"Apa yang kau inginkan dari tubuhku? Bukankah tubuhku sama dengan tubuh ibumu? Apakah kau merindukannya kembali? Perempuan yang kau rindu untuk selalu mengisi malam-malammu, saat ia pulang mabuk dari meja-meja judi. Kau diperbudak nafsu mudamu." Meskipun sakit melingkari lehernya, perempuan itu berusaha menegurnya, menepis agar dengus panas lelaki itu tak kian merangsek masuk ke hidungnya.
"Jangan kau ingatkan aku tentang itu. Tak sepenuhnya aku yang menginginkan itu. Aku muak dengan malam-malam yang memenjara kami dalam nafsu. Perempuan itu selalu berjingkat pelan menuju peraduanku, bertelanjang badan tidur di sisiku."
"Sepertinya kau merindukannya dengan begitu buas menatapku."
"Hentikan ucapanmu! Sesungguhnya aku ingin lari dari bayang-bayang itu."
"Amarahmu padaku menyulut lilin yang menerangi keremangan masa silammu. Tak sadarkah kau itu?"
Sebelum jawaban datang, lelaki dengan suara serak itu telah berlari tergesa-gesa. Sepertinya ia tersadar atas ucapan perempuan buta itu. Namun ruangan ini terasa membuatnya begitu mual, saat suara-suara desah masa silam saling bersahutan di sudut-sudut langit kamar.
Pada hari pertama kehadirannya di ruangan ini, tubuhnya selamat. Sesungguhnya ia tak sadar mengapa kata-kata itu begitu saja keluar dari mulutnya. Jangankan mengenal mereka dan masa silam mereka, orang-orang yang begitu bengis menginterogasinya, melihat saja pun ia tak bisa. Ia hanya perempuan buta yang ditangkap dan dihadirkan di ruangan ini.
Sesunggunya mereka bukan lagi bertanya, tapi sudah memaksa untuk mengakui apa yang mereka inginkan. Mereka menganggap perempuan buta itu adalah ibu seorang pemuda yang membakar gedung pusat perbelanjaan baru di kota ini. Dan tugas mereka untuk bertanya melebihi dari tugas malaikat pencatat dosa. Karena pada akhirnya mereka yang lari terbirit-birit pada bayangan dosa-dosa yang bukan saja tercatat namun telah terhunus pada tengkuk kesadaran masa silam.
Perempuan buta itu juga masih ingat, ketika pada hari kedua, seorang lelaki dengan dahak yang selalu dihempaskannya ke lantai mencoba mendekatinya. Suaranya tenang, walau kadang di ujung ucapan ia suka terhenti berucap, selanjutnya meludah ke arah yang lain.
"Kalau kau ibu yang baik, sudah seharusnya kau mengakui ia anakmu. Kalau kau ibu yang baik, sudah selayaknya menyerahkan putramu yang berbuat keji. Tindakannya membakar pusat perbelanjaan ini bukan tindakan mulia. Aku yakin, dalam hati ibu, pasti ada kebenaran yang patut disampaikan."
"Bagaimana aku bisa mengakuinya sebagai anakku, bila aku tak mampu melihat dirinya yang kau maksud. Bagaimana aku bisa mengakuinya sebagai anakku, bila suaranya pun tak kau hadirkan di ruangan ini. Usah paksa aku untuk mengakui yang bukan hakku."