Lelaki itu berpaling. Ia tersinggung dan bergegas menghampirinya.
"Apa yang kau maksud? Aku tak akan mengeluarkanmu dari ruangan ini sebelum mengaku!"
Lalu ia menarik meja besar itu dan menindih jempol kaki perempuan itu dengan salah satu kaki meja.
"Lebih dari ini akan kau terima. Ayo.. mengakulah. Di mana anakmu bersembunyi?"
Perempuan buta itu terdiam. Bibirnya terkatup menahan sakit. Ia tertunduk menggigil.
"Tak susah untuk membuktikan bahwa anakmu pelakunya. Semenjak pengusiran lapak-lapak liar, anakmu menjadi pemimpin para pedagang. Berulang kali terjadi hingga menyimpulkan tak cukup diusir, harus dibakar, hahahaha.... Aku sampaikan kabar ini padamu, kalaupun kau bersaksi kelak mana ada yang akan percaya pada ucapan perempuan yang buta. Seperti kau yang selalu tak bisa mengakui foto ini adalah anakmu karena kau tak bisa melihatnya."
"Tapi aku mengenal dan mengingat suaramu. Aku mampu bersaksi."
"Hah, ingatan orang buta sekabur pandangannya. Siapa yang bisa meruntuhkan kebenaran yang keluar dari mulutku? Karirku sudah menjadi kebenaran yang tak diragukan."
"Aku mengingat suaramu."
"Hahaha.... ingatanmu saat ini akan dikaburkan oleh sakitnya siksaan ini. Rasakanlah!" Tiba-tiba lelaki itu naik ke atas meja. Dan tubuh perempuan itu kian menggigil menahan sakit luar biasa. Giginya terkatup erat. Keringat dingin membasahi tubuhnya  Darah menggenang di sekitar telapak kakinya.
Wajah perempuan buta itu mencoba menengadah. Mukanya pucat. Matanya yang putih menatap tajam. Bibirnya bergetar.