Mohon tunggu...
Edi Santoso
Edi Santoso Mohon Tunggu... Dosen - terus belajar pada guru kehidupan

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Jenderal Soedirman.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kredibilitas Harun Yahya dan Otoritas Keilmuan yang Kabur

12 Juli 2018   23:28 Diperbarui: 13 Juli 2018   11:31 3712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi, pakar Biologi Kevin Padian menyebut isi buku tersebut tak lebih dari sampah. "(HY) tidak benar-benar tahu mengenai apa yang kita ketahui terkait dengan bagaimana segala sesuatu berubah seiring waktu," kata ilmuwan dari Universitas California itu. Senada dengan itu, Biolog dari Universitas Utrecht menyebut isi buku tersebut sangat konyol.

Sedangkan Komite Budaya, Sains, dan Pendidikan Majelis Parlemen Eropa menyatakan pemikiran HY tak lebih dari pseudo-ilmiah (seolah-olah ilmiah, padahal tidak).

Saya tidak bermaksud mendiskusikan substansi buku-buku HY, tapi sekadar ingin menunjukkan fakta tentang kaburnya sebuah otoritas keilmuan, ketika sudah berhadapan dengan khalayak emosional. 

Normalnya, kita akan menaruh kepercayaan pada orang dengan otoritasnya, mungkin secara jabatan strukutural, latar belakang pendidikan formal, atau reputasi pengalamannya.

Misalnya ketika sakit, kita mempercayakan pengobatan pada dokter, karena yang bersangkutan memiliki latar belakang pendidikan medis. Dalam urusan agama, kita percaya pada ulama, yakni mereka yang memiliki pengetahuan luas tentang agama (yang bisa ditunjukkan oleh latar belakang pendidikan atau catatan karyanya yang diakui). Begitu juga dengan ilmu pengetahuan, yang berhak bicara adalah ilmuwan yang terverifikasi oleh pendidikan ataupun catatan publikasinya.

Lalu, kenapa kita begitu saja percaya pada karya-karya HY? Saya yakin, sebagian besar kita tak pernah mencoba melacak latar belakangnya, termasuk bagaimana kiprahnya di dunia sains (misalnya dengan melihat publikasi ilmiahnya). 

Kita tak pedulikan lagi keabsahan otoritas HY untuk bicara agama dan sains, ketika tulisan-tulisannya memenuhi hasrat kita. Seolah kita kompak bereaksi, "Nah, ini ni yang saya cari selama ini." Tak ada kritik, apalagi penolakan.

Gejala tersebut terkonfirmasi oleh banyak peristiwa di media sosial belakngan ini, ketika semua orang merasa berhak untuk bicara apa saja. Sementara netizen lainnya semata mencari dan mengapresiasi informasi yang disukai. 

Jadilah "pakar-pakar" baru di dunia maya, semata karena banyaknya informasi yang dia tulis atau dia bagi. Berlakulah adigium, "yang pakar dan punya otoritas itu adalah mereka yang pendapatnya saya inginkan". 

Tak heran, di media sosial, kepakaran seseorang tiba-tiba bisa runtuh di mata pihak-pihak tertentu, ketika pendapat sang pakar berubah, tak lagi seperti yang diinginkan orang-orang tersebut. 

Ada ulama yang awalnya dipuja-puja, mendadak dicaci, karena dia berganti orientasi politik. Apresiasi orang lebih dipengaruhi oleh faktor politik ketimbang reputasi dan latar belakang pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun