Mohon tunggu...
Edi S. Mulyanta
Edi S. Mulyanta Mohon Tunggu... Penulis - Ebukune Digital Publisher

Mari berbagi pengetahuan, untuk memacu tetap membaca, menulis, dan bertukar pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Industri Penerbitan Buku Cetak di Ujung Masa

17 November 2021   16:13 Diperbarui: 17 November 2021   16:23 1246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Setelah runtuhnya kerajaan bisnis koran-koran di dunia akibat perkembangan teknologi informasi yang begitu beringas melibas siapa saja yang menghalanginya, banyak pendapat bahwa hal ini juga akan berimbas pula pada semua industri turunan dari percetakan termasuk industri Penerbitan Buku. 

Tidak dipungkiri, perkembangan teknologi informasi dan hardware gadget yang cukup pesat, menjadikan industri turunan percetakan was-was akan masa depannya. Hal ini apabila tidak disadari dan diantisipasi pemilik modal yang berkecimpung di media ini, bencana seperti industri koran tidak akan pelak lagi terkena dengan lebih menyakitkan.

Inovasi dan perbaikan sistem perbukuan dan industrinya seharusnya sudah dipikirkan untuk mitigasi perkembangan teknologi yang sangat kejam terhadap Status Quo. Diam akan terlindas jaman, berlari adalah strategi yang mau tidak mau harus dilakukan. Sistem penjualan buku, yang tergantung dari outlet Toko Buku akan bergeser ke media Gadget yang lebih modern. 

Pandemi terlihat mempercepat proses tersebut, sehingga sudah tampak sekali bahwa era buku digital sudah masuk dalam kehidupan baru modern saat ini. 

Penerbit-penerbit besar tampaknya mencoba mengantisipasi datangnya air bah modernisasi pembaca buku ini, sehingga tampak sekali kegagapan dalam menanganinya. Lihat saja pemerintah yang gagap pula menangani proses digitalisasi buku yang berujung terhadap kebijakan-kebijakan parsial tidak menyeluruh.

Perpustakaan-perpustakaan di daerah getol mencari produk buku digital, untuk menambah koleksi perbendaraan pembacaannya. Dengan gaya yang seolah-olah modern, perpustakaan seolah-olah juga merasa telah memasuki era digital di koleksi buku digitalnya. Apa lacur, ternyata sistem perbukuan digital belum dikuasai dengan baik oleh pemangku kebijakan. 

Sistem digital yang mengandalkan sumber terpusat, baik dalam penyediaan file E-book maupun transaksi file yang akan dibaca pembaca buku, tidak dipahami dengan baik oleh pemerintah. Sehingga munculah koleksi parsial masing-masing perpustakaan dengan pongah merasa paling lengkap dalam memenuhi repository server buku digitalnya. Hal ini diperparah lagi dengan penerbit-penerbit yang mencoba mengikuti alur pengadaan e-book perpustakaan yang sudah jelas keliru arah pengembangan E-Book nya. 

Penerbit menawarkan sejumlah koleksi ke perupustakaan daerah-daerah, sementara penawaran itu juga dilakukan di daerah lain dengan sistem sewa. Penerbit dibeli e-book nya sejumlah eksemplar yang disepakati, dan ditampilkan di perpustakaan digital selayaknya buku fisik dengan sistem antrian baca. Sungguh sistem e-book yang amburadul. 

Apalagi setiap daerah cenderung egois membeli file e-book masing-masing, padahal file yang sama dijual oleh penerbitnya ke perpustakaan daerah lain. Imbas ke penulis kecil sekali, karena royalty hanya berdasarkan sejumlah eksemplar e-book yang ditawarkan penerbit selayaknya buku fisik dijual.

Justru lembaga swasta yang berkapital besar memahami logika penerbitan ini dengan baik. Tengoklah raksasa Google, yang telah mengembangkan Google Booksnya bertahun-tahun yang lalu. Dengan kerja kerasnya berkeliling menjemput bola, menjadikan koleksi E-booknya dapat dikatakan terbesar di dunia. 

Mereka dengan rela menjemput bola dengan menalangi pengiriman buku fisik yang belum didigitalisasi ke server Google di Kanada pada waktu itu. Berapa besar ongkos kirim ber-koli-koli kardus buku yang mereka jemput di masing-masing penerbit di seluruh dunia. 

Saat ini, mereka bergerak dengan perlahan, senyap, dan pasti karena melihat peluang E-Book ke depannya adalah surganya ilmu dan tentunya pendapatan. Dengan mengembangkan sistem penjualan dialihkan ke Google Play, adalah strategi jitu dalam menggiring pembaca untuk masuk ke industrialisasi E-Book dengan elegan sekali. Tampak sekali blue print global tentang e-book dikuasai dengan baik termasuk bagaimana memasarkan e-book nantinya.

Strategi brilian dari Google yang cukup membuat saya terperangah adalah strategi GGKEY dalam setiap produk buku yang di-upload ke server mereka. Strategi ini membuat saya geleng-geleng kepala karena begitu indah dan brilian. Dengan GGKEY seolah-olah Google betul-betul akan berperang dengan penguasa buku yang telah berpuluh tahun di kangkanginya, yaitu ISBN (International Standard Book Number) yang diciptakan oleh pedagang buku di Inggris. 

ISBN tidak ada urusan dengan bisnis, karena hanya sekadar Primary Key, atau nomor primer yang masing-masing objek tidak boleh sama. Gampangnya adalah seperti NIK, atau nomor induk kependudukan kita yang hanya melekat di satu orang saja.

ISBN tidak ada urusan dengan bisnis buku, hal inilah tampaknya disadari oleh Google, sehingga mencoba melepaskan belenggu ISBN dengan mengeluarkan GGKEY. GGKEY sekali lagi hanya menempatkan nomor sekadar nomor saja, yang memberikan pencirian untuk urusan penjualan atau proses akuntansi saja, hanya sekadar Primary Key saja.

Apa dampak GGKEY ini terhadap industri buku? pertanyaan brilian ini pasti akan ditanyakan bagi yang memahami betul industri perbukuan, tanpa menguasai industri perbukuan pertanyaan cerdas ini tidak akan muncul. Jawaban menurut saya adalah berdampak sistemik dan luarbiasa mengerikan bagi industri perbukan di dunia. 

Mengapa mengerikan? hal ini karena saya membayangkan industri buku ini sudah tidak lagi akan tersentralisasi ke Penerbit saja, akan tersentralisasi ke sumber dari segala sumber sebuah buku yaitu PENULIS. Semua bagian yang selama ini ada di kekuasaan Penerbit yaitu proses naskah menjadi buku yang siap dinikmati pembacanya, akan terpecah-pecah menjadi bagian yang berdiri sendiri-sendiri. Editor, Layouter, dan Desainer, akan terlepas dari industri utamanya dan berdikari mencari keuntungan secara mandiri. 

Di Undang-undang perbukuan, komponen-komponen dalam industri perbukuan, telah dibuat aturan-aturan yang memberikan rambu-rambu untuk dapat bergerak dengan benar. Penulis akan membutuhkan HUB penghubung antara Editor, Layouter, dan Desainer, sehingga HUB ini lah akan muncul profesional baru, Event Organizer sebuah tulisan berbentuk buku bisa berupa digital maupun versi cetaknya. Versi digital telah dibuat pasarnya oleh google di Google Play, tanpa harus mempunyai ISBN dan bisa menggunakan GGKEY untuk menjual bukunya.

SBN adalah nomor yang tidak harus ada di Google Play, sehingga bisa menggunakan GGKEY yang lebih simpel tidak birokratif seperti ISBN. 

Selang beberapa waktu ke depan, tampaknya sinar cemerlang ISBN akan semakin meredup tergantikan dengan GGKEY yang lebih bermanfaat secara ekonomi dibanding ISBN. Selama ini yang boleh berhak menggunakan ISBN adalah hanya industri penerbit yang tergabung dalam organisasi IKAPI atau yang independen. ISBN tidak sembarang dibuat, sudah ada daftarnya yang ada di Perpunas Indonesia. 

Fungsi ISBN yang selama ini begitu diagungkan akan luntur sudah di era buku digital ke depan. Penulis akan bebas menjual karyanya secara langsung di Google Play, tanpa harus melalui Penerbit. Inilah yang akan merombak proses penerbitan buku menjadi alur baru yang menghilangkan fungsi penerbitan yang selama ini dilakoninya. 

Peluang Literary Agent akan diperlukan untuk mengolah tulisan penulis mejadi bacaan yang layak dijual di toko buku maya Google Play. Apakah hal ini akan terjadi dalam waktu dekat? tampaknya agak sulit menjawab pertanyaan ini, karena kebutuhan membaca bukanlah kebutuhan primer dimana buku masih menduduki posisi yang tidak strategis dalam skema pengeluaran keluarga di Indonesia. Proses pemasaran buku digital dan proses transaksinya belum banyak masyarakat yang familiar sehingga cukup menghambat sosialisasi transaksi jual beli buku digital.

ISBN masih dijadikan patokan untuk aturan-aturan di luar perbukuan, seperti nilai kepakaran penulis di bidang akademik perguruan tinggi, serta nilai kredit bagi guru-guru pengajar Dikdasmen masih menggunakan acuan ISBN. 

Hal inilah yang masih menolong kelangsungan hidup penerbit, karena ISBN melekat dengan industri penerbitan, selama aturan pemerintah tentang kepakaran dosen dan guru masih terikat dengan ISBN, kelangsungan hidup penerbit masih bisa dipertahankan. Tampaknya Google juga menyadari hal ini, sehingga sosialisasi GGKEY, Google Books, dan Google Play dijalankan secara alamiah, tanpa boost iklan yang terlalu besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun