Mohon tunggu...
Edi Sembiring
Edi Sembiring Mohon Tunggu... -

tulisan kini diarsipkan di sebuah huma kecil,\r\nrumah tuannya, \r\nnamun merdeka di tanahnya ----\r\n\r\n\r\njejak-jejak meracau....\r\nwww.edisantana.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ingatan Perempuan Buta

9 Desember 2011   04:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:39 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ibu, jangan kau beralasan dengan kebutaanmu. Mata hatimu pasti lebih jernih. Aku ingat, temanku saja kemarin begitu terpukul, hingga hari ini batang hidungnya tak tampak."

"Aku percaya pada didikan. Aku mendidik anakku untuk berbuat kebenaran, mata hatinya menjadi penjuru pikiran. Bukan kebalikannya. Seperti didikan yang diberikan oleh ibumu. Untuk memilih sesuai dengan hati, walau itu harus membuat ibumu bunuh diri. Sesungguhnya kau manusia merdeka, jiwa yang memilih sesuai dengan kebenaran yang kau yakini."

Entah mengapa selepas perempuan itu berucap, tak ada lagi perkataan beruntun yang memberondongnya, seperti peluru-peluru rakus pada hangat tubuh manusia. Dan kebalikannya, para pemilik peluru-peluru itu  tersenyum kecut dan mematahkan senapannya. Menghempaskannya jauh.

Seperti hempasan tangan lelaki itu di atas meja, hingga waktu seakan mundur begitu cepat.

"Pilihanku untuk membawanya kabur lalu mengawininya adalah pilihan terbaik bagiku. Walau ku tahu, ibu pasti tak akan menerima, ia begitu membenciku berpindah agama. Aku kawin lari karena ibu tak menyetujui. Ayahpun hanya bisa terdiam menatap ibu yang menangis sepanjang malam. Dan di sudut kamar, ibu tergantung ketika air matanya telah kering. Di belakangnya jendela melukis malam dengan bulan yang selalu ku tatap dari pulau seberang."

Mereka terdiam. Kesunyian merambat begitu cepat. Cahaya bulan di balik kaca menusuk ruangan. Perempuan itu mengarahkan wajahnya menuju keteduhan hati.

"Anakku dimanakah kau sekarang?"

***********

Suara itu begitu murka di pagi ini. Sudah kesekian kalinya terdengar suara meja digebrak. Dan telunjuknya menunjuk wajah mereka satu persatu. Ia tak puas atas kerja anak buahnya. Sudah seminggu pelaku pembakaran gedung pusat perbelanjaan baru itu tak juga terungkap.

"Bodoh! Menginterogasi saja tak mampu, apalagi untuk menangkap pelakunya. Dasar manusia dungu, lebih untung memelihara anjing dari pada kalian. Anjing kalau tak setia tinggal dipotong saja atau dijual. Tapi kalau memotong kalian tak ada gunanya apalagi menjualnya. Begitu lengahnya keamanan selama ini, begitu bodohnya aku memelihara kalian."

"Ternyata kebodohan menjadi milik semua orang. Menjadi hal biasa." Suara itu tenang hadir namun membuat mereka berpaling menuju sumbernya. Perempuan buta yang sudah seminggu terduduk di kursi di sudut ruangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun