[caption id="attachment_83399" align="alignleft" width="314" caption="perempuan tua oleh Rembrandt"][/caption]"Pilihanku untuk membawanya kabur lalu mengawininya adalah pilihan terbaik bagiku. Walau ku tahu, ibu pasti tak akan menerima, ia begitu membenciku berpindah agama. Aku kawin lari karena ibu tak menyetujui. Ayahpun hanya bisa terdiam menatap ibu yang menangis sepanjang malam. Dan di sudut kamar, ibu tergantung ketika air matanya telah kering. Di belakangnya jendela melukis malam dengan bulan yang selalu ku tatap dari pulau seberang."
Asap-asap rokok itu sedang tidak menari, tak juga lama terbujur kaku. Silih berganti menyapa hidungnya, mungkin juga bagian dari niat mereka untuk membuatnya tak betah berlama-lama duduk di sini. Tapi mereka tetap menahannya untuk ketidakpuasan jawab atas pertanyaan yang dibangun entah untuk apa. Sementara perih mulai terasa kian menusuk. Ia tak diberi makan.
"Sudah tiga hari lamanya kau begitu memuakkan. Kami masih ada tugas lain yang lebih penting untuk dikerjakan!" hardik lelaki yang mulutnya begitu bau menyengat. Seperti endapan tembakau yang manja bergantung di rongga mulutnya.
"Bukankah sudah aku katakan, aku tak mengenal lelaki yang kau maksud," ucap perempuan itu dengan kesal, kata bapak telah berubah menjadi kau.
"Walah... apa susahnya untuk mengaku. Atau kau ingin hidupmu lebih payah lagi? Busuk di penjara?"
"Hentikan ucapan sinismu itu. Beruntung aku tak mengenal wajahmu, bila aku bisa melihatmu entah apa yang akan ada di benak ibumu, saat sepotong wajah bengismu ku bawa kehadapan ibumu. Hai anak muda, lupakah kau pada wajah teduh ibumu?"
"Bangsat! Perempuan sundal itu tak patut dinamakan ibu! Manusia apa yang tega menjual anaknya pada sekumpulan preman. Untuk diperas sebagai peminta-minta. Aakhhh..." Lelaki muda yang mulutnya bau itu menjerit marah. Ia menendang pintu dan sepertinya berlari menuju ruangan lain.
Jejak-jejak yang tersisa di ruangan ini hanyalah dengus nafas yang tak henti berpacu. Sepertinya teman-temannya bergumam tak jelas. Dengus mereka membakar lebih banyak lagi tembakau yang menggoda.
"Wah... perempuan buta ini ternyata mampu menakuti. Sudah tiga temanku, kau buat lari pada masa silamnya. Seharusnya kami yang menginterogasimu, ternyata kebalikannya."
Perempuan buta itu terdiam. Tentu tak salah ia berucap selama ini. Menegur lelaki dengan suara serak yang tega menggerayangi dirinya saat pertama kali dirinya dibawa ke ruangan ini. Lelaki dengan suara serak itu menghimpitnya ke dinding. Mencekiknya dengan sebelah tangan, teramat keras. Sementara tangan yang lain menelusuri lekuk tubuhnya dengan begitu rakus. Dengus nafasnya terlihat makin berat. Liurnya menetes di sudut bibirnya yang hitam.