Mohon tunggu...
Edo Media
Edo Media Mohon Tunggu... Jurnalis -

Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Survey Politik Vs Kerja Politik

19 Januari 2014   09:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:41 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jelang kompetisi pemilihan calon legislatif 2014, muncul opini seolah kekuatan dukungan suara partai politik sudah bisa dikalkulasi. Lembaga survey dengan menyakinkan berlomba-lomba menjustifikasi bahwa parpol A yang paling banyak meraih suara atau parpol A, B, dan C yang akan bertengger di urutan atas.

Publikasi hasil survey digunakan untuk menggiring opini masyarakat bahwa partai A, partai yang paling didukung masyarakat. Padahal lembaga survey hanya menginterview tak lebih dari 2000 responden.

Dibanding 186.612.255 pemilik suara yang secara resmi terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT) Komisi Pemilihan Umum, hasil survey sulit dikatakan mewakili situasi dan kondisi dukungan rakyat terhadap parpol dan caleg di lapangan.

Justru saat ini, berdasarkan pengalaman kami di lapangan, dukungan dan kemenangan caleg dan partai politik akan sangat ditentukan oleh kerja politik tim mesin politik di lapangan.

Sejauhmana kesiapan infrastruktur, penggalangan kader militan secara terstruktur, penyiapan dukungan logistik, pengkondisian suara dengan desain dan konsep yang jelas.

Ironisnya, justru banyak parpol besar yang diunggulkan lembaga survey, calegnya banyak yang masih "tidur" alias tidak bekerja maksimal. Banyak faktor yang melatarbelakangi. Namun yang utama, caleg tersebut memang tidak punya finansial yang memadai.

Sehingga caleg tersebut tidak punya kemampuan melakukan kerja politik. Dia hanya mengandalkan keberuntungan nasib. Karena biaya politik itu memang mahal, namun mereka beruntung karena namanya diajukan oleh partai politik.

Jika sebagian besar parpol diisi oleh caleg-caleg seperti ini, amat sulit parpol tersebut menembus rating papan atas dalam hal perolehan suara.

Untuk mengetahui peta partai politik dalam bertarung di pileg 2014, bukan monopoli lembaga survey untuk mengetahui mana yang kuat.

Namun kami mencoba menelusuri dan mengikuti kerja politik para tim sukses caleg dari sejumlah parpol yang memang punya modal dan serius memenangkan pemilihan legislatif 2014.

Fenomenanya luar biasa. Hampir sebagian besar caleg memiliki kemiripan strategi. Kalaupun beda hanya cara dan namanya saja.

Dan di beberapa daerah kami juga memantau. Justru lebih banyak caleg yang "tidur" alias tidak melakukan kerja politik serius dan maksimal dan hanya bermodal formalitas kampanye konvensional saja: memasang spanduk dan baleho. Dan kadang-kadang secara formalitas turun menemui warga.

Namun kerja mereka tidak terstruktur dan hanya sebagai syarat formalitas belaka. Jumlahnya lebih banyak dari caleg serius. Bisa dimaklumi mungkin mereka tidak bekerja maksimal karena terbentur oleh keterbatasan anggaran pribadi mereka.

Fenomena lain yang kami temukan adalah strategi kampanye. Hampir sebagian besar caleg mengurangi penggunaan media massa, baik cetak dan elektronik untuk memenangkan pileg karena dirasa mahal. Dan sepertinya para caleg lebih suka mengalokasikan dana untuk "membeli" suara ketimbang menggunakannya untuk pencitraan di media massa.

Yang mengejutkan para caleg yang serius justru sedang menyiapkan tim sukses yang terstruktur hingga ke bawah. Mereka menyiapkan Posko pemenangan dari pusat hingga tingkat desa, diluar struktur mesin politik parpol. Istilahnya relawan.

Struktur mesin politik ini terdiri atas Koordinator Kecamatan (Korcam). Satu korcam bertanggungjawab maksimal 2 desa saja. Kemudian Koordinator desa (Kordes) yang membawahi 10 RT.

Dimana struktur relawannya adalah harus warga pemilik suara, punya KTP di Dapil si caleg, dan lokasi tempat tinggal mewakili kecamatan, desa hingga tingkat RT.

Jika satu wilayah Dapil Kabupaten ada 3 kecamatan maka akan ada 3 korcam yang diisi 5-10 mesin politik. Mereka akan bekerja membawahi 3 desa kali 10 mesin politik menjadi 30 desa. Jadi Mesin politik Korcam membina 30 kader desa.

Nah nanti untuk koordinator desa bergeraknya sudah jaringan lain lagi. Artinya, kadernya akan diambilkan bukan kader dari korcam. Hal ini dilakukan agar jumlah kader merata dan meluas sesuai target suara yang akan diincar.

Demikian pula untuk pembentukan Koordinator RT. Antar kader dan pengurus harus berbeda jaringan binaannya. Kemudian Koordinator RT (Korte) wajib merekrut minimal 10 KK atau keluarga yang minimal memiliki 2 sd 3 suara.

Kerja politik ini tidak asal-asalan dan hanya mengklaim sesuatu yang tidak pasti. Semua kader yang akan jadi pemilih akan diberikan Kartu Tanda Anggota Relawan dan Surat Pernyataan Mendukung Caleg A diatas kertas bermaterai

Semua pembentukan kader dibawah dengan prasyarat: memiliki kartu hak suara atau undangan DPT dari KPU. Mewakili kepala keluarga atau ibu rumah tangga. Maka dia baru bisa dimasukkan dalam jaringan kader.

Kader terdiri atas tiga tingkatan: pertama kader "marketing" atau penggalang massa. Kedua, kader pengawas jika ada yang berkhianat. Dan ketiga, kader untuk saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang mengawal suara. Konon bahkan diantara caleg sudah "merekrut" beberapa panitia pemungutan suara.

Di Posko utama telah disiapkan infrastuktur. Mulai dari data dan peta jumlah pemilih per kecamatan, software penghitungan suara, software SMS berantai untuk komunikasi antar kader binaan.

Posko di pusat dan daerah juga digunakan pertemuan dan konsolidasi untuk merapatkan barisan jelang pileg April 2014.

Yang menjadi pertanyaan di benak pembaca: bagaimana mungkin ratusan orang ini bisa loyal kepada si caleg tersebut?

Jawabannya cuma satu : Karena Uang dan Sistem Kerja Politik Terstruktur!!! Disinilah demokrasi kita menjadi barang mahal. Oleh sebab itu bisa jadi kemenangan parpol nanti juga ditentukan oleh kemampuan modal para calegnya.

Bisa dibayangkan jika gaji Korcam saja mencapai 3 juta per bulan x 3 bulan dia bekerja maka akan muncul angka Rp 9 juta per korcam. Jika jumlah kecamatan yang harus dikuasai 4 kecamatan saja. Satu kecamatan dia rekrut 4 kader korcam maka akan ada 16 kader korcam. Dikali Rp 9 juta maka biaya gaji korcam saja sudah mencapai Rp 144 juta.

Untuk Kordes gaji 1 sd 1,5 juta. Dan Koordinator RT 500 ribu. Belum lagi kader KK atau keluarga pemilih yang setiap KK mendapatkan honor/gaji Rp 100 ribu. Jika suaranya mencapai angka tertentu dia masih akan mendapatkan bonus tambahan.

Kalo bicara Dapil dengan wilayah hanya kecamatan. Itu berarti baru pemilihan DPRD Tingkat II. Belum jika DPR-RI. Satu Kabupaten ada 20 sd 30 kecamatan. Satu Dapil 3 Kabupaten/Kota. Berarti beban biaya lebih besar lagi karena harus mengkondisikan jumlah kader korcam, kordes hingga korte lebih banyak.

Namun secara riil saya menemukan fenomena beberapa caleg menggunakan metode ini. Berarti bisa dibayangkan berapa miliar dia akan menyiapkan anggaran pemenangan. Kesimpulannya: Biaya politik itu mahal.

Lantas bagaimana agar strategi ini tidak dituduh sebagai money politik atau politik uang???

Untuk mensiasati tudingan money politik mereka menggunakan metode dan strategi: benar-benar mengikat dan merekrut kader dibawah dengan gaji atau honor sebagai kader.

Jadi bukan lagi dengan cara bagi-bagi duit atau sumbangan ke masyarakat tanpa ikatan yang jelas. Itu cara sudah basi dan tidak akan berhasil.Karena pasti warga akan menerima uang nya namun belum tentu memilih si caleg tersebut.

Untuk masyarakat yang punya hak pilih atau KK maka akan direkrut sebagai kader dengan honor Rp 100 ribu per kader. Bayangkan jika si caleg itu butuh 50 ribu suara untuk memenangkan satu kursi DPR-RI.

Karena berdasarkan perhitungan saya di salah satu dapil, cukup meraih 50 ribu maka sudah cukup untuk mendapatkan satu kursi DPR-RI. Maka dia harus menyiapkan honor kader minimal Rp 5 miliar!
Biaya politik itu mahal!!

Bagi caleg tanpa modal siap-siap saja menjadi penonton. Dan bagi parpol yang tidak punya ujung tombak caleg yang punya kerja politik optimal dan modal politik yang kuat, jangan pernah berharap akan meraih suara yang signifikan.

Berbahagialah para caleg DPR-RI yang caleg DPRD tingkat II nya punya anggaran kuat, infrastruktur dan modal politik yang benar-benar bisa jadi mesin politik. Karena mereka memang bekerja keras, terstruktur dan punya dana untuk bertarung. Karena caleg DPRD II adalah ujung tombak pemenangan.

Dan janganlah berharap banyak pada parpol yang calegnya "tidur" karena kekurangan gizi. Lebih bekerja keras lagi merayu rakyat dari rumah ke rumah.

Analisis saya ini mendasarkan fakta di lapangan dan hanya berlaku untuk membaca peta persiapan dan kekuatan caleg yang akan berlaga di Pileg 2014. Analisis ini situasinya nanti berbeda sekali dengan peta Pilpres 2014 .....

Oleh karena itu pertanyaan kita kenapa partai berpengalaman itu yang senantiasa memenangkan pertarungan. Mudah-mudahan sedikit bisa terjawab...

Karawang, 7 Januari 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun