Sebenarnya, bagi koruptor di Indonesia, hukuman mati juga telah diatur. Itu termuat dalam Pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hukuman mati bagi koruptor dapat dilakukan dalam “keadaan tertentu”. Keadaan tertentu itu misalnya; “apabila korupsi dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter”.
Koruptor yang tidak dijatuhi hukuman mati-pun dapat memberikan tenaganya. Mengerjakan pembangunan proyek-proyek infrastruktur negara. Tidak santai begitu saja dalam penjara. Tidak membebani negara dalam alokasi anggaran konsumsi secara gratisan. Koruptor-pun menjadi produktif. Negara semakin efisien.
Jika di Korea Selatan, di Tiongkok, dan di Jepang, pejabat yang terindikasi dan terlibat korupsi langsung mengundurkan diri atau bunuh diri karena tidak kuasa tahan malu, yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Mereka yang telah selesai menjalankan masa tahanan dapat mencalonkan diri lagi. Dapat kembali ikut berpartisipasi dalam politik elektoral. Karena politik elektoral, mereka tidak segan mengatakan mewakili kepentingan rakyat. Melihat hal ini, sudah sepatutnya untuk dipertimbangkan, karena korupsi bagian dari extraordinary crime, sepatutnya hak politik pelaku korupsi juga harus dicabut.
Dengan hukuman untuk praktik korupsi semacam itu, baik hukuman mati bagi jenis korupsi berat (seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU 31 No 31 Tahun 1999), maupun yang tidak diberikan hukuman mati namun harus memberikan tenaganya untuk mengerjakan proyek negara, ditambah mencabut hak politik pelaku korupsi untuk tidak boleh dipilih dalam jabatan-jabatan publik, dengan komitmen negara memerangi korupsi dan penegakan hukum yang tegas, dipastikan, efek jera bagi pelaku korupsi akan muncul.
Ini karena setiap orang tidak akan mau berada pada kondisi pesakitan. Harus kehilangan kemerdekaan, tidak memiliki hak dipilih, dan harus kehilangan nyawa, adalah situasi di mana setiap orang akan berada pada kondisi “ketakutan”. Sesuatu yang selalu ingin dihindari.
Tindakan antisipasi, atau upaya preventif sekiranya juga perlu dilakukan. Karena praktik korupsi biasa dilakukan di tempat gelap, maka segala transaksi terkait kekayaan negara harus diarahkan ke tempat terang. Sistem transparansi harus dibuat. Ini memudahkan kontrol atas segala transaksi. Segalanya bisa dipantau. Dengan begitu, orang akan berfikir berkali-kali jika ingin korupsi. Mereka yang ingin korupsi seperti berada di dalam rumah kaca. Setiap gerak-geriknya termonitor. Dan jika nekad akan ketahuan. Hukum lalu ditegakkan.
Memang, harus diakui, tidak ada satu negara di dunia yang benar-benar bebas dari korupsi. Namun, bukan berarti negara tinggal diam dan tidak melakukan apa-apa. Karena korupsi merugikan negara, bahkan membuat negara tidak produktif, hukuman berat sudah harus diterapkan.
Sayangnya, itu tidak dilakukan. Koruptor di negeri ini biasanya dihukum ringan. Hanya beberapa tahun saja. Dengan denda yang nilainya tidak sepadan dengan jumlah uang yang dicuri dari negara. Mereka juga masih bisa mengisi jabatan publik, masih bisa mencalonkan diri kembali menjadi wakil rakyat.
Sebuah pemandangan yang memukul akal sehat, yang menggiring rasionalitas ke sudut kemurungan. Sesuatu yang tidak boleh dilanjutkan ketika negara ini ingin bermartabat, dan maju sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Hukuman berat sudah harus menjemput pelaku korupsi dipersimpangan perubahan besar. Hanya dengan demikian, kita memiliki harapan besar terhadap kebangkitan Indonesia.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H