Apresiasi pasar untuk produk berbahan alam sebenarnya sudah terbangun dengan baik.  Tetapi tetap saja kain yang bercitarasa seni tinggi itu jumlah yang tersedia masih jauh dari kebutuhan pasar. Ternyata tidak semua pekerja dibawah pengawasannya dan bekerja dirumah tangganya masing-masing bisa menyanggupi  setiap pesanan yang ada. Meskipun sebenarnya mereka diberikan upah lebih tinggi dari yang mengerjakan kain dengan benang pewarna sintetis kimia biasa.
Belum lagi banyak pekerja terampil yang pindah ke negeri tetangga terutama Brunei Darussalam untuk menenun karena diupah lebih tinggi. Sedangkan generasi yang masih tertinggal dan menjalankan tradisi menenun ini adalah kelompok umur mendekati 25 tahunan atau setelah perempuan-perempuan tersebut bekeluarga dan harus tinggal mengasuh anak dirumah. Sebuah kesenjangan generasi penerus tradisi menenun yang merisaukannnya.
Terbersit harapannya sejak lama yang sampai kini belum terwujud. Ingin seorang Budiana mendirikan taman menenun didepan rumahnya yang bukan milik pribadi tetapi dimiliki bersama oleh masyarakat. Lahan didepan rumahnya akan dihibahkan dan dirasakan cukup untuk menampung kegiatan tersebut.Â
Diharapkan ia dapat menarik anak-anak belia usia sekolah yang sekadar ingin melihat, memegang peralatan dan kemudian diharapkan mulai mempelajari teknik-teknik dasar menenun yang mengasah rasa, kesabaran dan ketelitian tersebut. Dari sanalah nanti akan tumbuh generasi lebih muda yang mencintai tenun dan akan menjadi generasi pewaris tradisi sebenar tenun Sambas yang terkenal akan keindahan, gemerlap serta sangat elegan saat dipandang.
Â
Sambas 08-03-2022
#Tradisi menjaga generasi#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H