Mohon tunggu...
Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan Konsultan Skripsi

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Presidential Threshold 0 Persen Bukan Solusi Krisis Kepemimpinan

22 Desember 2021   10:01 Diperbarui: 23 Desember 2021   07:08 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Eduardus Fromotius Lebe

(Penulis, Konsultan Skripsi dan Dosen)

Akhir-akhir ini elite politik gaduh dengan presidential threshold. Sebenarnya ini masalah klasik bagi dinamika perpolitikan di Indonesia. 

Presidential threshold (PT) merupakan aturan yang seringkali dipersoalkan oleh beberapa kelompok masyarakat. Bahkan, Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa kali mengadili dan memutuskan perkara judicial review tentang peraturan mengenai presidential threshold 20%.

Dan berulang kali juga hakim MK memutuskan tetap memberlakukan presidential threshold 20%. Setidaknya, sampai sejauh ini judicial review mengenai presidential threshold sudah dilakukan sebanyak 13 kali. Terakhir kali judicial review mengenai presidential threshold diajukan oleh Rizal Ramli ke MK.

Hakim MK menolak dalil yang dimohonkan pemohon. Kala itu pemohon atas nama Rizal Ramli mengajukan judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Secara khusus pemohon ingin membatalkan pasal 222 UU Pemilu yang berbunyi:

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Yang menarik adalah polemik presidential threshold terus berlanjut, dan akan diuji kembali ke MK. Itu berarti, ini kali ke 14, MK akan menguji kembali undang-undang yang sama mengenai syarat batas ambang pencalonan presiden. Tensi politik semakin meningkat manakala elit partai ikut mempersoalkan presidential threshold.

Potret sekelompok orang yang menolak presidential threshold (sumber: tirto.id)
Potret sekelompok orang yang menolak presidential threshold (sumber: tirto.id)

Melihat dinamika yang terjadi, setidaknya ada tiga kelompok yang berada pada pusar polemik presidential threshold. Ketiga kelompok tersebut adalah pertama, kelompok yang mendukung presidential threshold 20%. 

Kedua, kelompok yang menginginkan agar presidential threshold tetap ada, namun turun dari angka 20%. Ketiga, kelompok yang sama sekali tidak menginginkan adanya batas ambang pencalonan atau presidential threshold 0%.

Dari ketiga kelompok tersebut, penulis mengidentifikasi bahwa kelompok pertama adalah partai politik yang hari ini memiliki kursi mayoritas di parlemen seperti PDIP. Kelompok kedua adalah partai politik yang memiliki kursi minoritas di parlemen seperti PKS. Sedangkan kelompok ketiga adalah partai politik dan atau kumpulan individu atau perseorangan tidak memiliki kekuatan politik namun berambisi ingin mencalonkan diri pada Pilpres 2024.

Masing-masing kelompok memiliki alasan yuridis yang berbeda-beda. Penulis tidak ingin masuk pada ranah yuridis. Sebab berulang kali judicial review mengenai batas ambang syarat pencalonan presiden ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). 

Fokus penulis adalah ingin menguraikan sekaligus mempersoalkan argumentasi bahwa semakin banyak calon, semakin banyak alternatif pilihan, maka kualitas demokrasi akan semakin baik.

Hal ini penulis uraikan menjawab berbagai argumentasi dari kelompok yang menginginkan presidential threshold 0%. Ada kekeliruan konstruksi berpikir bahwa adanya presidential threshold telah merusak demokrasi. 

Seolah-olah jika presidential threshold tidak berlaku atau 0%, maka pilpres di Indonesia akan menghasilkan para pemimpin yang berkualitas. Atau dalam bahasa penulis presidential threshold 0% bukan solusi krisis kepemimpinan di Indonesia.

Berikut ini beberapa argumentasi yang penulis uraikan untuk mendukung konstruksi berpikir yang tetap berpendirian bahwa presidential threshold harus tetap ada.

1. Presidential threshold menguatkan fungsi partai politik sebagai infrastruktur politik

Infrastruktur politik adalah adalah kelompok kekuatan politik dalam masyarakat yang turut berpartisipasi secara aktif. Kelompok tersebut dapat berperan menjadi pelaku politik tidak formal untuk turut serta dalam membentuk kebijaksanaan negara. 

Jelas bahwa sebagai infrastruktur politik, partai politik harus menyiapkan kader terbaiknya untuk menjadi pelaku politik termasuk memimpin negara maupun daerah.

Dalam sistem presidensial harusnya ada keseimbangan antara pemimpin (presiden) dan partai politik. Pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kualitas yang mumpuni lahir dari kaderisasi yang optimal oleh partai politik. Oleh karena, itu partai politik dituntut untuk bekerja secara maksimal dalam hal pengkaderan.

Presiden dan partai politik terikat dalam satu historis perjuangan. Sebelum menjadi presiden, seseorang yang adalah kader partai bersama-sama dengan kader yang lain membangun partai. Jika bekerja secara baik maka insentifnya adalah mendapatkan mandat dari rakyat melalui pemilihan umum (pemilu).

Ini bukan soal menghilangkan hak seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai capres akibat adanya presidential threshold 20%. Seseorang yang ingin mencalonkan diri menjadi presiden harus sadar diri bahwa hanya melalui partai politik ia bisa dicalonkan. Tentu partai politik yang mendapatkan mandat dari rakyat. Bukan partai politik musiman, yang muncul ketika akan dilaksanakan pemilu setelah itu hilang entah kemana.

Tidak semua logika publik diikuti dalam sistem kepartaian. Seperti, publik lebih memilih tokoh ketimbang partai politik atau preferensi politik di Indonesia adalah figur bukan partai. Itu bukan berarti partai politik sudah tidak penting lagi. Atau seseorang boleh seenaknya saja mencalonkan diri tanpa melalui kaderisasi di partai politik.

Presidential threshold mengubah paradigma politik. Partai politik yang membesarkan figur, bukan figur yang membesarkan partai politik. Selama ini memang belum dilaksanakan secara baik oleh partai politik dalam hal pengkaderisasian.

Membesarkan partai adalah tanggung jawab kader. Kerja keras para kader yang membesarkan partai tentu akan mendapatkan insentif politik berupa kenaikan elektabilitas. 

Partai politik sebagai infrastruktur politik yang berfungsi mengendalikan kekuasaan. Maka partai politik harus mendapatkan legitimasi publik. Bagaimana mungkin seorang presiden yang memenangi pemilu dari partai yang tidak mendapatkan legitimasi publik. Ini justru mereduksi peran-partai politik sebagai infrastruktur politik.

2. Kualitas dan kapabilitas pemimpin tidak selalu ekuivalen terhadap jumlah calon pemimpin

Secara prinsip dan praktis kapabilitas dan kualitas pemimpin tidak relevan terhadap jumlah calon pemimpin yang akan dipilih. Alternatif banyak pilihan tidak selalu selaras dengan kualitas pemimpin yang dihasilkan. Sebagai contoh, di negara maju sekali pun seperti Amerika Serikat calon presiden hanya terdiri dari 2 pasang.

Di Indonesia anggota DPR dipilih langsung oleh rakyat dengan jumlah calon yang tidak sedikit. Akan tetapi kualitas dan kapabilitas anggota dewan yang dihasilkan melalui pemilu masih jauh dari ekspektasi publik. 

Penulis berani menyimpulkan bahwa kualitas dan kapabilitas seorang pemimpin (presiden) tidak bergantung pada variasi pilihan (jumlah) yang disodorkan pada pemilih (publik).

Kita tidak menafikan bahwa figur non partai memiliki kapabilitas dan kualitas yang baik. Bagi sebagian kalangan presidential threshold menghambat karier politik dari figur non partai. 

Penulis berpendapat bahwa dalam negara demokrasi dengan sistem kepartaian maka suka atau tidak hanya melalui partai politik seorang dapat dicalonkan menjadi presiden. Jika ingin berpolitik maka wajib menjadi anggota partai. Dengan demikian, jika ingin menjadi presiden maka sudah semestinya menjadi anggota partai.

3. Tidak seorang pun yang berhasil memimpin tanpa dukungan partai politik yang kuat

Adanya presidential threshold sebagai legitimasi seorang presiden yang didukung oleh kursi mayoritas. Sebaik apa pun kepemimpinan seseorang harus didukung oleh kekuatan parlemen. Banyak kepala daerah yang tidak bisa menjalankan roda kepemimpinannya akibat diganjal oleh anggota dewan.

Seorang presiden yang dipilih oleh rakyat dan mendapat dukungan mayoritas fraksi di DPR memiliki kewibawaan untuk memimpin. Ide besar seorang presiden tanpa dukungan mayoritas dewan akan sia-sia. Memiliki dukungan partai yang kuat seorang presiden lebih leluasa mengeksekusi kebijakan.

Untuk mengatasi krisis kepemimpinan langkah yang tepat adalah menguatkan peran partai. Peran partai politik dalam merekrut dan menyiapkan calon pemimpin harus terus didorong. Tidak selalu mengadalkan figur non partai untuk mengangkat citra partai. 

Terima kasih pada partai yang tetap fokus pada kaderisasi sehingga menghasilkan calon pemimpin yang mumpuni. Sekian!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun