Perempuan paruh baya itu tampak duduk tenang sebelumnya dideretan kursi ibu-ibu yang tidak sampai 5 orang. Semuanya terlihat memperhatikan secara seksama setiap kalimat narasumber didalam sebuah kelas penguatan kapasitas tentang pemanfaatan sumber daya alam yang diselenggarakan oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat.
Sesaat diberikan waktu bertanya, seorang perempuan berpembawaan tenang yang memperkenalkan dirinya Budiana itu dengan percaya diri mengacungkan jari mengajukan pertanyaan ditengah ruang kelas yang sebagian besar didominasi pria dan sebagian besarnya adalah para pemimpin desa. Beliau dengan tenang dan tanpa ragu mengutarakan dua poin utama pendapatnya.
Pertama dengan lugas disampaikannya bahwa ia merasa dimana perempuan saat ini masih tidak dilihat penting dalam musyawarah pengambilan keputusan strategis baik di desa maupun tingkatan lebih tinggi diatasnya. Jikapun didengar, ia hanya sebatas untuk didengarkan saja tanpa ada upaya lebih lagi untuk dapat merealisasikan kebutuhan yang sangat diinginkan kelompok perempuan.
Bagiku ia adalah sebuah pernyataan yang cukup menggelitik. Pernyataan dari seorang perempuan yang tekanan kalimatnya diikuti oleh tepuk tangan hampir semua hadirin yang ada didalam kelas. Sebuh tepuk tangan yang sekaligus juga menyatakan bahwa ungkapan yang disampaikan sebelumnya oleh seorang Budiana tersebut benar adanya. Dan memang diakui seperti menjadi sebuah generalisir yang terjadi dihampir semua pengambilan keputusan di tataran akar rumput pedesaan.
Kemudian seorang perempuan yang kemudian kuketahui lahir di Sambas pada 5 Desember 1970 tersebut menyatakan pendapatnya yang kedua. Ia mengatakan risau akan mayoritas lahan pertanian dan pekarangan rumah saat ini  seolah berubah menjadi hamparan sawit. Menurut pengamatannya tanaman sawit akan membuat tanaman sela apapun tidak akan bisa tumbuh dengan baik. Termasuk jika yang ditanam adalah padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari masyarakat Sambas.Â
Tambahan lagi menanam sawit secara  tumpangsari dengan padi penuh dengan ancaman hama burung. Dan anehnya lagi jika musim kampanye tiba lahan-lahan tersebut penuh oleh baju-baju partai berwarna warni dengan beragam pesan. Pernyataan yang sedikit agak menggelikan tetapi mengandung sebuah kebenaran jika kita perhatikan dilapangan.
Tentu sebuah kerisauan seorang ibu yang sangat dapat difahami. Masyarakat dengan tradisi agraris hidupnya akan menjadi tenang dan tentram disaat mereka dapat menanam padi tanpa memikirkan itu akan berhasil atau tidak. Ia merupakan sebuah strategi dari salah satu upaya untuk bertahan hidup masyarakat pedesaan. Juga merupakan sebuah sindiran bagi siapa saja agar hidup ini seimbang.Â
Ia seolah berpesan dimana khusus untuk lahan budidaya ,dalam skala kecil di desa penggunaan lahan seharusnya dapat menyeimbangkan antara lahan subur yang harus selalu dijaga untuk bercocok tanam kebutuhan pokok serta lahan untuk tanaman perkebunan di areal yang kurang subur.
***
Kita tinggalkan kelas yang diskusinya sangat hidup sebelumya. Kemudian aku mencoba untuk dapat berdiskusi lebih jauh lagi dengan perempuan yang ternyata juga seorang pewaris tradisi tenun songket Sambas. Ia lebih mengkhususkan dirinya kepada pewarna alam. Sebuah aktifitas yang baginya sangat menyenangkan dan selalu memberikan kejutan dalam setiap proses penciptaan warna benang kainnya. Ia mengatakan setiap jenis tumbuhan yang berbeda pasti juga akan memberikan kejutan warna yang tidak terduga.
 Perempuan yang pembawaannya tampak tenang tersebut memiliki sepasang anak yang semuanya telah menyelesaikan jenjang sarjana berkat ia menggeluti tradisi tenun Sambas yang telah memberikannya banyak belajar dan kesempatan-kesempatan untuk memajukan diri dan keluarga serta kaum perempuan sekitarnya. Meskipun ia hanya berkesempatan mengenyam pendidikan sekolah dasar tapi tidak menyurutkannya untuk menjadi seorang pembelajar dan ingin selalu berkarya lebih baik.
Ceritanya kemudian terus mengalir. Dikisahkan ia telah menggeluti tenun sejak kecil dengan mencuri -curi kesempatan untuk dapat merasakan dan memainkan alat-alat tenun milik ibu maupun tetangganya.Â
Benang-benang kain itu telah menariknya untuk dimainkan bagaimana selayaknya usia anak yang senang bermain. Tenunan-tenunan itu ditinggal sejenak dikarenakan emak dan tetangganya lagi sibuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga lainnya seperti memasak, mencuci,membersihkan rumah dan mengasuh anak.
Budiana kecil dengan kenakalan dan keingintahuan yang besar menyebabkan perlahan menguasai teknik pembuatan kain songket lunggi Sambas yang terkenal sampai ke mancanegara terutama Malaysia dan Brunei Darussalam.Â
Diperlukan kesungguhan hati dalam menyelesaikan satu karya kain yang indah karena perlu waktu, proses, ketelitian dan cita rasa seni yang ekstra. Oleh karena kemudian telah menjadi kesehariannya akhirnya pada suatu saat ia diberikan kepercayaan untuk menyelesaikan sebuah proyek kain tenun ditahun 1993 dan berlanjut sampai di hari ini.
Di tahun 2006 dan berlanjut beberapa tahun setelahnya sebuah lembaga bernama Gemawan telah memperkenalkan pewarna alam lebih  jauh kepada Budiana. Dengan pengetahuan yang didapat dari pelatihan di luar pulau telah meningkatkan kemampuannya dalam mengeksplorasi berbagai tanaman lokal yang ada untuk menjadi bahan baku pewarna benang katun dan sutra.Â
Upaya kerasnya belajar dan pendampingan dari lembaga pemerhati serta pemerintah daerah membuat akhirnya kreasi tenun benang emas berbahan pewarna alam diapresiasi PT Garuda Indonesia dan Cita Tenun Indonesia baik dalam hal kepastian pemasaran produk yang berkualitas maupun bantuan pelatihan.keterampilan yang mendekati kemauan pasar.
Dikisahkan dengan penuh semangat olehnya bahwa semua tumbuhan alam sekitar hampir semua bagian tumbuhan dapat dijadikan pewarna alam seperti dari dedaunan: ketapang dan bunga Kesumba.Â
Demikian juga batang pohon seperti ulin, nangka, mengkudu dan bakau bahkan sampai dengan kulit bawang merah. Disebabkan kesibukan dan terbatasnya waktu beberapa tumbuhan sekitar yang ada masih belum sempat di eksplorasi lebih jauh. Ditambahkan juga olehnya bahwa semua tumbuhan tersebut akan memberikan kejutan-kejutan warna yang tidak terduga sebelumnya.
Apresiasi pasar untuk produk berbahan alam sebenarnya sudah terbangun dengan baik.  Tetapi tetap saja kain yang bercitarasa seni tinggi itu jumlah yang tersedia masih jauh dari kebutuhan pasar. Ternyata tidak semua pekerja dibawah pengawasannya dan bekerja dirumah tangganya masing-masing bisa menyanggupi  setiap pesanan yang ada. Meskipun sebenarnya mereka diberikan upah lebih tinggi dari yang mengerjakan kain dengan benang pewarna sintetis kimia biasa.
Belum lagi banyak pekerja terampil yang pindah ke negeri tetangga terutama Brunei Darussalam untuk menenun karena diupah lebih tinggi. Sedangkan generasi yang masih tertinggal dan menjalankan tradisi menenun ini adalah kelompok umur mendekati 25 tahunan atau setelah perempuan-perempuan tersebut bekeluarga dan harus tinggal mengasuh anak dirumah. Sebuah kesenjangan generasi penerus tradisi menenun yang merisaukannnya.
Terbersit harapannya sejak lama yang sampai kini belum terwujud. Ingin seorang Budiana mendirikan taman menenun didepan rumahnya yang bukan milik pribadi tetapi dimiliki bersama oleh masyarakat. Lahan didepan rumahnya akan dihibahkan dan dirasakan cukup untuk menampung kegiatan tersebut.Â
Diharapkan ia dapat menarik anak-anak belia usia sekolah yang sekadar ingin melihat, memegang peralatan dan kemudian diharapkan mulai mempelajari teknik-teknik dasar menenun yang mengasah rasa, kesabaran dan ketelitian tersebut. Dari sanalah nanti akan tumbuh generasi lebih muda yang mencintai tenun dan akan menjadi generasi pewaris tradisi sebenar tenun Sambas yang terkenal akan keindahan, gemerlap serta sangat elegan saat dipandang.
Â
Sambas 08-03-2022
#Tradisi menjaga generasi#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H