Mohon tunggu...
Edward EfendiSilalahi
Edward EfendiSilalahi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Manajemen di Universitas 17 Agustus 45 Jakarta

Menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang mandiri dan berkelanjutan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Analisis Peta Jalan Pemilu 2024

3 Desember 2021   20:21 Diperbarui: 5 Desember 2021   02:30 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pendahuluan 

Dengan gagalnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum, maka normalisasi pemilihan kepala daerah atau Pilkada tahun 2022 dan 2023 batal dilaksanankan. 

Artinya Undang-undang no 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Undang-undang no 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-undang no 1 tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang no 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-undang, tetap berlaku bagi Penyelenggaraan Pemilu 2024.

Dengan mengacu pada Undang-undang no 7 tahun 2017 dan undang-undang no 10 tahun 2016 persoalan-persoalan yang pernah dihadapi bangsa ini dalam penyelenggaraan Pemilu serentak 5 kota pada tahun 2019 dan Pemilihan Umum Kepala Daerah serentak 270 daerah tahun 2020 menjadi sesuatu yang update atau penting untuk menjadi bahan masukan penyususnan road map Pemilu tahun 2024 yang akan datang. 

Dari kondisi masalah-masalah yang terjadi pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2020, bisa dijadikan entri point atau pintu masuk untuk penyusunan dan antisipasi Pemilu 2024 dan detail dari setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu dengan kemungkinan konsekuensi yang harus disikapi. 

Perkiraan konsekuensi kondisi Pemilu 2024 menjadi hal yang cukup mendasar agar persoalan yang timbul dari kompleksitas penyelenggaraannya dapat lebih dikendalikan dan diatasi. 

Pentingnya posisi strategis pelaksanaan Pemilu 2024 harus menyadarkan semua fihak terkait dukungan agar pemetaan (mapping) persoalan disetiap tahapan pelaksanaan Pemilu bukan hanya dipandang sebagai prosedur teknis semata,namun juga mampu menjangkau karakteristik tahapan yang substansial. 

Analisis Tahapan Pemilu 2024 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melakukan simulasi pelaksanaan Pemilu tahun 2024 dimana dari hasil simulasi tersebut diprediksi akan terjadi percepatan tahapan pemungutan suara dari yang semula bulan April 2024 menjadi Maret 2024. 

Bila ini terjadi, maka seharusnya tahapan dimulai bulan Juli 2022, dengan perhitungan diperlukan 20 bulan untuk seluruh tahapan.Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan agar tahapan persiapan dilakukan lebih cepat 10 bulan dengan asumsi jika ada hasil Pemilu yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sementara proses menjadi keputusan di Mahkamah Konstitusi menjadi sebuah keputusan memakan cukup waktu, maka tidak terjadi kekosongan kepemimpinan diwilayah yang terjadi sengketa hasil Pemilu tersebut. 

Jadi, artinya tahapan akan dimulai bulan September 2021.Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam simulasi Pemilihan Umum 2024 mempunyai dua alternatif hari pemungutan suara Pemilu serentak 2024, yaitu 14 Februari atau 6 Maret.Adapun untuk pemungutan suara Pilkada 2024 tetap mengacu pada UU no 10 thn 2016 yaitu 13 November 2024. 

Pelaksanaan pemungutan suara Pemilu yang lebih awal dibandingkan periode sebelumnya,yakni April, dikarenakan partai membutuhkan waktu yang cukup untuk menyiapkan syarat pencalonan Pilkada 2024.Sebab, hasil dari Pemilu legislatif menjadi acuan persyaratan pencalonan kepala daerah dari jalur partai politik. 

Selain itu, hari pemungutan suara Pemilu 2024 mempertimbangkan proses administrasi anggaran yang biasanya masih menemui kendala pada bulan Januari-Februari.Termasuk kondisi cuaca awal tahun yang menjadi puncak musim penghujan diprediksi dapat mengganggu pengiriman logistik dan pemungutan suara. 

Pemilihan hari tersebut juga memperhatikan hari libur keagamaan dan nasional yang berpotensi meningkatkan mobilitas pemilih.

Disamping rentang waktu pemungutan suara, hal yang juga penting untuk diperhatikan dalam menyiapkan peta jalan (road map) menuju pelaksanaan Pemilu 2024, adalah proses simulasi tahapannya.Berbagai peristiwa atau kejadian saat penyelenggaraan Pemilu serentak 2019, di samping Pilkada 2020 juga tidak bisa terlepas dari situasi dan kondisi menuju pemungutan suara ulang (PSU) yang terjadi di daerah-daerah tertentu. 

Dari rangkaian kondisi ini dapat menjadi pembelajaran, pihak penyelenggara yakni KPU dituntut tetap bekerja serius meski normalisasi Pilkada serentak batal diselenggarakan. 

Penyelenggara Pemilu yakni KPU dan partai-partai peserta Pemilu perlu memperhitungkan kedekatan antara isu nasional dan lokal yang cenderung lebih kuat dibandingkan saat Pemilu serentak tahun 2019 yang saat itu tidak disertai penyelenggaraan agenda Pilkada secara nasional. 

Dengan konstruksi persoalan tersebut, maka dibutuhkan regulasi pengaturan Pemilu yang benar-benar antisipatif.Kompleksitas yang akan dihadapi dalam pelaksanaan Pemilu serentak 2024 membutuhkan antisipasi penanganan dan solusinya secara kelembagaan. 

Diharapkan tidak terulang kembali pengalaman Pemilu 2019 dimana menurut data kematian dan kondisi sakit petugas Pemilu 2019 dari Kementerian Kesehatan : 1) Waktu kerja dan beban kerja petugas tidak terinformasi sehingga potensi resiko terhadap kesehatan bagi petugas tidak teridentifikasi dengan baik; 2) Persyaratan kesehatan bagi petugas tidak teridentifikasi dengan baik ; 3) Persyaratan kesehatan bagi petugas kurang sesuai dengan tuntutan waktu dan beban kerja ; 4) Lingkungan kerja memicu bertambah beratnya penyakit bawaan atau penyerta dari petugas, baik yang sudah maupun yang belum diketahui ; 5) Beban fisik dan psikis juga berpotensi memberikan kontribusi kematian (Kompas 12 April 2021). 

Analisis Pembiayaan Pemilu 2024 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) membutuhkan anggaran sangat besar dan payung hukum dalam melaksanakan regulasi penyederhanaan tahapan agar dapat memulai proses verifikasi dan penetapan hasil kerja secara lebih cepat. 

Dalam hal ini juga termasuk kemungkinan pemanfaatan instrumen teknologi informasi digital yang berkaitan dengan sistim informasi partai politik (Sipol),dana kampanye (Sidikam) dan lain sebagainya. 

Kebutuhan anggaran Pemilu yang meningkat dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dimana KPU menyampaikan usulan anggaran pelaksanaan Pemilu tahun 2024 adalah sebesar Rp 86,2 triliun.Angka ini naik tiga ratus persen (300 %) dibandingkan Pemilu 2019 yang Rp 25,59 triliun. 

Angka Rp 86,2 triliun itu baru anggaran KPU,belum termasuk Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan jajarannya, serta anggaran Kepolisian yang bekerja mengamankan Pemilu diseluruh Indonesia, kebutuhan anggaran diperkirakan akan semakin meningkat ditengah situasi pandemi covid-19. 

Pengalaman penyelenggaraan Pilkada 2021 soal anggaran menjadi keprihatinan ditengah tuntutan penyelenggaraan setiap tahapan.Keterlambatan terjadi untuk memenuhi kebutuhan petugas dalam menjalankan tugasnya, seperti halnya saat harus melakukan proses verifikasi faktual dukungan perseorangan (Kompas,20 April 2020). 

Jika nantinya harus diajukan pemungutan suara ulang (PSU) setelah hari H Pemilu, maka kendala anggaran sedini mungkin harus sudah diantisipasi dalam skema Pemilu 2024. 

Bahkan bukan hanya bagi penyelenggara Pemilu, antisipasi anggaran juga bagi peserta baik perorangan calon,maupun partai politik karena terkait dengan pertambahan jumlah tempat pemungutan suara (TPS). 

Mereka harus mengerahkan para saksinya masing-masing yang sudah tentu jumlahnya lebih besar dibandingkan saat Pemilu serentak 2019. 

Analisis Regulasi dan Pelanggaran Etik 

Peta jalan (road map) Pemilu 2024 juga perlu menghitung aspek keamanan wilayah dalam penyatuan rumpun Pilkada dalam skema Pemilu serentak,mengingat ikatan emosional pemilih dengan kandidat dan partai politik pilihannya begitu kuat dan terjadi transformasi preferensi politik disetiap kontestasi tingkatan pemerintahan. 

Dalam hal ini, kesiapan regulasi bisa menjadi sebuah hal yang rawan dan diharapkan tidak terlalu mepet dengan dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu. 

Pada Pemilu 2014, misalnya, penyiapan regulasi turunan Undang-undang atau rancangan peraturan KPU menjadi peraturan KPU yang membutuhkan dua bulan sebelum dimulainya tahapan Pemilu tersebut.Bahkan, saat penyelenggaraan Pemilu 2019, lebih mepet lagi waktunya, yaitu regulasi diselesaikan hanya satu hari sebelum dimulainya tahapan Pemilu. 

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP adalah institusi formal yang menjaga kehormatan penyelenggara Pemilu. DKPP menjadi wasit atas perilaku penyelenggara Pemilu,baik komisioner maupun staf kesekretariatannya. Dalam khasanah praktik berpemilu di Indonesia, prinsip dasar Pemilu telah diadopsi pada UU no 7 thn 2017 dan UU no 10 thn 2016 yang berkaitan dengan asas dan prinsip umum dalam berpemilu seperti mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, terbuka, proporsional, professional, akuntabel, efektif, dan efisien.Maknanya, para penyelenggara Pemilu sebagai pelayan warga negara dalam berdemokrasi terikat oleh nilai-nilai etik yang telah menjadi nilai hukum positif. 

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu telah memberikan bingkai etik dan dimensi perilaku etik bahwa cakupan sejumlah nilai etik bagi penyelenggara Pemilu sifatnya melingkupi dua dimensi dalam penyelenggaraan Pemilu, yakni dimensi proses Pemilu sesuai dengan tahapan Pemilu dan dimensi perilaku etik penyelenggara Pemilu diluar tahapan Pemilu. 

Dari sisi konsep Pemilu paralel 2024 secara teknis dan praktik Pemilu tidak ada berbeda antara praktik Pemilu serentak seperti Pemilu 2019 maupun dengan penyelenggaraan model Pilkada serentak seperti pada Pilkada serentak 2015,2017,2018 dan 2020.Perbedaannya hanya pada tahapannya berhimpit dan berjalan dalam waktu yang bersamaan pada tahun yang sama, serta basis peraturannya berbeda. 

Oleh karena itu, dari sisi potensi pelanggaran etiknyapun bisa saja tidak jauh berbeda dengan kejadian-kejadian pelanggaran etik pada pemilu-pemilu sebelumnya yang sering berulang. 

Analisa data atas kasus-kasus pelanggaran etik dan pola kecenderungan yang terjadi pada proses tahapan Pemilu (pilpres dan legislatif) dan Pilkada serentak sebelumnya menggambarkan ada sejumlah kasus yang berpotensi akan berulang kembali. 

Problem pelanggaran etika dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia menurut publik kemungkinan akan terjadi pada prinsip etik penyelenggara Pemilu yang mendasar yakni memihak salah satu kekuatan politik, konflik kepentingan, menerima pemberian dan tidak transparan (Moch Nurhasim,2020,Laporan Survey Urgensi Pengaturan Etika Penyelenggara Pemilu). 

Persepsi publik ternyata identik dengan data faktual kasus-kasus pelanggaran etik non-tahapan pada 2020, dimana dari 145 kasus etik, 30 kasus karena persoalan keberfihakan dan penyalahgunaan wewenang serta kasus penyuapan sebanyak 7 laporan, kasus amoral pelecehan seksual 21 kasus, sedangkan penyelenggara yakni KPU tidak melaksanakan tugas dalam periode non-tahapan ada sebanyak 13 kasus yang ditangani oleh DKPP. 

Kecenderungan pelanggaran kasus-kasus etik yang diadukan ke DKPP, secara faktual dari kasus-kasus tahapan dapat dipetakan, pertama, di dominasi oleh persoalan prinsip profesionalitas penyelenggara.Kedua, pelenggaran terkait prinsip kepastian hukum dan ketiga melanggar prinsip kemandirian. 

Analisis Penyelenggaraan Pemilu 2024 

Ada beberapa hal yang mungkin timbul dalam pelaksanaan Pemilu 2024 dimana dengan beban kerja dan target pelaksanaan rencana Pemilu 2024 yang tinggi, kesiapan, terutama menyangkut tenaga dilapangan yang mengelola dokumen dan instrumen kepemiluan.Serta periodeisasi masa jabatan tenaga yang bertugas justru berlangsung dalam kurun waktu yang terlalu sempit.

Pergantian personil penyelenggara Pemilu akan terjadi pada April 2022, dan selanjutnya akan bergulir seleksi untuk tingkat Provinsi sampai September 2022.Kemudian seleksi penyelenggara ditingkat Kabupaten/Kota sekitar Agustus 2023.Sehingga perlu mekanisme untuk memastikan peta jalan (road map) Pemilu 2024 tidak terganggu oleh proses rekrutmen penyelenggara yang tergolong cukup lama (Suswantoro,https;//koran.tempo.co;9 April 2021). 

Hal lain ialah bagi masyarakat Pemilih dalam Pemilu 2024, peluang bagi perhatian lebih dari masyarakat bagi Pemilu Presiden/Wakil Presiden (Pilpres) dibandingkan Pemilu anggota legislatif (Pileg) kembali besar.Isu Pileg baik ditingkat nasional dan lokal (DPR,DPRD Provinsi,DPRD Kabupaten/Kota) akan mudah tertelan isu Pilpres. 

Sedangkan Pilkada tampaknya tetap menjadi pilihan lain dari prioritas perhatian pemilih ditingkatannya.Dengan keserentakan Pemilu 2024 maka peluang bagi Pilkada Bupati/Wakil Bupati dan Pilkada Walikota/Wakil Walikota lebih besar menarik perhatian pemilih dibandingkan Pilkada Gubernur/wakil Gubernur. 

Alasannya, adalah kedekatan secara emosional lebih mudah terjadi pada konteks kewilayahan Pilkada level Kabupaten/Kota dibandingkan untuk level Provinsi, sebab signifikansi fenomena politik yang terjadi dalam isu-isu strategis yang ditampilkan cenderung tetap kuat pada Pilkada di Kabupaten/Kota. 

Potensi berulangnya isu-isu strategis Pilpres ditengah persaingan pada level Kabupaten/kota perlu disikapi secara hati-hati, karena instrumen politik identitas dalam emosi persaingan antar kontestan masih kuat dalam ruang keserentakan Pemilu 2024. 

Kluster usia pemilih pada Pemilu 2024 diprediksi akan didominasi oleh pemilih generasi millenial dan generasi Z. 

Dari daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu serentak 2019, pemilih berusia 20 tahunan mencapai 17.501.278 orang, sedangkan yang berusia 21-30 tahun sebesar 42.843.792 orang. 

Untuk Pemilu 2024, jumlah pemilih millenial dan generasi Z diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 60% dari total suara pemilih (Media Indonesia,12 Oktober 2021) . 

Menjadi tantangan tersendiri bagi semua elemen bangsa jika ingin menyukseskan pelaksanaan Pemilu 2024 dari sisi meningkatnya animo pemilih datang ketempat pemungutan suara (TPS) pada hari H Pemilu yang akan didominasi oleh generasi millenial dan generasi Z yakni pemilih yang baru pertama kali akan memberikan suaranya dalam pemilu 2024. 

Karakter pemilih yang berjumlah sekitar 60 persen dari total pemilih pada Pemilu 2024 adalah generasi yang sangat tergantung dengan teknologi komunikasi dan informasi, khususnya internet. 

Education, Audiovisual and Culture Executive Agency (EACEA) menyampaikan data (2012) yang menyebut generasi millenial sering dianggap sebagai generasi yang paling tidak perduli dengan persoalan politik, mereka cenderung memilih menjadi warga negara yang tidak ikut menggunakan hak pilih mereka dalam pemilu alias Golput. 

Penutup 

Tahapan-tahapan penyelenggaraan Pemilu tahun 2024 adalah tugas yang sangat berat yang harus melibatkan banyak fihak untuk mendukung kerja penyelenggara Pemilu.Untuk itu guna tetap menjaga kualitas penyelenggaraan Pemilu 2024,direkomendasikan :

Pertama, dari sisi DPR RI,diharapkan turut dalam pemetaan masalah dan antisipasi disetiap tahapannya, dan juga memberikan dukungan bagi sumber daya yang dibutuhkan penyelenggara, terutama dibidang anggaran. Disamping itu, DPR RI harus memastikan setiap aturan turunan sebagai payung hukum disetiap tahapan benar-benar operasional, termasuk memfasilitasi bagi transformasi digitalisasi Pemilu. 

Kedua,dari sisi penyelenggara, dipastikan akan membutuhkan alokasi anggaran dan sumber daya pelaksana dilapangan yang harus memadai baik dari segi jumlah, kapasitas, integritas, dan kesiapan fisik dan mental dalam penanganan tugas-tugasnya. Pemungutan Suara Ulang (PSU) diusahakan jangan sampai terlalu signifikan kejadiannya dan kualifikasi Komisi Pemillihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara yang profesional adalah harapan meminimalisir peluang pemungutan suara ulang (PSU) dipelaksanaan Pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024. 

Ketiga, melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), agar memperkuat partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya setiap tahapan Pemilu.Agar partisipasi masyarakat diarahkan pada penciptaan suasana demokrasi yang kondusif dan kualitas demokrasi saling beriringan. 

Keempat, agar semua fihak, baik penyelenggara, pemerintah dan fihak terkait dalam sosialisasi penyelenggaraan Pemilu 2024, mampu mencerahkan masyarakat pemilih agar turut berpartisipasi menyukseskan pemilu 2024 dengan menggunakan hak pilihnya dengan datang ke TPS, terlebih masyarakat yang mempunyai hak pilih yang enam puluh persen adalah generasi millenial dan generasi Z dari total pemilih. 

REFERENSI 

1. Kompas,20 April 2020 

2. Kompas,12 April 2021 

3. Moch Nurhasim,2020,Laporan Survey Urgensi Pengaturan Etika Penyelenggara Pemilu 

4. Suswantoro,koran.tempo.co.,9 April 2021,Kotak Pandora Pemilu 2024 

5. Media Indonesia,12 Oktober 2021 

6. EACEA,2020,Generasi Millenial Dalam Pemilu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun