanah Batak didominasi oleh budaya Dongson (salah satu budaya berasal dari Vietnam Utara) yang perkembangannya sekitar 2500 tahun yang lalu. Budaya Dongson ini ditandai dengan adanya logam dan pola hias yang ditemukan di rumah Batak Toba, yang menggambarkan binatang atau manusia dengan hiasan bulu-bulu panjang.” (Lintas Gayo, 14/01-2012)
(*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H