Mohon tunggu...
Edi Santoso
Edi Santoso Mohon Tunggu... Dosen - terus belajar pada guru kehidupan

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Jenderal Soedirman.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kredibilitas Harun Yahya dan Otoritas Keilmuan yang Kabur

12 Juli 2018   23:28 Diperbarui: 13 Juli 2018   11:31 3712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Andai saja kita skeptis, kita bisa dengan mudah menelusuri latar belakang seseorang ketika yang bersangkutan membagikan karyanya, sebelum kita menaruh hormat dan kepercayaan. Ada hikmahnya, ketika HY ditangkap polisi. 

Saya jadi penasaran, seperti apa HY itu sebenarnya. Bayangan saya bahwa HY adalah orang yang religius konservatif runtuh seketika ketika melihat tayangan acara di channel TV miliknya, A9. 

Dalam acara bincang-bincang seputar agama Islam, HY juga menari-nari dengan perempuan-perempuan berpenampilan seksi. Dalam satu sesi tanya jawab, ada perempuan bertanya tentang batas aurat dalam Islam. "Asal menutup alat kelamin dan payudara, maka auratnya sudah tertutupi," jawab HY. "Berarti, pakai bikini itu sudah termasuk menutup aurat?" tanyanya kemudian. Dan HY pun mengiyakan.

Lebih jauh melihat perjalanan hidupnya, banyak yang janggal dari HY. Dia pernah ditahan dengan tuduhan menyebarkan revolusi teokratis. HY pun pernah masuk rumah sakit jiwa selama 10 bulan. 

Belakangan dia juga memposisikan diri sebagai imam mahdi di hadapan para pengikutnya. Banyak ulama Turki yang menyebut HY menyebarkan kesesatan dan kebohongan. 

Ah, kita memang orang awam yang mudah terpukau dengan kata-kata orang yang nampak cendekia. Kita cepat sekali percaya pada apa yang kita suka. Tapi, dari kasus HY ini kita belajar untuk kembali menempatkan otoritas sebagaimana mestinya. 

Bersikap skeptis, meragukan apa yang dikatakan orang, akan mengantarkan kita untuk lebih dekat dengan kebenaran. Dengan ragu, kita terdorong untuk mencari tahu. Bisa jadi, kebenaran datang dari orang yang kita tidak suka, atau sebaliknya. Karena memang, kebenaran tidak pernah mensyaratkan kesesuaian rasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun