Ketika banyak yang pesimis dalam pemberantasan korupsi, karena toh praktik korupsi masih saja terjadi, sekali-pun banyak pelakunya ditangkap, di tengah pesimisme itu, kita jadi bertanya, mungkinkah ada cara efektif agar korupsi benar-benar dapat diatasi?
Karena masalah korupsi sudah melembaga dan menghabitat, kita tidak bisa memberi jawaban gampang-gampangan. Apalagi asal-asalan. Setiap orang bisa memberi pandangannya. Setiap orang bisa memberi usul bagaimana baiknya praktik korupsi diberantas. Tetapi, Dari Mahatma Gandhi, mungkin kita dapat belajar dan menggali inspirasi, bagaimana baiknya korupsi kita hadapi.
Gandhi pernah berkata; “jarang orang menjadi baik hanya demi kebajikan itu sendiri. Mereka menjadi baik karena keadaan mengharuskan”.
Dari pernyataan itu kita dapat menangkap, ada “keadaan yang mengharuskan” yang menjadikan orang menjadi bajik. “Keadaan yang mengharuskan” di sini dapat diartikan sebagai cipta kondisi. Artinya, kebajikan terkadang bukan sesuatu yang hadir begitu saja. Ia hasil pengkondisian. Sebuah kondisi yang diciptakan. Hingga menjadi suatu “keharusan” untuk dipatuhi.
Pertanyaan selanjutnya, sebab apa yang membuat orang menjadi “harus” melakukan kebajikan? Atau terkait dengan korupsi, pertanyaan dapat disusun; “sebab apa” yang menjadi dasar untuk mengkondisikan orang agar menjadi bajik dan tidak korupsi? Jawaban yang dapat diberikan adalah “ketakutan”. Korupsi harus dicegah dengan membuat orang harus berfikir berkali-kali jika ia ingin korupsi. Itu berarti orang harus dibuat takut.
“Ketakutan” selalu terkait dengan “ancaman”. Titik tolak ini berdasar pada asumsi bahwa setiap manusia selalu ingin “aman” dan “selamat”. Aman dan selamat merupakan kondisi yang selalu ingin didekati manusia. Sedangkan segala yang membahayakan keamanan dan keselamatan selalu ingin dijauhi. Dengan kondisi aman dan selamat, segala kenikmatan memungkinkan terbuka diraih. Dan itu juga bagian motivasi terdasar manusia untuk hidup.
Agar orang tidak korupsi, cipta kondisi harus dibuat. Bukan mendekatkan mereka pada keadaan aman dan selamat, tapi mendekatkan mereka pada situasi yang membahayakan. Situasi yang membuat mereka merasa terancam keselamatannya jika korupsi nekad dilakukan. Maka yang jadi soal kemudian, bagaimana negara mengkonstruksi hukuman bagi pelaku korupsi.
Ancaman hukuman harus memunculkan ketakutan. Harus dapat memunculkan gambaran, jika hukuman itu menimpa mereka, bisa habis masa depannya. Ancaman hukuman semacam ini sangat diperlukan bagi negara yang dikendalikan elit-elit bebal, yang sekalipun telah dikutuk, tidak malu melakukan korupsi.
Wajah Koruptor di Beberapa Negara
Bagi negara berperadaban tinggi, yang menjunjung tinggi soal etika, elit negaranya biasanya memiliki rasa malu yang tinggi. Jika terdapat skandal menimpanya, untuk menutup rasa malu, mereka tidak segan-segan mengundurkan diri, bahkan juga bunuh diri. Pemandangan semacam itu nyata bisa disaksikan. Bukan suatu omong kosong.
Misalnya, kasus yang pernah menimpa Mantan Presiden Korea Selatan, Roh Moo-Hyun, yang dililit kasus korupsi. Ia memilih mengakhiri hidup dengan melompat dari tebing di belakang rumahnya. Memang, di Korea Selatan, aksi bunuh diri di kalangan pejabat pemerintahan bukan peristiwa luar biasa. Bagi mereka, daripada menanggung malu, lebih baik mati. Begitu prinsip yang dianut.