Mohon tunggu...
edisoktalinda
edisoktalinda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Manakah Model Kebijakan Publik yang Paling Baik? Indonesia Paling Cocok Menggunakan Model Apa?

31 Desember 2024   05:56 Diperbarui: 31 Desember 2024   05:56 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: https://www.dreamstime.com/illustration/public-policy.html)

Dalam dunia kebijakan publik, ada banyak model yang digunakan untuk memahami dan membimbing proses pembuatan kebijakan. Masing-masing model memiliki karakteristik, keunggulan, dan keterbatasan yang unik. Namun, pertanyaannya adalah, manakah model kebijakan publik yang paling baik? Dan model apa yang paling cocok diterapkan di Indonesia? Yuk, kita telusuri beberapa model utama dan relevansinya bagi Indonesia.

1. Model Institusional

Model ini berfokus pada peran lembaga formal dalam pembuatan kebijakan. Hubungan Kebijakan Publik dengan institusi pemerintah sangat dekat. Suatu kebijakan tidak akan menjadi Kebijakan Publik kecuali jika diformulasi, implementasi, dan didorong oleh lembaga pemerintah. Menurut Thomas Dye, lembaga pemerintahan memberikan tiga ciri utama Kebijakan Publik : 1) Legitimasi, 2) Universalitas & 3) Paksaan. Kebijakan Publik sendiri adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah: Legislatif, Eksekutif, Yudikatif, Pemerintah Daerah, dan sebagainya. Kebijakan dianggap sah jika berasal dari institusi yang memiliki kewenangan hukum. Di Indonesia, model ini tampak jelas dalam pengambilan keputusan oleh lembaga seperti presiden, DPR, kementerian, atau pemerintah daerah. Namun, model ini sering terhambat oleh birokrasi yang lambat dan kurangnya fleksibilitas dalam merespons perubahan cepat di masyarakat.

2. Model Elit-Massa

Model ini mengasumsikan bahwa kebijakan dibuat oleh elit yang memegang kekuasaan, sementara massa hanya mengikuti atau menerima kebijakan tersebut. Pada model ini, masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk memengaruhi agenda kebijakan, sementara birokrat hanya berperan sebagai mediator informasi dari atas ke bawah. Elit politik cenderung mempertahankan status quo, sehingga kebijakan yang dihasilkan bersifat konservatif, incremental, dan berbasis trial & error.

Dalam konteks Indonesia, model ini sering terlihat dalam kebijakan yang diputuskan oleh kelompok tertentu tanpa keterlibatan masyarakat luas. Walaupun efektif untuk pengambilan keputusan cepat, model ini cenderung mengabaikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, sehingga berisiko menimbulkan ketidakpuasan publik.

3. Model Inkremental

Model ini menekankan perubahan kecil dari kebijakan yang sudah ada. Model pembuatan kebijakan publik ini didasarkan pada membandingkan keberhasilan secara terbatas dari keputusan masa lalu. Pendekatan ini mengurangi risiko karena fokus pada penyempurnaan kebijakan sebelumnya. Di Indonesia, model ini relevan untuk isu yang membutuhkan stabilitas, seperti reformasi administrasi atau pendidikan. Namun, model ini kurang efektif untuk masalah yang membutuhkan transformasi besar dan mendasar.

4. Model Group/Kelompok

Model kelompok berkebalikan dengan model elitis, dimana tidak ada kelompok tunggal yang mendominasi pembuatan kebijakan publik sehingga merefleksikan negosiasi dan kompromiyang dicapai sebagai hasil kompetisi kelompok-kelompok. Model ini menyoroti interaksi antara kelompok-kelompok kepentingan dalam memengaruhi kebijakan publik. Indonesia, dengan keberagaman kelompok kepentingannya, sangat cocok untuk model ini. Namun, model ini berisiko jika kelompok yang lebih berkuasa mendominasi proses, mengabaikan kelompok yang lebih lemah.

5. Model Sistem

Model ini melihat kebijakan sebagai hasil dari sistem yang mencakup input, proses, output, dan umpan balik. Pendekatan ini relevan di Indonesia untuk kebijakan yang kompleks, seperti pembangunan infrastruktur atau perencanaan kota. Kelemahannya adalah kebutuhan akan data yang lengkap dan proses koordinasi yang sering kali sulit di negara dengan birokrasi yang besar seperti Indonesia.

6. Model Rasional

Model ini mengandalkan logika dan analisis manfaat-biaya untuk mencari solusi terbaik. Model ini menjelaskan bahwa pembuatan kebijakan publik didasarkan pada pilihan-pilihan alternatif rasional yang paling efisien (lebih besar manfaatnya dibandingkan biayanya) dalam pencapaian tujuan kebijakan.

Untuk memilih kebijakan rasional, pembuat kebijakan harus : 1) mengetahui semua keinginan masyarakat & bobotnya, 2) mengetahui semua alternatif yang tersedia, 3) mengetahui semua konsekuensi alternatif, 4) menghitung rasio pencapaian nilai sosial pada setiap alternatif, 5) memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.

Pada dasarnya, nilai dan kecenderungan masyarakat yang sulit terdeteksi menyulitkan pembuat kebijakan menentukan arah kebijakan yang akan dibuat.

Meskipun ideal secara teori, model ini sulit diterapkan di Indonesia karena keterbatasan data, sumber daya, dan tantangan politik yang sering kali tidak rasional.

7. Model Proses

Model ini membagi kebijakan menjadi tahapan, seperti agenda setting, formulasi, implementasi, dan evaluasi. Model ini cocok untuk memetakan alur kebijakan di Indonesia. Namun, keberhasilannya tergantung pada konsistensi di setiap tahap, yang sering menjadi tantangan di sistem pemerintahan Indonesia.

8. Model Pilihan Publik

Model ini memandang kebijakan sebagai hasil dari keputusan individu yang ingin memaksimalkan manfaat dalam konteks kolektif. Di Indonesia, model ini relevan dalam kebijakan yang melibatkan layanan publik, seperti subsidi energi. Namun, penerapannya sering terkendala oleh kurangnya literasi kebijakan dan partisipasi masyarakat.

Kesimpulan: Model Apa yang Paling Cocok untuk Indonesia?

Tidak ada model tunggal yang paling baik, setiap model memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Namun, jika dilihat dari karakteristik negara Indonesia, model Group/Kelompok dan Sistem adalah yang paling relevan. Model Group/Kelompok mencerminkan pluralitas masyarakat Indonesia dan mendorong partisipasi berbagai pemangku kepentingan. Sementara itu, model Sistem membantu menangani kompleksitas kebijakan dengan mempertimbangkan umpan balik dan integrasi lintas sektor.

Penerapan yang ideal adalah kombinasi dari berbagai model, tidak bisa hanya menggunakan satu model saja. Indonesia membutuhkan pendekatan yang adaptif, memanfaatkan keunggulan setiap model untuk menyelesaikan masalah publik dengan efektif dan inklusif. Dengan begitu, kebijakan publik dapat benar-benar menjadi alat yang mendukung kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun