Mohon tunggu...
Edward EfendiSilalahi
Edward EfendiSilalahi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Manajemen di Universitas 17 Agustus 45 Jakarta

Menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang mandiri dan berkelanjutan

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kekuatan Etik dalam Demokrasi Pemilihan Umum di Indonesia

16 Desember 2021   13:36 Diperbarui: 16 Desember 2021   13:41 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Peringkat pertama yang mendominasi pelanggaran kode etik yaitu prinsip profesionalitas. Artinya profesionalisme penyelenggara pemilu masih perlu ditingkatkan kapsitasnya dari aspek manejemennya, dan dari aspek kepemimpinannya, pelayanannya, dan pemahamannya terhadap regulasi.

Ketika belum ada DKPP, pelanggaran etik pemilu telah berjalan, akan tetapi, kemudian setelah adanya DKPP jumlah kasus-kasus pelanggaran etik menjadi semakin tinggi ( Topo Santoso, Antara 30 november 2020 , dalam uji materi uu no 7 thn 2017 di Mahkamah Konstitusi ). Peningkatan kasus pelanggaran etik diakibatkan oleh pihak yang tidak puas dengan penanganan dan berbagai keputusan yang diambil komisi pemilihan umum. Rasa tidak puas itu mendorong berbagai pihak untuk berlomba-lomba mengajukan tindakan KPU ke DKPP sebagai bentuk pelanggaran kode etik.

Dari sisi konsep dan asas pemilu paralel 2024 secara teknis dan praktik pemilu, tidak ada yang berbeda antara praktik pemilu serentak seperti pemilu 2019 maupun dengan penyelenggaraan model pemilukada serentak seperti pemilukada serentak tahun 2015, 2017, 2018, dan 2020. Perbedaannya hanya pada tahapannya yang berjarak dekat dalam kurun waktu tahun yang sama serta basis undang-undang yang berbeda. Dari aspek pelanggaran etiknyapun diprediksi tidak jauh berbeda dengan jenis-jenis pelanggaran kode etik pemilu sebelumnya yang sering berulang.

Pada pemilukada tahun 2020 modus-modus pelanggaran kode etik paling banyak, yaitu perlakuan tidak adil pada proses pemilihan, dan tidak adanya upaya hukum yang efektif, dari 98 kasus yang memenuhi syarat pelanggaran untuk ditindaklanjuti, pelanggaran terbesar adalah kasus-kasus penyalahgunaan kewenangan, amoral atau asusila, keberpihakan, dan penyuapan ( Media Indonesia,Jum'at 18 September 2020 ).

Kasus-kasus pelanggaran etik dan pola kecenderungan yang terjadi pada proses tahapan pemilu pilpres dan legislatif dan pemilukada serentak sebelumnya menggambarkan ada sejumlah kasus yang berpotensi akan kembali berulang. Persepsi publik identik dengan data faktual kasus-kasus pelanggaran etik non tahapan pada tahun 2020, dimana dari 145 kasus etik, 30 kasus karena persoalan keberpihakan dan penyalahgunaan wewenang serta kasus penyuapan sebanyak 7 laporan, kasus amoral pelecehan seksual 21 kasus, sedangkan KPU tidak melaksanakan tugas dalam periode 

non tahapan ada sebanyak 13 kasus yang memenuhi syarat untuk diperiksa dan ditindak lanjuti oleh DKPP.

Potensi problem pelanggaran etik dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia pada pemilu serentak tahun 2024 menurut publik kemungkinan akan terjadi tidak jauh dari prinsip etik yang mendasar yakni memihak salah satu kekuatan politik, konflik kepentingan, menerima suap, dan tidak transparan. Kecenderungan pelanggaran kasus-kasus etik yang diadukan, secara faktual dari kasus-kasus tahapan dapat diprediksi akan berulang yakni persoalan prinsip professionalisme KPU dan Bawaslu, pelanggaran terkait prinsip kepastian hukum, dan melanggar prinsip kemandirian.

Pemilihan umum berintegritas merupakan syarat mutlak terciptanya pemerintahan yang demokratis. Namun dari pembentukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di tahun 2012 sampai sekarang, jumlah pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara pemilu masih cukup besar.

Rinciannya, jumlah pengaduan pelanggaran kode etik sejak 2014 hingga 2019 cenderung fluktuatif. Pada tahun 2014 DKPP mendapatkan pengaduan sebanyak 879 kasus. Periode 2015-2017 sebanyak 741 kasus, sedangkan 2018-2019 sebanyak 1.031 kasus ( Pusat Kajian Politik UI, 21 Oktober 2020 ).

Berdasarkan riset Puskapol Universitas Indonesia pada tahun 2017, aspek kemandirian adalah jenis pelanggaran yang sering diputuskan oleh DKPP pada kasus kode etik. Namun pada 2019 aspek profesionalitas merupakan yang utama. Selain itu, pada 2019  DKPP juga kerap memutuskan perkara kode etik karena adanya kelalaian tanggung jawab penyelenggara dan juga masalah rekruitmen penyelenggara.

Pelanggaran kode etik terjadi karena adanya relasi patronase, yakni hubungan erat antara penyelenggara pemilihan dengan peserta pemilukada maupun pemilu. Ada juga peran broker yang mencoba mencari keuntungan dari pihak yang berani membayar lebih tinggi agar menguntungkan calon tertentu, dan terakhir kuatnya intervensi elite politik lokal maupun pusat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun