Mohon tunggu...
Edo Media
Edo Media Mohon Tunggu... Jurnalis -

Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Dualisme Parpol Tinjauan Dari Sisi Hukum

28 Maret 2015   08:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:53 1511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1427512474323677786

Belakangan kepengurusan ganda kembali menerpa partai politik. Elite partai saling menggelar muktamar atau musyawarah versi masing-masing kubu yang ujung-ujungnya merebut kursi kepengurusan, baik ketua umum maupun personalia partai. Yang terjadi kemudian, masing-masing muktamar atau musyawarah menyusun kepengurusan dan mengklaim susunan kepengurusan mereka yang paling sah.

Apalagi dalam UU Parpol ada ketentuan setiap partai politik harus mendaftarkan akta kepengurusannya kepada Kementrian Hukum dan HAM. Maka para elit yang sedang bertikai ini selain mencari keabsahan melalui gugatan pengadilan negeri dan PTUN, juga meminta pengakuan dari Menteri Hukum dan HAM.

Perpecahan di internal tubuh parpol bukan kali ini saja terjadi. Perpecahan partai politik terjadi sejak tahun 1955 ketika partai-partai Islam dan nasionalis terpecah menjadi dua kubu. Pada era Orde Baru semua partai dikonsolidasikan hingga hanya ada tiga partai politik, yakni Golkar, PPP, dan PDI. Namun, di penghujung Orde Baru, perpecahan partai kembali terjadi saat Partai Demokrasi Indonesia menggelar dua kali kongres. Kongres pertama di Bali yang memenangkan Megawati sebagai ketua umum dan kongres kedua atau tandingan digelar di Medan dan memenangkan Soerjadi sebagai ketua umum.

Pemerintahan Orde Baru saat itu hanya mengakui kepengurusan PDI versi Soerjadi. Namun sikap pemerintah yang lebih berat sebelah dan condong mendukung PDI versi Soerjadi mendapat perlawanan dari kader partai di level bawah. Akibatnya PDI saat itu carut-marut.

Dan di era pemerintahan Jokowi, perpecahan dan kepengurusan ganda partai politik kembali terjadi. Seperti mengulang sejarah, dua kubu saling menggelar muktamar atau musyawarah. Kali ini perpecahan dan kepengurusan ganda terjadi pada Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Masing-masing elite partai menggelar pemilihan ketua umumnya versi masing-masing. Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmusy menggelar muktamar di Surabaya. Muktamar yang melahirkan Romahurmusy sebagai ketua umum, diklaim paling sah dan mereka langsung mendaftarkan hasil muktamarnya ke Menkumham untuk mendapatkan legitimasi dari pemerintah.

Sementara Ketua Umum PPP Suryadarma Ali juga menggelar muktamar di Jakarta dan melahirkan Djan Faridz sebagai ketua umum. Mereka juga mengklaim kepengurusannya paling sah.

Nasib yang sama juga menerpa Partai Golkar. Di internal partai yang pernah berkuasa di era Orde Baru ini muncul dua kongres. Satu kongres digelar ketua umumnya Aburizal Bakrie di Bali dengan memenangkan Aburizal sebagai ketua umum. Sementara elite Golkar yang lain, yakni Wakil Ketua Umum Agung Laksono, Ketua DPP Priyo Budi Santoso dan Ketua DPP Agus Gumiwang Kartasasmita dan beberapa pengurus teras Partai Golkar menggelar Kongres versi mereka di Ancol Jakarta. Dan kongres itu juga melahirkan kepengurusan baru di bawah ketua umumnya Agung Laksono.

Akibat adanya dualisme kongres ini kemudian melahirkan kepengurusan ganda di tubuh partai tersebut. Masing-masing kubu mengklaim merekalah yang paling sah, paling sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai, dan paling legitimate. Lantas mana dari kepengurusan ganda ini yang paling sah.

Dalam artikel ini saya tidak bermaksud menelaah dari aspek politik namun saya akan membedahnya dari aspek tinjauan hukum. Karena aspek hukum lebih mengedepankan legitimasi yang sah.

Dalam tulisan ini saya akan mengkaji secara studi politik hukum karena studi politik hukum sebenarnya juga merupakan ranah studi ketatanegaraan, karena antara politik dan hukum tata negara tak dapat dipisahkan. Ibaratnya, politik itu dagingnya, sedangkan hukum tata negara itu tulangnya (kerangka).

Kecenderungan elite parpol membuat tandingan merupakan keniscayaan dalam politik. Sejatinya politik itu kekuasaan dan jabatan, meskipun kaum idealis selalu mengidealkan politik seperti cita-cita Plato dan para filsuf lainnya. Jika politik itu kekuasaan, maka elite politik cenderung merebut jabatan tertinggi dalam politik dan menyingkirkan lawan-lawannya.

Yang jadi masalah adalah, apakah cara-cara yang dilakukan beretika dan konstitusional atau tidak. Ada pandangan lainnya, fenomena tersebut akibat intervensi politik penguasa untuk memecah belah parpol oposisi, seperti yang dilakukan Soekarno maupun Soeharto.

Studi tentang itu cukup banyak. Oleh karenanya salah satu agenda awal dari Reformasi adalah perubahan paket UU politik, salah satunya UU Kepartaian. Prinsipnya, jika ketentuan/mekanismenya telah diatur dalam UU, maka intervensi kekuasaan dapat diminimalisir.

Sejak penghujung Orde lama hingga era reformasi, partai politik rentan terpecah. Elite pengurus membuat kongres atau muktamar versi masing-masing. Kemudian masing-masing mengklaim paling sah sesuai AD dan ART partai. Jika ditinjau dari aspek hukum untuk melihat mana yang legitimate atau sah dan mana yang tidak harus dikembalikan pada ketentuan UU Partai Politik dan AD/ART masing-masing.

UU Parpol telah detil mengatur tentang syarat pendirian, pembentukan, pembubaran, dan pengawasan terhadap partai politik, termasuk di dalamnya mengenai kepengurusan dan keuangan. Jika terjadi sengketa internal partai politik dilakukan melalui pengadilan negeri. Putusan pengadilan negeri adalah putusan pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi ke MA.

Perkara diselesaikan oleh PN paling lama 60 hari dan oleh MA paling lama 30 hari. Sepanjang tidak diatur oleh UU, tata cara penyelesaian perkara parpol dilakukan menurut hukum acara yang berlaku.

Terkait kepengurusan, partai politik memiliki kepengurusan tingkat nasional, provinsi dan kab/kota serta sampai tingkat desa/kelurahan. Prinsipnya, kepengurusan partai di tiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum musyawarah sesuai AD/ART partai. Dalam hal pergantian kepengurusan di tingkat nasional sesuai AD/ART, pengurus baru didaftarkan kepada Kementerian Hukum dan HAM paling lambat 30 hari (Pasal 23 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2011).

Kementerian Hukum HAM menerbitkan surat keputusan tentang pengurus yang sah paling lama 7 hari sejak diterimanya persyaratan (Pasal 23 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2011). Jika terdapat keberatan dari anggota atau pihak di internal partai dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Dan selama proses sengketa di pengadilan (gugatan PTUN), kepengurusan yang sah berdasar pada surat keputusan KemenkumHAM.

Apakah putusan pengadilan baik di tingkat pengadilan negeri hingga kasasi, PTUN atau pengesahan dari Menhukham sudah melegitimasi bahwa pengurus yang dimenangkan dalam putusan tersebut sah dan berhak menggunakan semua hak dan kewajiban parpol.

Sebagai negara hukum, ukuran yang sah dan legitimate adalah putusan hukum. Surat keputusan Menteri Hukum dan HAM, sebagai subyek TUN selama belum ada putusan pengadilan yang membatalkannya adalah sah dan legitimate. Memang ada upaya hukum lanjutan sampai kasasi, namun di mata pemerintahan dalam proses yang berjalan, putusan yang ada tetap berlaku.

Jika terjadi sengketa internal partai politik dilakukan melalui pengadilan negeri. Putusan pengadilan negeri adalah putusan pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi ke MA. Perkara diselesaikan oleh PN paling lama 60 hari dan oleh MA paling lama 30 hari. Sepanjang tidak diatur oleh UU, tata cara penyelesaian perkara parpol dilakukan menurut hukum acara yang berlaku.

Jika sudah ada putusan Menteri Hukum atau pengadilan, maka kepengurusan ganda sudah tidak ada lagi. Karena hanya ada satu yang sah untuk menggunakan lambang, kantor dan sarana prasarana partai termasuk melakukan kegiatan atas nama partai.

Lebih jelasnya saya kutip saja bunyi UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

Pasal 32
(1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART.
(2) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik.
(3) Susunan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik kepada Kementerian.
(4) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari.
(5) Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan.

Sedangkan bunyi Pasal 33 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33
(1) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri.
(2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
(3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung.

Putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hokum tetap (inkracht) jelas menjadi landasan hukum bagi parpol yang dimenangkan. Tapi selama proses hokum berjalan tentu keputusan pejabat berwenang yang ditunjuk UU (dalam hal ini MenhukHAM) tentu bias menjadi pegangan bagi pemerintah maupun masyarakat.

Seperti kita ketahui proses hukum bisa memakan waktu bertahun-tahun jika mencapai kasasi, sementara proses politik kenegaraan, agenda-agenda seperti Pilkada, hubungan parpol dengan pemerintahan harus tetap berjalan.

Perlukah dalam penyelesaian konflik parpol dilibatkan mediator independen untuk membantu mencarikan solusi atau mendamaikan kubu-kubu sebagaimana jaman Orde Baru hal ini ditangani Kantor Sospol. Ataukah ini justru menjadi preseden buruk intervensi pemerintah terhadap parpol namun justru persoalan tidak kunjung tuntas?

Dalam UU sebenarnya dimungkinkan jalan musyawarah jika terjadi sengketa kepengurusan parpol atau keberatan dari sekurang-kurangnya setengah peserta forum musyawarah partai. Namun apabila musyawarah tersebut gagal, maka mekanisme gugatan ke pengadilan menjadi pilihan yang dimungkinkan. Jika memakai mekanisme seperti masa Orde Baru, dengan intervensi Kantor Sospol, menurut hemat penulis, justru langkah mundur dalam upaya membangun demokrasi.

Karena visi reformasi politik adalah kemandirian politik dengan mengurangi intervensi pemerintah terhadap partai politik. Mendagri selaku bawahan Presiden bukan sebagai atasan partai politik, namun hanya bersifat pengawasan dengan rambu-rambu yang diatur UU.

Di mana pengawasan yang dimaksud hanya bersifat administratif maupun laporan keuangan saja, yang prinsip-prinsipnya telah diatur UU. Selain Mendagri, KPU dan Kementrian Hukum dan HAM juga melakukan pengawasan. Pemerintah tak berhak melakukan pengawasan atau intervensi terkait pelaksanaan fungsi dan hak partai politik, karena itu dijamin oleh UU bahkan UUD 1945. Kecuali suatu partai politik melanggar prinsip-prinsip Negara seperti Pancasila, NKRI, maupun UUD 1945, pemerintah dapat mengajukan pembubaran kepada Mahkamah Konstitusi. Jadi, keberadaan Kantor Sospol tidak diperlukan karena sudah ada peran pengadilan.

Fenomena lain dari perpecahan partai politik adalah kebingungan pengurus atau kader di bawah dalam menyikapi dan memastikan yang manakah dari kepengurusan ganda itu yang paling sahih atau sah dalam aspek tinjauan hukum.

Terkait sikap pengurus atau kader di bawah memang dilematis secara politik. Menurut saya, dalam proses sengketa yang masih dalam pemeriksaan pengadilan, wajar saja terjadi kubu-kubu-an, perpecahan di level provinsi maupun kabupaten. Misal pengurus di Wilayah Provinsi Jawa Barat berpihak pada pengurus pusat kubu A, sedangkan pengurus wilayah di Jawa Timur memihak pengurus pusat kubu B.

Namun, jika sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) semua pengurus wilayah ataupun kabupaten hendaknya menerima dengan legowo dan mendukung pengurus pusat yang telah disahkan pengadilan. Sebab, sifat partai politik berdasarkan UU itu bersifat nasional dan dalam kesatuan republik Indonesia, kecuali tentunya parpol lokal yang hanya berlaku di Aceh berdasar UU Nangroe Aceh Darussalam.

Sekedar dikutip Pasal 1 UU No 2 Tahun 2011 : “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun