Mohon tunggu...
EDROL
EDROL Mohon Tunggu... Administrasi - Petualang Kehidupan Yang Suka Menulis dan Motret

Penulis Lepas, Fotografer Amatir, Petualang Alam Bebas, Enjiner Mesin, Praktisi Asuransi. Cita-cita: #Papi Inspiratif# web:https://edrolnapitupulu.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Revolusi Mental kok Satu Kata Beda Perbuatan?

27 Januari 2016   02:27 Diperbarui: 27 Januari 2016   11:56 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sertifikat Terpercaya (sumber:3.bp/blogspot.com)"][/caption]

Perhatian media entah itu yang elektronik arus utama (main stream) maupun yang basis web atau media sosial hampir pasti mengulas politik. Saya mau menyumbang dialog politik barang sekejap.... mirip kayak pengamen buskota hehehehe....

Berita laris top 10 belakangan ini, entah itu mengenai partai yang dulunya kokoh layaknya beringin besar yang mendadak remuk jadi partai gurem. Selebritis para anggota partai politik yang tertangkap tangan melakukan suap-suapan. Hiruk-pikuk bursa calon gubernur DKI 2017, saling adu promo kuat-hebat-menawan dengan bonus janji-janji.

Kebasian

Mungkin basi kalo saya cantumkan perihal Revolusi Mental sebagai judul. Tapi bagi dunia politik, hal yang basi seperti janji-janji basi saat kampanye selalu jadi sampel produk yang beredar dari tahun ke  tahun. Kebasian adalah hal yang fenomenal di dunia politik dan laris manis diperdagangkan terutama di negara Indonesia. Paling santer bau basinya pas kampanye calon pemimpin dan anehnya tetap berasa segar. Seperti layaknya kalau saudara perhatikan, film-film lawas (basi) sering diputar saat minggu liburan panjang sekolah atau liburan hari raya dan stasiun TV selalu bangga menayangkan dan mengiklankan kebasian ini (sudah tradisi).

Coba saya sebutkan contoh slogan dan janji-janji basi saat kampanye, kurang lebih begini:

"Mari kita pilih lanjutkan, yang sudah teruji, sudah terbukti"

"Untuk ... lebih baik"

"Saatnya hati nurani bicara"

"Bebas Macet, Bebas Banjir"

"Sekolah Gratis."

"Jaminan Kesehatan Gratis"

"Sembako Gratis...hehehe...

Basi khan....tapi kok laku ya. Ajaib.

Mungkin inilah rahasia alami yang sudah berhasil dipraktekan oleh ahli kampanye dan politikus bangsa Indonesia. Kata-kata dan janji positif yang basi ini berhasil terungkap keajaibannya oleh Pak Massaru Emoto. 

Pak Emoto mengunngkapkan manusia adalah mahluk yang mengandung banyak unsur air dalam tubuhnya. Air memiliki partikel kristal yang baik dan buruk tergantung perasaan manusia di sekelilingnya. Ucapan yang baik, indah  dan positif  menghasilkan kristal air yang indah dan mengagumkan seperti layaknya air suci yang beliau teliti. Begitu juga dengan janji-janji indah saat kampanye merupakan tumpahan atau sihir untuk pendengar merasakan sesaat siraman air suci.

Kebasian yang menghebohkan pada era saat ini adalah slogan "Revolusi Mental". Demikian dahsyatnya arus informasi, slogan bahkan media internasional terkemuka mengumandangkan "New Hope" (Harapan Baru). Doktrin "Revolusi Mental" tersaji di berbagai kanal informasi dan berita bahkan bahasa tubuh "Salam Dua Jari".

Kaset usang "Revolusi Mental" dirilis ulang dengan tampilan yang ciamik dan ramah pengguna. Isi suara kaset ini pertama kali diputar pada saat pidato kenegaraan presiden Soekarno (Bung Karno) pada tanggal 17 Agustus 1957, sebagaimana pengakuan dalam  pidato Ibu Megawati pada kongres partai banteng 2015 yang lalu. Bung Karno pada waktu itu menggelorakan semangat revolusi Nasional yang dikenal dengan Berdikari - berdiri di atas kaki sendiri- bagi bangsa Indonesia guna memberikan semangat kebanggaan pada eksistensi bangsa, dari pada berdiri di atas utang luar negeri yang terbukti menghadirkan ketergantungan dan ketidakberdayaan. 

 

Satu Kata Beda Perbuatan

Saya mengutip perkataan petinggi partai banteng yang mengusung Revolusi Mental, pada setiap pidato pembukaan kongres partai kerap mengatakan bahwa pendidikan politik, moral politik yang paling sederhana yang dituntut dari seorang pemimpin yang betul-betul revolusioner adalah satunya kata dengan perbuatan, satunya mulut dengan tindakan. 

Pernyataan moral politik yang sederhana namun maha berat pelaksanaannya, menurut saya itu sama dengan mengamalkan janji suci. Apalagi dalam praktik politik, janji suci boleh basi eh salah... sederhana tapi menjalaninya cenderung berdarah-darah penuh nanah dan kotoran. 

Janji kampanye konsep Revolusi Mental, bukan hanya taruhan moral politik kesederhanaan sebuah partai belaka , bukan juga perkara benar atau salah lagi, tapi wujud dan resiko terbesar adalah kepercayaan pada konstituen wong cilik.

Masyarakat elit, petinggi elit poltik, bahkan lapisan masyarakat wong cilik mencatat dengan jelas janji kampanye Pemimpin Besar Revolusi Mental, poin demi poin, kata demi kata, kerja demi kerja, perubahan demi perubahan, dari waktu ke waktu. 

Satu tahun plus berlalu dengan singkat menuju jelang genap lima tahun akhir periode kepemimpinan sang revolusioner. Satu Kata ada dalam janji kampanye pemimpin revolusioner harus merupakan satu dengan perbuatannya.

Benarkah sejauh ini terwujud?... Koreksi (dalam politik tabu berkata benar atau salah :)... hehehe)  ... Percayakah saudara sejauh ini ada yang terwujud? atau Percayakah saudara ada yang jauh lari dari wujud (perkataan, pernyataan, janji, rencana strategis)? Terpenuhi kah janji kampanye, ada lebih banyak berita menyatakan gagal penuhi  janji A , beda perbuatan B bahkan ingkar tindakan C . Gimana masih percaya atau sudah tidak percaya? .... Media massa bahkan netizen tidak dapat selalu mengangkat tingkat kepercayaan. Seperti ungkapan bijak salah seorang presiden adidaya: 

"You can fool all the people some of the time, and some of the people all the time, but you cannot fool all the people all the time."

Kepercayaan sederhana awam entah itu dalam berteman, berjualan atau servis jasa apalagi dalam kepemimpinan politik. Menepati janji dan perkataan adalah sumber dasar kepercayaan. Ini seperti pesan sebuah tokoh dalam TED talks, Onora O' Neil tentang kepercayaan, bagaimana kepercayaan tidak dibangun atas dasar jajak pendapat atau pencitraan atau lagi kesopanan bertingkah laku. Kepercayaan seyogyanya dipahami secara sederhana dan mudah dicerna yakni bagaimana memberikan kepada wong cilik bukti yang cukup, berguna dan sederhana yang menunjukkan secara kuat bahwa seseorang dapat dipercaya.

******

Pasar Minggu, 26 Januari 2016

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun