Memeluk Batuba
Bebatuan, sungai, angin, pepohonan, matahari
Nyanyian perempuan lampung yang menenun tapis
juga jemari tua yang menganyam tikow
Memanggil-manggilku untuk datang padamu
Batuba
Engkau terlahir dari sejarah nan indah
Maafkan aku
Menujumu dengan apa adanya
Aku membawa berkeping luka
Ucapan kebencian yang  membekas di jiwa
Kebenaran-kebenaran yang terungkap
Namun tak kuasa melawannya
Puluhan rindu yang tak terbalaskan
meski tiada kilometer jarak diantaranya
Bayangan wajah-wajah bertopeng kepalsuan
yang berkali merayu demi kepentingannya
Begitu penuh beban dipundakku
Ingin kulepas satu-satu
Ingin kularung ke laut lepas dan terbebas
Meski semua terlihat bias
Aku bertahan tak menumpahkan air mata
Namun akan terjatuh juga di lantai kapal yang menua
Aku bertahan menganggap semua baik-baik saja
Namun aku manusia biasa
Mungkin aku harus mengakui
Aku perempuan yang kuat menahan derita
Mungkin aku juga harus mensyukuri
Namaku sudah terukir di Prasasti Batu Ruyud Kalimantan UtaraÂ
Hingga Prancis di benua Eropa
Dari tahun tahun yang tak mudah dilalui
Hingga menahun menjadi pasung
Berkalang dalam lumpur retorika
Gerbong-gerbong yang merasa punya kuasa
Wajah bermuka dua, empat dan seterusnya
Padahal sesama meraka saling tikung dan bersandiwara
Hei
Aku berhasil menyeberang
Menepi di lumbung kapalÂ
Merapatkan jemari di dada
Merasakan angin malam
Melihat lampu-lampu kapal yang mengirimkan terang
Semesta membawaku padamu disaat malam jelang pagi
Langkah kakiku terhenti di bebatuan yang indah
Merayakan cerita sejarah leluhur dari gedung ratu
Berabat lamanya kertas tua yang disimpan di LeidenÂ
ada di tanganku
Kucoba berdialektika dalam puisi peradaban
Aku perempuan yang mencintai pena dan kertas
Bukan perempuan penjilat dan malas
Ketika sejerahku ingin mereka tebas
Aku berteriak pada dunia yang lebih luas
Aku melihat perempuan-perempuan kuat
yang menganyam hidupnya dengan kebersahajaan dan ketekunan
Karya tikow nan indah dari kesabarab dan seni jemari tangan
Tentu yang kulihat bukanlah wajah perempuan penguasaÂ
yang bicara karismatis serta banyak petuah relijinya
Tetapi berteriak  membuang sampah amarah
didepan umum menghardik seorang cendikia
Relasi kuasa bagai pedang bermata dua
Maka bisa semena-mena merundung manusia karena ego kuasa semata
Sejatinya kuasa mampu memuliakannyaÂ
Jika melekat halus adab dan budi bahasanya
Serta pribadi bijaksana
Perempuan-perempuan kuat itu
Kuabadikan dalam puisi dan doaku
Pada rumah-rumah tua bertangga
Pada ukiran aksara lampung di desa tua
Pada jalan setapak menuju pagar dewa
Pada sujud jelang  ashar menuju senja di masjid terapung nan indah
Hingga aksaraNya menembus kepala dan tubuhku yang kian renta
di kaki, tangan, dada dan kepalaku
Sihir dan mantra jahat mereka telah pergi dan hanyut
Telah tersembuhkan semua luka
Menjadi terlahir kembali
Senyum terdalam pada diri, tuhan dan alam
Juga ruang dan waktu
Saat tersadar setiap tempat punya cerita dan kisah
Terbuka setelah  cerita terdalam dan misterinya terbacaÂ
Terasa betapa Allah sang Maha
Jika mereka membaca Tubaba dengan menikung sigerÂ
Agar  hinggap di kepalanya dan mempesona baginya
Maka biarkan aku mengalah memberi jalan
Menabung rona-rona kesabaran
Seperti cerita hidupku yang sudah-sudah
Banyak keajaiban di ujungnya
Meski liku-liku dan terhampar ujian juang
Namun
Memeluk  Batuba dalam diam dan dalamÂ
Ditutup ucapan doaÂ
serta  ucapan selamat malam pada semesta Batuba
yang menerimaku dengan tangan terbuka
Batu Bawang Barat, Â lampung 6 juli 2024