Mohon tunggu...
Edrida Pulungan
Edrida Pulungan Mohon Tunggu... Analis Kebijakan - penulis, penikmat travelling dan public speaker

Penulis lifestyle, film, sastra, ekonomi kreatif Perempuan ,Pemuda, Lingkungan dan Hubungan Luar Negeri Pendiri Lentera Pustaka Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Masyarakat Baduy di Roda Zaman: Menyentuh Dunia Hening Tanpa Aksara

22 Maret 2016   20:02 Diperbarui: 23 Maret 2016   13:03 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan formal adalah suatu idealitas yang masih jauh untuk diterima bagi masyarakat Baduy. Bahkan masih banyak persepsi yang muncul bahwa suku Baduy sangat sulit dibawa pada arah kehidupan yang berkualitas, beradab dan berbudaya dan lebih bermartabat ternyata memiliki tempat yang berbeda, karena fakta dilapangan yang dibutuhkan masyarkat Baduy adalah pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan meraka dan tidak bertentangan denngan adat. Tentu kesimpulan dasar adalah merancang model pendidikan yang sesuai untuk masyarakat Baduy. Karena dalam wawancara dan diskusi yang didampingi oleh Pak Imam Prasodjo dan Bu Ida Ruwaida Noor selaku Dosen mata kuliah Manajeman Konflik bersama ayah mursid dan rekan MMPS ada makna tersirat bahwa masyarakat baduy ingin diakui keberadaannya dan tidak terusik tanah ulayatnya serta hutan yang berada dalam tanah ulayat meraka dari kepentingan-kepentingan diluar kepentingan masyarakat Baduy.

Sedangkan modernitas dalam sektor intervensi pendidikan adalah sesuatu yang memiliki potensi konflik bagi masyarakat Baduy dalam yang tidak bisa menerima hal tersebut. Meskipun disisi lain arus pariwisata sejak tahun 1997 yang menjadikan Tanah Ulayat Suku Baduy yang terkenal akan keindahan ekologinya sebagai obyek wisata membawa pengaruh besar dalam perubahan tersebut. Interaksi yang sangat insentif antara wisatawan dan penduduk lokal secara kognitif mampu merubah pola pikir penduduk lokal yang polos dan masih tradisional. Tiap minggunya wisatawan datang untuk mengunjungi tanah ini dan juga menginap di rumah-rumah penduduk. Meski tanpa listrik dan harus berjalan kaki sejauh 10 km untuk sampai ke Baduy Dalam. Namun itulah satu pesona kekhasan suku tradisionla di Indonesia yang harus kita akui keberadaannya karena mereka adalah aktor utama yang turut melestarikan budaya leluhur berupa kearifan lokal dan menjaga hutan di bumi Banten sebagai bagian dari paru-paru dunia.

 

My lucky " teapot"serta keramahan masyarakat Baduy

saya bersama teman-teman dan Bu Ida, akhirnya dijamu oleh Ayah Saidi diatas, dia langsung menyajikan air minum dari botol besar berwarna coklat dan aneka cangkir yang terbuat dari kayu dengan ukiran sederhana" bertuliskan baduy" dengan warna coklat tua, namun sangat unik. Ketika saya tanya bolehkah saya membeli cangkir tersebut" lalu Ayah Saidi mengiayakan dan menghargainya sebesar Rp.20.000. Saya pun senang memilikinya. Saya bayangkan sampai di Jakarta akan minum kopi susu dari wajan tersebut.peralatan minum yang lain juga adalah sendok kayu berwarna hitam. Kami juga disuguhkan kelapa muda dan meminum airnya yang menyegarkan,

 

[caption caption="#Rayakan Perbedaan Baduy Kembali"]

Gambar 1 : Photo bersama Jaro warga masyarakat Baduy Dalam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun