Hal serupa juga terjadi di Tiongkok. Wang Yunqing, pejabat kantor pemerintah Provinsi Hubei, pun melakukan bunuh diri. Itu juga karena kasus korupsi. Pada pesan kematiannya, ia menulis, "saya sangat depresi, tidak tertahankan lagi, saya pergi duluan."
Di Tiongkok, banyak pejabat yang korupsi, baik kecil atau besar, yang berisiko diselidiki. Mereka membaca kasus di kota pagi hari, sorenya pejabat itu sudah ditahan. Tentu itu menakutkan. Mereka yang ditahan tidak tahu apakah bisa melihat hari esok atau tidak. Semua terasa gelap. Rasa bersalah dapat memicu mereka bunuh diri.
Selain Korea Selatan dan Tiongkok, Jepang juga tidak boleh luput dari sorotan. Itu bisa dilihat dari kasus yang melibatkan seorang Menteri Ekonomi Jepang, Akira Amari. Kasusnya terkait suap, melibatkan perusahaan konstruksi. Kasus ini menyeret Amari dan stafnya. Dituduh menerima sedikitnya 12 juta yen (atau sekitar Rp 1,5 miliar).
Sekalipun telah membantah dirinya ikut terlibat, ia tidak menyangkal stafnya terlibat menerima uang. Ia lalu meminta maaf. Telah merusak kepercayaan terhadap pemerintah. Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, telah meminta agar Amari tetap pada posisinya. Namun, ia tetap bersikukuh pada keputusannya. Dengan mempertimbangkan tanggung-jawab, sebagai anggota kabinet dan harga diri sebagai politisi, keputusan-pun diambil. Ia memilih mundur dari jabatannya.
Tentu saja, banyak negara yang watak pejabatnya seperti itu. Namun, tidak mungkin diulas satu persatu. Yang ingin disampaikan di sini, sayangnya pemandangan semacam itu tidak dilihat di negeri kita. Mungkin karena lain ladang lain ilalang. Lain negara lain watak pejabatnya. Tetapi apa iya?
Untuk Indonesia, rasa malu kasus korupsi pejabat sepertinya tidak kita temukan. Hampir tiap hari kita diberi kabar adanya penangkapan kasus korupsi. Bahkan pernah penangkapan tidak hanya dilakukan pada satu atau dua orang, penangkapan “serombongan koruptor”-pun juga pernah. Misalnya, kasus yang pernah terjadi di Kota Malang. Sebanyak 41 dari total 45 anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019 ditetapkan terlibat kasus korupsi.
Mereka menerima fee. Berkisar Rp 12,5 juta hingga Rp 50 juta dari Moch Anton, Wali Kota Malang, terkait pelaksanaan fungsi dan wewenang mereka sebagai anggota DPRD. Uang suap diterima agar penetapan Rancangan Peraturan Daerah Kota Malang tentang APBD-P tahun Anggaran 2015 disetujui.
Sewaktu penangkapan, wajah yang ditunjukkan seperti tanpa penyesalan. Bukan malu, tetapi senyum dengan mengangkat jari tangan. Namun, apa-pun ekspresi yang ditunjukkan, kita dapat katakan, serombongan koruptor yang ditangkap itu sudah berada di luar akal sehat. Itu-pun bagi mereka yang mau berfikir. Kasus itu seperti berada di luar jangkauan patokan normalitas. Mengisyaratkan bahwa situasi politik di Indonesia sudah abnormal.
Karena korupsi sudah melembaga dan menghabitat, yang seperti menjadi normal di atas bangunan abnormalitas, melawannya kita harus menggunakan cara-cara yang juga abnormal. Alasan perilaku korupsi harus dihukum berat bisa dilihat dari dampak yang ditimbulkannya.
Korupsi menjadikan roda negara tidak bekerja efektif. Korupsi juga membuat bangsa tidak produktif. Alokasi anggaran rakyat miskin tidak berjalan lancar. Memperlebar kesenjangan kaya dan miskin. Timbul ketidak-adilan. Pembangunan infrastruktur terganggu. Negara jadi tertinggal dari negara lain.
Intinya, tujuan didirikan negara semakin menjauh. Masa depan bangsa menjadi suram. Akhirnya, timbul pembangkangan sosial, tindak kejahatan yang merajalela, lahir pelacuran, sikap tidak puas daerah terhadap pusat, lalu muncul gerakan disintegrasi, dan lain-lain. Jika melihat dampak korupsi semacam itu, yang membahayakan masa depan bangsa, tidak perlu lagi kita ragu, korupsi patut diletakkan sebagai praktik kejahatan extraordinary.