Hal senada juga diungkap oleh masyarakat terkait transportasi yang menghambat pembangunan di desa woloin. Ketika habis bahan bakar atau mesin perahu yang ditumpangi untuk mengangkut bahan bangunan rusak, maka bahan bangunan berupa semen sampai membeku di samping kali karena terkena suhu dingin atau turun hujan. Tetapi, kadang semangat membuat kita perangkat desa dan masyarakat bisa memikul bahan bangunan melewati emperan sungai atau melewati jalan setapak hingga tiba di desa woloin. "Ungkap salah satu warga desa Woloin".
Sungguh, sebuah perjuangan yang sangat luar biasa. Perjuangan mereka membuat saya terharu dan tidak mampu membendung air mata yang turun menetes. Dalam hati saya, dikota akses ke sekolah sangat mudah dan gampang, sekolah pun tercukupkan, namun kami masih malas-malasan. Sungguh, sangat menyentuh hati saya.
Setelah kunjungan di desa woloin, banyak harapan-harapan masyarakat yang meteka titipkan saat itu kepada saya dan teman saya.
Waktu pun membatasi pertemuan singkat kami di desa Woloin, karena sudah menjelang sore maka, saya dan teman saya Paul, sapaan akrabnya. Kami berdua mulai bersiap untuk kembali ke ibu kota kecamatan di Saluk untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Kota Sorong.
Hal yang terjadi saat kepulangan kami berdua adalah masyarakat berbondong-bondong bersama kepala desa mengantarkan kami pulang menggunakan perahu yang pada saat itu mesinnya tengah rusak. Lalu kami hanya terhanyut mengikuti arus sungai kladuk sampai tiba di Saluk.
Sesampainya di Saluk, mereka mengangkut bahan material sebagian, salah satunya berupa motor lampu untuk menerangi rumah-rumah masyarakat didesa Woloin. Namun, dengan kondisi mesin perhau yang rusak membuat mereka harus bekerja manual, beberapa orang menyusuri tepian sungai sambil memegang tali yang diikatkan di badan perahu, sambil menarik perahu tersebut hingga sampai didesa Woloin.
Selanjutnya, dalam perjalanan pulang menuju kabupaten sorong, saya masih terbayang begitu kerasnya perjuangan mereka membangun desa Woloin dan begitu semangatnya anak-anak mereka bersekolah setiap hari dengan berjalan kaki menempuh jalan setapak sepanjang 10-15 km.
Akhirnya, banyak ilmu dan makan yang saya belajar dari mereka. Demikian kisah perjuangan mereka dalam membangun desa dan menempuh pendidikan tanpa mengenal lelah. Sungguh, hal tersebut sangat memberi saya pelajaran berharga dalam hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H