[caption caption="Masyarakat Baduy di Roda Zaman : Menyentuh Dunia Hening Tanpa Aksara"][/caption]
Kali ini perjalanan saya, bukan perjalanan biasa
Namun perjalanan yang luar biasa dan berharga
Perjalanan yang memperkuat sisi bathin saya
Perjalanan yang memperkuat kedamaian hati saya
Perjalanan tentang kesederhanaan,
keseimbangan dan pilihan hidup saya
Perjalanan yang sebahagiaan hanya bisa direkam
oleh lensa mata saya
namun akan terkenang dalam hati saya selamanya
Ini adalah kisah serta cerita-cerita yang tercecer dalam perjalanan saya, kelak tulisan ini akan jadi sejarah bagi keluarga kecil saya
buat ibu dan adik-adik saya, suami saya, anak-anak serta cucu saya, juga Buat almarhum Bapak yang sudah bahagia disana
Jika kisah Bapak adalah soal perjuangan nya memberdayakan masyarakat buta hurup di Nias, maka kisah saya adalah mempelajari masyarakat terasing di Daerah Banten
Tepat tanggal 15 November 2015, di hari minggu pagi, bertepatan jam 07.30 perjalanan saya menuju Baduy dalam akan dimulai..
Ujian untuk berangkat ke Baduy Dalam
Setelah makan pagi di rumah Bu Bidan Eros, saya menuju bus dan membawa sarapan karena kami harus kembali lagi jam 14.00 untuk pulang ke Jkaarta, dengan waktu terbatas akhirnya saya akan memulai perjalanan saya, Mungkin ini adalah perjalanan spirutual saya, karena saat saya masuk bus dengan bahagia, saya mendapatkan perkataan yang cukup pedas dari seorang teman kampus yang mengatakan " kamu yakin kamu kuat, Kamu akan merepotkan semua orang, nanti jika kamu seperti itu akan kami tinggal kamu disana, jika kamu ngobrol lama"sambil jarinya menunjuk-nunjuk ke arah saya. Dan sosok teman saya ini adalah laki-laki yang tak pernah ngobrol dan berinteraksi dengan saya sebelumnya. Sehingga saya cukup terkejut ketika dia seperti setengah mengancam dan seolah menyurutkan niat saya untuk pergi. Karena nait saya adalah untuk merampungkan mata kuliah penelitian kwalitatif dari kampus, dan sedang berada di kampung orang saya langsung sadar dan istigfar di hati"
Lalu saya berkata dengan tenang. Mudah-mudahan saya kuat. dulu pernah ikut pramuka, bismillah" kata saya membalas perkataannya yang menyakitkan itu. Saya langsung teringat, kaki saya sudah menapaki shofa dan marwah di makkah, sudah menapaki pedalaman aborigin di " Ayers Rock, Alice Springs, Australia" kaki saya akan mampu menemani saya melangkah ke desa baduy dalam, Cibeo.
Lalu saya makan sarapan nasi box serta berdoa dan berzikir selama perjalanan, saya sempat tertidur, meski hati saya sempat sedih dan kecewa, saya mantapkan hati saya, bersihkan dan ikhlaskan langkah saya Allah, saya sedang diuji untuk menuntut ilmu, dan engkau uji saya dengan hambamu yang merendahkan kekuatan fisik, jiwa dan raga saya sebagai perempuan. Namun engkau yang maha kuasa, yang memebri kekuatan dan kesabaran..
Langkah pertama, akhirnya bus tiba sekitar jam 10.00 wib di perbatasan desa kenekes, lalu saya mengganti rok dengan celana, membeli minuman air mineral disekitar warung yang ada disana, selembar uang 5000 an bertukar menjadi air mineral dingin yang akan mengawali perjalanan saya.
Lalu jalan setapak yang dilewati, menyeberangi sungai kecil, dan setelah itu cuaca cerah dan matahari yang cukup terik menemani perjalanan ini..
Saata saya berjalan kaki dalam perjalanan saya menemukan kayu panjang, lumayan sebagai tongkat pegangan untuk jalan yang menanjak ke atas, lalu saya berjalan terus, didepan saya ada Ziah, saya bilang, yuk pakai kayu ini aja, kita bagi 2. Ini juga kepanjangan"kata saya. Ziah teman saya mengiyakan, lalu kayu panjang terbelah dua, dan kamipun melangkah bersama. Tepat di atas rimbun pepohona, hamparan tanah coklat, birunya langit, serta rumah-rumah penduduk yang terdiri dari daun rumbia dan rotan menjadi latar belakang perjalanan kami bersama,
jepreet.. itulah photo pertama saya diatas bukit baduy, dan selanjutnya saya berjalan bersama Mursid anak dari Alim yang disebut " Ayah Mursid sebagai bagian dari masyarakat Baduy Dalam. Selanjutnye perjalanan saya cukup hening. Saya lebih banyak berdialog dengan hati saya.menikmati langkah kaki-kaki mungil saya yang hening, nafas saya mulai memburu. Saya harus mengatur nafas agar tidak terengah-engah untuk naik keatas
Inilah refleksi perjalanan spiritual dan intelektual yang saya dapatkan ketika berkunjung ke desa kenekes, Silurrahmi dengan masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar
Indonesia memiliki masyarakat yang memiliki keragaman suku, etnis, budaya dan golongan (masyarakat multikultur) dengan karakter yang berbeda-beda. Keberagaman suku tersebut tersebar di seluruh nusantara, salah satu suku tradisional yang berada di Provinsi Banten adalah suku Baduy. Suku Baduy tersebut mendiami kawasan Pegunungan Keundeng, tepatnya di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Masyarakat Baduy memiliki tanah adat kurang lebih sekitar 5.108 hektar yang terletak di Pegunungan Keundeng. Mereka hidup dengan sederhana dan bersahabat dengan alam. dan masih memegang teguh adat tradisi dari leluhurnya.
Kekhasan yang identik dengan masyarakat suku Baduy karena terbaginya mereka dalam dua kelompok yakni kelompok Baduy Luar atau Urang Panamping yang tinggal disebelah utara Kanekes. Mereka berjumlah sekitar 7 ribuan yang menempati 28 kampung dan 8 anak kampung. Sementara di bagian selatannya dihuni masyarakat Baduy Dalam atau Urang Tangtu. Diperkirakan mereka berjumlah 800an orang yang tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana. Kedua kelompok ini memang memiliki ciri yang beda. Bila Baduy Dalam memakai pakaian yang biasa dikenakan lebih didominasi warna putih-putih. Sedangkan, Baduy Luar lebih banyak mengenakan pakaian hitam dengan ikat kepala bercorak batik warna biru.
Masyarakat Baduy dalam tinggal di perkampungan dan hidup dari berhuma dengan cara bercocok tanam dan berladang. Sedangkan masyarkat Baduy luar memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-harinya dengan menenun dan menjual hasil kerajinan tenunnya seperti Koja dan Jarog(tas yang terbuat dari kulit kayu), tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung, golok, parang dan berburu.
Kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy memang sangat kental dengan hukum adat Bahkan dalam menjaga kelestarian alam dan hutan sebagai daerah yang nmereka tinggali ,aturan adat mengatur dan memerintahkan mereka untuk selalu memelihara dan menjaga keseimbangan alam, tidak mengubah apalagi merusaknya hanya mengambil secukupnya saja.
Masyarakat Baduy juga mengenal tata pemerintahan yang dipercayakan pada pimpinan yang mereka hormati. Masyarakat Baduy sangat taat pada pimpinan yang tertinggi yang disebut Puun. Puun ini bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan kehidupan masyarakat yang menganut ajaran Sunda Wiwitan peninggalan nenek moyangnya. Setiap kampung di Baduy Dalam dipimpin oleh seorang Puun, yang tidak boleh meninggalkan kampungnya. Pucuk pimpinan adat dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung Cikeusik, Puun Janteu di Kampung Cibeo dan Puun Kiteu di Cikartawana. Sedangkan wakilnya pimpinan adat ini disebut Jaro Tangtu yang berfungsi sebagai juru bicara dengan pemerintahan desa, pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Di Baduy Luar sendiri mengenal sistem pemerintahan kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah yang dibantu Jaro Tanggungan, Tanggungan dan Baris Kokolot.
Teori Modernisasi : Intervensi Pendidikan Formal
Modernisasi sejatinya sangat erat hubungannya dengan globalisasi atau mengglobalnya suatu budaya secara meluas tanpa terikat ruang dan waktu. Dampak modernisasi ini adalah pada semua masyarakat dibelahan dunia manapun, dampak terbesar dari globalisasi biasanya pada aspek sosial dan budaya. Di Indonesia yang masyarakatnya beragam modernisasi pasti sangat berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat di dalamnya, terutama pada masyarakat yang masih tradisional seperti masyarakat Baduy yang merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. Suku yang berada dalam keheningan tanpa hingar bingarnya alat eletronik seperti TV dan Radio, gelap dan pekat tanpa adanya penerangan listrik di malam hari.
Adapun Pengertian modernisasi dari beberapa tokoh:
a. Soerjono Soekanto modernisasi adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning.
b. Koentjaraningrat modernisasi adalah usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi dunia sekarang.
c. Wilbert E Moore mengemukakan modernisasi adalah suatu transformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial kearah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri Negara barat yang stabil.
Menurut Soerjono Soekanto dalam buku pengantar sosiologi menyebutkan syarat- syarat suatu modernisasi adalah sebagai berikut:
a. Cara berfikir yang ilmiah,
b. Sistem administrasi negara yang baik, yang benar- benar mewujudkan birokrasi,
c.Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur dan terpusat pada suatu lembaga atau badan tertentu,
d. Penciptaan iklim yang menyenangkan dari masyarakatterhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat komunikasi massa,
e.Tingkat organisasi yang tinggi, distu pihak berarti disiplin, sedangkan di lain pihak berarti pengurangan kemerdekaan.
Fenomena Modernisasi sebagai paradigma pembangunan memang tidak bisa ditolak oleh kebanyakan Negara berkembang, sebab paradigma yang muncul pasca revolusi industri di Inggris ini merupakan suatu perpanjangan dari proses imperialisme yang telah mendarah daging pada kehidupan masyarakat secara sosiologis. Jika melihat realitasnnya, modernisasi sebenarnya telah membawa suatu perubahan yang cukup signifikan terhadap aspek kehidupan yang dianggap “tradisional” dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah modern versi “Negara Barat”. Sehingga acapkali masyarakat salah persepsi mengenai kaidah-kaidah moderniasi dan westernisasi
Sehingga jika modernisasi masuk di dalamnya pasti perubahan dan penerimaan antara masyarakat satu dan masyarakat lainnya tentu berbeda. Selain itu masyarakat di Indonesia yang terdiri dari bersuku-suku bangsa juga memiliki tempat tinggal yang berbeda, ada yang tinggal di pedalaman hutan atau gunung sehingga sangat terpencil dan ada juga masyarakat yang dapat dengan mudah dijumpai.
Pengaruh modernisasi pada suatu masyarakat juga bias dipengruhi oleh kondisi geografis dan norma adat yang ada di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat yang terbuka dan bertempat di lokasi yang mudah dijangkau pasti masyarakat tersebut pasti mudah menerima, sedangkan di dalam masyarakat yang tinggal dipedalaman dan memiliki norma adat yang tertutup pasti sulit mendapat pengaruh modernisasi.
Dunia Literasi Masyarakat Baduy Dalam
Pendidikan Formal masih dilarang bagi warga Baduy dan hal tersebut merupakan harga mati karena tidak sesuai aturan adat masyarakat Baduy yang telah diamanatkan dari leluhur. Tentu hal tersebut dianggap menjadi faktor keterbelakangan bagi masyarakat baduy yang mau tak mau akan berada dalam persaingan dan kompetisi dalamm kehidupan.
Hingga saat ini masyarakat Baduy memang terus bertahan dengan budaya leluhurnya ditengah modernisasi zaman, bahkan dalam hal penggunaan barang elektronik, listrik dan peralatan berteknologi tidak digunakan oleh masyarakat Baduy dalam menunjang kehidupan mereka sehari-hari, bahkan tanah yang mereka diami juga dipergunakan secukupnya untuk menetap dan berladang.
Bahkan dalam bidang pendidikan masyarakat suku Baduy adalah satu-satunya kelompok masyarakat di negara Indonesia, bahkan mungkin dunia yang secara tegas melarang warganya untuk bersekolah secara formal dan menolak modernisasi di tanah wilayatnya yang di jelaskan oleh Penulis Asep Kurnia dan Dr.Ahmad Sihabudin, M.Si dalam Buku ” Saatnya Baduy Bicara (hal 177: 2010).
Dalam wawancara saya dengan pasangan muda masyarakat suku baduy luar yang bernama Pak Sardi dan Bu Anah mengatakan bahwa anak mereka yang berusia hampir empat tahun tidak akan mengenyam pendidikan di sekolah formal namun cukup dibawa berladang sewaktu kecil agar terbiasa dengan alam dan hutan. Cita-cita pasangan muda itu sederhana hanya ingin usaha kerajinan tenunnya berkembang dan memiliki pemasaran yang bagus hingga di luar daerah baduy dan kelak bisa memiliki rumah dan tanah sendiri dan tidak tinggal di rumah mertuanya lagi.
Menurut Jarosami (wakil adat) di baduy dalam (Cibeo) pendidikan bagi anak Baduy mengikuti orang tuanya, pendidikan berasal dari orang tua masing- masing untuk anak- anak usia sekitar 10 tahun kebawah misalnya dalam belajar berkebun diladang bagi yang laki- laki, dan bagi yang perempuan belajar memasak, bersih- bersih dan sebagainya. Untuk umur 10 tahun ke atas (dewasa) di Baduy dalam ada perkumpulan dimana maksud dari perkumpulan tersebut untuk memberikan pengarahan mengenai adat istiadat, perilaku hidup, dan tata cara bertani yang kegiatannya secara berkontinu atau berulang- ulang ini biasanya dilakukan oleh tetua di Baduy dalam misalnya Jaro.
Hal tersebut bisa dimaklumi karena penjelasan ayah mursyd bahwa aturan adat melarang warganya mengikuti sekolah formal dan melarang pendidikan formal dibuka ditanah ulayat mereka. Menurutnya hal ini sebenarnya didasari oleh berbagai pemikiran para leluhur mereka yang berpandangan jauh ke masa depan demi eksistensi dan keselamatan kesukuan mereka. Menurutnya tujuan yang paling utama di masa depan untuk menahan terlalu bebasnya masyarakat adat dalam mengadopsi gaya kehidupan modern dan berbondong-bondong mengejar kepuasan materi dan kemajuan hidup sehingga adat terlupakan.
Potensi konflik bisa terjadi antara masyarakat yang ingin menjaga kemurnian adat ditengah gempuran globalisasi dan struktur pemerintahan pusat yang lebih luas dalam bentuk penaataan daerah dan provinsi di Indonesia serta sejalan dengan kompetisi ASEAN Economic Community 2015 yang sudah digerbangnya. Sesuai dengan definisi konflik yang disampaikan oleh Louis Kriesberg dalam bukunya . Constructive Conflicts: From Escalation to Resolution, Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield dengan definisi konflik adalah “A social conflict exist when two or more persons or group manifest the belief that they have incompatible objectives”. Dengan pengertian konflik akan terjadi pada dua kepentingan yang berbeda. Hal tersebut tersirat dalam penjelasan Ayah Mursidyang mencoba menjelaskan lebih lanjut tentang perspektif pendidikan dalam pemikiran masyarakat Baduy dalam penjelasannya mengatakan bahwa manusia berilmu dan berpendidikan itu penting untuk bekal hidup manusia di dunia dan di akhirat supaya tidak tersasar, dan masyarakat Baduy harus dididik ilmu dasar agama, dasar wiwitan dan ilmu pengetahuan sebab dalam riwayat awal manusia diciptakan di buana panca tengah, manusia penuh dibekali berbagai amanah dan berkelangsungan hidupnya menjaga alam dengan sebagal isinya, dan tentunya bila manusia tidak dibekali dan tidak memiliki dasar ilmu tadi, maka jelas manusia tersebut tidak akan mampu untuk melaksanakan dan menunaikan amanah.
Alasan yang paling utama bagi masyarakat Baduy tentang larangan adat bersekolah adalah Pertama, masyarakat baduy kesehariannya penuh dengan kegiatan adat yang dilaksanakan, jadi jika masyarakat Baduy sekolah maka dipastikan banyak kegiatan adat yang tertunda. Kedua Tanah adat tidak boleh diubah menjadi bangunan sekolah yang permanen di tanah ulayat karena dipastikan bertentangan dengan hukum adat yang pokok, Ketiga, Masyarakat adat tidak boleh mengikuti banyak ajaran karena dikhawatirkan akan lupa pada dasar ajaran hukum wiwitan dan bisa terkena godaan tidak sejalan dengan adat yang menyebabkan kekisruhan. Keempat, masyarakat Baduy memegang amanah harus hidup sederhana supaya tetap sekeyakinan dan kebersamaan , karena jika Baduy diberi kebebasan untuk mencari ilmu pengetahuan dan kemajuan pasti akan terjadi persaingan hidup sedangkan kemajuan dan pengetahuan tidak ada batasnya, akhirnay masyarakat baduy terus berlomba dan lupa dengan wiwitan dan tujuan hidup yang sebenarnya.
Jadi benarlah adanya pepatah yang meraka pegang teguh yang terpampang di perbatasan desa menuju baduy dalam yakni “ Lojor teu menang dipotong, pondok teu meunang disambung “ artinya segala sesuatu yang ada dalam kehidupan, tidak boleh dikurangi maupun ditambah, harus tetap utuh.
Analisis Sosiologis Perubahan Sosial Budaya yang terjadi dalam kehidupan warga masyarakat Baduy
Kehidupan warga masyarakat Baduy yangtaat dengan adat danleluhur akan bertolak belakang dengan intervensi pendidikan formal yang ditawarkan, meskpun modernisasi akan menggiring perubahan hanya saja perubahan secara sosial dan budaya. Namun hal tersebut masih sulit diterima amsyarakat baduy
Namun jika adanya rekayasa dan intervensi pendidikan formal yang diberlakukan pada mereka maka bentuk intervensi pendidikan formal masyarkat Baduy adalah pembelajaran dalam bentuk sederhana seperti kemampuan untuk membaca, menulis dan berhitung yang diharapkan akan terjadi perubahan struktural dan sosial yang terjadi dalam kehidupan warga masyarakat baduy. Namun hal tersebut dikhawatirkan terjadi oleh masyarakat baduy karena akan menggoyahkan unsur aturan adat mereka dan pemuka adat berkewajiban mempertahankan unsur adat tersebut dan masyarakat Baduy harus patuh pada pimpinanannya dalam hal ini di sebut Puun bagi masyarakat Baduy dalam, tetapi hanya waktu yang bisa menjawabnya. Mungkin ketika masyarakat baduy sudah dewasa dan kritis. Maka Mari kita Rayakan Perbedaan Baduy Kembali
Unsur-unsur sosial yang ada akan menjadi faktor pedukung struktur sosial masyarakat Baduy jika pendidikan formal diberlakukan karena mempengaruhi struktur sosial dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern.
Interaksi sosial dengan warga masyarakat diluar akan tetap terjadi meskipun masyarakat Baduy sendiri terkadang masih takut mendapat hukuman dari pemuka adat atau takut ditimpa musibah ( bencana ), maka mereka akan tetap taat terhadap aturan adat. Ide perubahan yang di usung untuk mencerdaskan dan mesejahterakan masyarakat, Baduy adalah sesuatu yang ideal namun hal tersebut adalah teori besar yang masih sulit diimpelementasikan bagi masyarakat Baduy, namun kemampuan mereka untuk tetap bertahan memagang adat leluhur dan kearifan lokal menjaga lingkungan, alam dan hutan adalah sesuatu yang patut dibanggakan, Karena diseluruh negeri dan dunia masyarakat Baduy adalah masyarakat yang paling menjaga hutan dan lingkungan.
Dalam wawancara terakhir dengan ayah mursid mengatakan bahwa dia ingin kelak keterunannya akan tetap memegang adat leleuhur dan melanjutkan kepemimpinanannya yang sering dijadikan juru bicara untuk pemerintah dan masyarakat luar tentang adat istiadat yang harus tetap dipegang oleh keturunannya. Karena ayah mursyid juga masih keturunan Puun yang memegang adat istiadat. Namun kekhatirannya tetap ada akan kondisi modernisasi zaman yang membuat generasi muda Baduy terpengaruh dan meninggalkan adat leluhurnya.
Melirik Pendidikan Baduy masa kini, Menuju masa depan
Pendidikan formal adalah suatu idealitas yang masih jauh untuk diterima bagi masyarakat Baduy. Bahkan masih banyak persepsi yang muncul bahwa suku Baduy sangat sulit dibawa pada arah kehidupan yang berkualitas, beradab dan berbudaya dan lebih bermartabat ternyata memiliki tempat yang berbeda, karena fakta dilapangan yang dibutuhkan masyarkat Baduy adalah pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan meraka dan tidak bertentangan denngan adat. Tentu kesimpulan dasar adalah merancang model pendidikan yang sesuai untuk masyarakat Baduy. Karena dalam wawancara dan diskusi yang didampingi oleh Pak Imam Prasodjo dan Bu Ida Ruwaida Noor selaku Dosen mata kuliah Manajeman Konflik bersama ayah mursid dan rekan MMPS ada makna tersirat bahwa masyarakat baduy ingin diakui keberadaannya dan tidak terusik tanah ulayatnya serta hutan yang berada dalam tanah ulayat meraka dari kepentingan-kepentingan diluar kepentingan masyarakat Baduy.
Sedangkan modernitas dalam sektor intervensi pendidikan adalah sesuatu yang memiliki potensi konflik bagi masyarakat Baduy dalam yang tidak bisa menerima hal tersebut. Meskipun disisi lain arus pariwisata sejak tahun 1997 yang menjadikan Tanah Ulayat Suku Baduy yang terkenal akan keindahan ekologinya sebagai obyek wisata membawa pengaruh besar dalam perubahan tersebut. Interaksi yang sangat insentif antara wisatawan dan penduduk lokal secara kognitif mampu merubah pola pikir penduduk lokal yang polos dan masih tradisional. Tiap minggunya wisatawan datang untuk mengunjungi tanah ini dan juga menginap di rumah-rumah penduduk. Meski tanpa listrik dan harus berjalan kaki sejauh 10 km untuk sampai ke Baduy Dalam. Namun itulah satu pesona kekhasan suku tradisionla di Indonesia yang harus kita akui keberadaannya karena mereka adalah aktor utama yang turut melestarikan budaya leluhur berupa kearifan lokal dan menjaga hutan di bumi Banten sebagai bagian dari paru-paru dunia.
My lucky " teapot"serta keramahan masyarakat Baduy
saya bersama teman-teman dan Bu Ida, akhirnya dijamu oleh Ayah Saidi diatas, dia langsung menyajikan air minum dari botol besar berwarna coklat dan aneka cangkir yang terbuat dari kayu dengan ukiran sederhana" bertuliskan baduy" dengan warna coklat tua, namun sangat unik. Ketika saya tanya bolehkah saya membeli cangkir tersebut" lalu Ayah Saidi mengiayakan dan menghargainya sebesar Rp.20.000. Saya pun senang memilikinya. Saya bayangkan sampai di Jakarta akan minum kopi susu dari wajan tersebut.peralatan minum yang lain juga adalah sendok kayu berwarna hitam. Kami juga disuguhkan kelapa muda dan meminum airnya yang menyegarkan,
[caption caption="#Rayakan Perbedaan Baduy Kembali"]
Gambar 1 : Photo bersama Jaro warga masyarakat Baduy Dalam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H