Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Mati (14. Kota Dunia Tinggi)

30 Januari 2022   21:31 Diperbarui: 30 Januari 2022   21:37 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah pribadi dengan pictsart app

Wajahku terasa menghangat. Tanpa kusadari selimut ternyata hanya menutup daerah dibawah bagian kepala. Entah sudah berapa lama aku tertidur, tetapi tidak ada rasanya pegal-pegal lagi di sekujur tubuh. Pendingin kamar ternyata masih tidak bisa melawan hangatnya cahaya pagi yang masuk menerobos melalui celah gorden yang sedikit tersibak.

Aku berusaha mengumpulkan kesadaran yang masih melayang-layang entah kemana. Kamar yang fasilitasnya menurutku seperti hotel bintang lima seperti biasa yang diceritakan oleh tamu-tamuku dari kota. Sangat nyaman sehingga membuatku malas untuk sekadar sedikit saja menggerakkan badan.Tempat tidurnya sangat empuk dan membuat kita seperti mengambang diatas air yang berayun pelan. 

Sayup-sayup terdengar kesibukan diluar sana. Naluri selidikku terpancing. Segera aku melompat dari tempat tidur untuk melihat apa yang sesungguhnya pemicu keriuhan diluar sana. Kusingkap sedikit lagi gorden penutup kaca jendela untuk memastikan persisnya apa yang terjadi. Ternyata sebuah pemandangan yang tidak pernah kulihat sama sekali sebelumnya

Aku tertegun untuk beberapa saat kemudian. Terlihat kesibukan dipelabuhan dengan aktifitas kerja masing-masing. Terlihat semuanya sangat modern. Terpasang peralatan seperti tiang penyangga tinggi dari baja dibeberapa titik. Barang-barang kemudian bergerak secara otomatis pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Peti kemas dengan ukuran sangat besar diberbagai sudut tersusun sangat rapi. Susunan tingginya bahkan membuat kepala kita mendongak keatas diangka jarum jam pukul 11. Beberapa orang mengendalikan dengan remot kontrol dibeberapa sudut pelabuhan yang sangat luas itu.

Fithar tiba-tiba membuka pintu kamar dan langsung menyapaku ramah

"Bagaimana istirahatmu tadi malam? Kali ini ia memakai stelan blus sangat modern. Sehingga terlihat santai sekaligus formal. Ia memakai kaos warna oren biasa dengan baju jas kasual berwarna hitam diluarnya. Sepatu yang dipakai juga sejenis pantofel hitam mengkilat sangat serasi dengan warna celana jins nya yang berwarna coklat tua.

"Sangat lelap" jawabku sekenanya sambil memperhatikan kembali kesibukan orang-orang diluar sana.

"Mau kemana pagi-pagi dengan pakaian necis begini, Fithar?"tanyaku igin tahu.

"Hari ini tentu agenda mengantar tamu agung kami, untuk berjalan-jalan kekota!" Ia menunjukku sambil tersenyum. Terbayang olehku sebuah kota yang sangat sibuk. Seperti yang terlihat olehku melalui kesibukan pelabuhannya.

 "Ini bentuk terimakasih kami!, karena telah dilayani baik sewaktu di kampung" Aku mengernyitkan dahi mendengar pernyataan Fithar. Tidak ada hal istimewa yang kulakukan untuk ke tiga tamuku terakhir ini. Kecuali usahaku untuk membuat mereka terkesan dengan kampung dan kekayaan alam yang kami miliki. Tidak lebih dari itu.

"Dewa telah memperlakukan, Amarilis Dewi dengan sangat baik!" Seketika mataku terbelalak memperhatikan Fithar yang masih berdiri didepanku yang berbicara dengan sangat tenang.

" Maksudnya?".

"Ya engkau telah memberikan pelayanan terbaik kepada kekasihku, Amarilis Dewi" ia kemudian memperjelas maksudnya kembali.

"Apa!?" keherananku kembali, setelah kejadian pertama saat makan malam di kapal  megah tadi malam. Bukankah Fithar tahu semua kejadian antara aku dan Dewi dipantai itu. Mungkinkah dia pemuda yang polos dan naif?

"Aku masih tidak mengerti maksudmu, Fithar," ungkapku dengan berusaha memperhatikan mimik muka Fithar kembali.

"Bagaimana dengan Kemala?" kulanjutkan pertanyaanku kepada Fithar yang seolah juga sedang bingung dengan keterkejutanku. Justru aku menjadi tidak habis fikir dengan orang-orang disekitarku saat ini.

"Tentu tidak harus kau fahami saat ini, Dewa. Lagipula agenda kita hari ini adalah berkeliling kota dimana kami berdiam saat ini." Aku mematung dan menjadi bertambah bingung atas apa yang terjadi sebelumnya dikapal dan pernyataan Fithar barusan. Aku tidak mau memperpanjang kegalauanku. Kemudian mengikuti perintahnya untuk berkeliling kota yang sebenarnya aku juga sangat penasaran dengan situasi persekitaranku saat ini. Meski banyak pertanyaan-pertanyaan yang ada dibenakku yang masih belum terjawab tuntas.

Dengan mobil sejenis sedan model terkini, Fithar membawaku kesuatu tempat yang juga masih dirahasiakannya. Akupun membatasi diri untuk banyak bertanya yang justru menambah keruwetan fikiranku. Biarkanlah waktu nanti yang akan menjawab semua ini. Laju kendaraan kami sangat terkendali. Kecepatan paling hanya maksimum 60 km per jam. Dimana-mana jalanan terlihat sibuk tetapi semua tertib dan tidak terdengar bunyi klakson. 

Penduduk kota seperti mulai dengan aktifitasnya masing-masing. Ada yang tujuannya pergi bekerja atau sekolah yang terlihat dari seragam yang mereka pakai. Bangunan tertata rapi dikiri kanan jalan sesuai dengan peruntukan kawasan kota. 

Tampak indah dipandang mata. Rumah-rumah berjejer disepanjang kiri kanan jalan dimana terdapat taman-taman kecil didepan rumahnya masing-masing. Terlihat beberapa penduduk duduk bersantai sedang membaca koran, minum kopi atau teh, yang tampak jelas dari kaca transparan besar depan rumah mereka. Dari pelabuhan yang lokasinya agak keluar kota, kami berkendara menuju pusat kota. Sebelum sampai ke pusat kota kami mampir disebuah restoran yang tidak besar tetapi sepertinya cukup ramai dikunjungi orang-orang untuk sarapan dipagi yang cerah saat ini.

Lokasi restoran berada diujung batuan karang. Tampak pemandangan langsung menghadap laut biru. Angin laut berhembus kencang menjelang siang itu. Menu favorit diletakkan di depan pintu masuk, persis seperti papan-papan tulis kecil dengan tulisan artistik dari kapur tulis berwarna. Pelayan hilir mudik melayani pesanan pengunjung. Aku memesan minuman segar es laksamana mengamuk yaitu sejenis minuman es dingin dicampur irisan berbagai buah termasuk mangga, cendol, potongan kotak cincau dan agar-agar lembut dengan tambahan air santan kelapa. Sedang makanannya dipilihkan Fithar yaitu masakan melayu yang masih hangat seperti suguhan istimewa jamuan makan tadi malam.

Aku masih tidak bertanya, mengapa Kemala dan Dewi tidak ikut bersama?. Sedang pembicaraan kami masih hanya seputar kesibukannya sehari-hari saat berada dikota tersebut. Dengan bawaannya yang tergolong parlente, kuduga tentu Fithar berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Ia mengatakan bahwa waktunya telah terjadwal secara harian, mingguan bahkan bulanan. Kerjaannya menunggu perintah tuannya untuk menemani siapa saja yang dimintanya harus dijamu dengan baik. Aku berfikir ada kemiripan dengan pekerjaanku sebelumnya.Fikirku, wajar Fithar selalu membuat setiap tamunya merasa nyaman.

 Tanpa terasa. Sajian hidangan didepan kami sudah habis kami santap. Pemandangan disekeliling restoran sangat indah. Kota ini seperti berada di tengah samudra luas yang indah membiru. Atap-atap rumah sepanjang jalan berbentuk kubah-kubah biru laut tua mendominasi. Tampak kontras dengan bangunan yang rata-rata bercat putih bersih. Sekilas memang terlihat seperti lukisan alam yang indah. Pemandangannya menjadi sangat kontras diantara putihnya bangunan berbentuk kubus sejauh mata memandang. Semuanya nampak indah karena lanskap kota itu berada diatas pulau karang. Menjulang kelangit tinggi yang dikelilingi samudra luas membiru.  Tidak jarang terlihat awan putih seperti menggumpal-gumpal menyembunyikan bangunan diatas bukit yang lebih tinggi.

"Kita menuju kesana!" telunjuk Fithar mengarahkan telunjuknya kebukit tertinggi. Aku tidak bisa melihat sempurna karena beberapa bagian kota indah diatas sana seperti tersapu kabut putih bersih.

"Akan kemana kita, Fithar?"Ada kejutan khusus buatmu nanti dan tunggu saja saat kita sampai ditempatnya. Aku seperti kerbau yang di cucuk hidungnya tanpa bisa membantah sedikitpun. Dilain sisi, aku rasanya tersirap dengan keindahan kota yang membuatku selalu penasaran untuk tahu lebih dalam lagi. Bunga di taman-taman kota sedang bermekaran. Warna merah, ungu dan kuning membuat pandangan kota yang berkontur bukit karang ini sangat asri dan tidak membosankan.

Kami berhenti sejenak.Disebuah taman kota dengan beberapa hiasan patung artistik angsa putih dengan tanaman bunga beraneka warna disekelilingnya. Ramai terlihat anak-anak sekadar bermain air mancur yang dibuat khusus untuk mereka. 

Kejar-kejaran antar mereka tidak terhindarkan karena mengejar dan menghindar dari semburan air yang kadang hidup dan mati membuat suasana taman riuh rendah oleh teriakan anak-anak tersebut.  Fithar mengambil waktu beristirahat sejenak dengan duduk di bangku taman. Aku beranjak mengelilingi taman yang tidak terlalu besar tersebut. Justru dari titik taman itu ada pemandangan tak terhingganya. Salah satu sisi taman menghadap samudra biru. Aku berjalan mengarah ke kerumunan orang yang bersantai sambil menikmati pemandangan birunya lautan.

Dunia yang sungguh berbeda dari yang sehari-hari aku tinggalli sebelumnya. Aku merasa asing. Ditengah kesendirian dan kerumunan orang ramai tersebut. Aku melihat dan kuyakini sesosok pemuda adalah adik laki-lakiku satu-satunya dan belum kembali di kampung sampai dengan saat ini. Emak menunggu siang malam agar ia dan ayahku segera kembali. Aku segera berusaha mendekatinya

"Udde[1]....Udde...!"Kupanggil dengan keras adikku seperti yang biasa kupanggil Ia terlihat santai lagi menikmati pemandangan laut yang membiru. Tiada respon yang kudapat. Aku berusaha mendekat sedekat mungkin agar bisa menyentuhnya. Bukan main girangnya hatiku. Kerinduanku sama dengan emak yang telah lama tidak bersua dengannya.

 

"Udde...aku Angah[2]...Dewa Kelana" kusalami tangannya langsung tanpa meminta persetujuan darinya terlebih dahulu. Aku sangat yakin orang yang kutemui ini adalah anak lelaki emak yang belum kembali. 

 

Aku kecewa. Ia terlihat heran dengan tingkahku yang terlihat menganggunya. Kami saling memperhatikan dengan seksama. Aku tetap meyakini yang didepanku saat ini adalah adikku lelakiku yang belum kembali. Tetapi kenapa ia seolah-olah tidak kenal dengan abangnya sendiri. Aku sangat perlu berbicara dengan seseorang yang sangat kukenal di negeri asing ini. Tapi apakan daya aku hanya bertepuk sebelah tangan dan ia seperti berusaha menghindariku dan terus keheranan dengan sikapku sehingga menjadi perhatian ramai orang.

 "Maaf, aku tidak berniat menganggumu!" aku tetap meyakini yang sedang duduk memandangi lautan tersebut adalah saudara lelakiku yang belum kembali.

 "Emak menunggu Udde dan ayah kembali!" seruku kembali dengan rasa sukacita karena telah bertemu, sekaligus sedih karena orang yang kuajak bicara seperti tidak mengenaliku sama sekali.

Tetapi apa dayaku, mungkin aku bertemu orang yang dikatakan kembar identik dengan adikku. Ia kemudian mundur teratur dan menghindariku untuk menjauh. Ekspresi wajahnya justru seperti orang yang sedang ketakutan. Tanpa ada kata sedikitpun yang keluar dari mulutnya. 

Aku berusaha mengejarnya untuk memastikan lagi melalui suaranya. Tetapi terlanjur ia menghilang dengan cepat diantara kerumunan orang sehingga tinggal aku yang terheran-heran sendiri. Ada rasa kesal dihati karena tidak bisa menuntaskan pertemuan yang sangat penting tersebut. Udde berpakaian seperti kebanyakan masyarakat kota ini, dapat kubilang ia kelihatan sangat gagah. Penampilannya seirama dengan Fithar jas kulit coklat menutup kaos putih dibadan dengan jins biru dan sepatu kets abu-abu. Tentu sangat kontras dengan penampilanku yang dari kampung.

 Disudut taman Fithar tetap setia menungguku. Seperti ia selalu memperhatikan gerak gerikku dari jauh. Tetapi saat ini aku merasa kalah. Tidak bisa membantu untuk mengembalikan kegembiraan emak dikampung.

 Sehabis menelpon seseorang dari telpon umum yang ada ditaman. Fithar seperti memberi tanda kepadaku untuk segera masuk kembali ke mobil.

 " Maaf terlambat, aku lihat adikku ditaman barusan...tetapi dia tidak mengenaliku" ungkapku masih merasa kesal. Fithar kembali memperhatikanku dengan mengernyitkan dahinya. Ia tampak keheranan melihatku. Aku juga menduga, Fithar pasti mengira aku salah mengira orang. Mungkin dia mengira aku sedang berhalusinasi.

 Tidak ada kata sepatahpun dari Fithar.Ia hanya memintaku langsung mengarah ke mobilnya yang terparkir disamping taman. Ia beranjak dari tempatnya berdiri untuk kemudian bersama-sama naik mobil melanjutkan perjalanan yang sebenarnya sangat kunikmati. Pengalaman baru yang belum pernah kurasakan

 Kami terus mengarah ke utara dengan jalanan yang semakin menanjak. Semakin keatas udara terasa bertambah dingin. Awan yang menutupi kota sebelumnya,sekarang tersibak secara perlahan. Semakin keatas terasa telingaku tambah berdengung karena tubuh harus menyesuaikan dengan ketinggian. Diujung puncak bukit mulai tampak bangunan megah berwarna putih bersih dengan kubah-kubah berwarna biru terang. 

Bangunan tersebut dikelilingi pagar tinggi menyerupai benteng seolah-olah tidak akan ada yang bisa ditembus oleh musuh jika ada perang. Disanalah tujuan kami. Gas mobil seperti semakin menderu karena selain jalan mengecil juga banyak jalan menikung. Tanjakan membuat sopir haruslah seorang yang sangat mahir mengendalikannya. Selain itu jalanan yang sempit harus berbagi dengan kendaraan yang meluncur dari sebaliknya.

 Pintu gerbang terbuka otomatis. Dua pengawal pintu gerbang dari sebelah kiri dan kanan memperhatikan kami dengan seksama. Fithar membuka pintu kaca mobilnya dengan menunjukkan tanda pengenal khusus yang tergantung dileher dan tertutup rapi oleh jaketnya. Pengawal kemudian mempersilakan masuk dengan memberikan tanda jempol kepada kami untuk berlalu masuk mendekati bangunan besar yang menyerupai kastil-kastil di Eropa yang pernah kulihat dibuku pelajaran sejarah dunia.

 Terlihat pintu depan rumah yang sangat lebar terbuka. Ada penjaga yang mempersilahkan kami untuk masuk ke area yang bagian dalamnya kelihatan ruang terbuka yang lebar dan luas. Ada taman terbuka dilengkapi dengan air pancuran yang mengalir. Menimbulkan gemericik seperti air hujan tiada henti dan menenangkan jiwa. Terasa tenang dan damai. Taman disekeliling pancuran itu ditumbuhi bunga-bunga berwarna warni yang terawat. Mungkin lagi musim semi fikirku. Tidak ada daun menua atau daun kering yang jatuh dibawahnya. Bunga sepertinya bermekaran menunggu kedatangan kami. Pembatas taman ini banyak patung-patung abstrak yang disusun sedemikian rupa. Ada koridor jalan besar yang ada mengarah ke ruang seperti aula besar.

 Fithar sepertinya sangat terbiasa dengan situasinya. Sedangkan aku berjalan perlahan. Mataku sangat takjub dengan detil-detil bangunan yang ada. Tidak terbayang olehku sebelumnya, yang aku diberi kesempatan untuk dapat melintas negeri yang sangat memanjakan mata. Indraku seperti tidak rela membiarkan informasi detil yang bisa diserap baik mata, telinga, kulit maupun hidung. Mungkin cerita untuk anak cucuku dikemudian hari. Mereka bangga dan tahu bahwa ayah atau kakeknya seorang petualang dengan segala cerita yang melingkupinya.

 Sampailah kami diruangan besar dimana lagi sedang dipersiapkan makan siang. Ada sepuluh kursi yang tersedia disana. Aku diminta duduk oleh Fithar tepat ditengah-tengah meja besar tersebut. Sempat aku melihat disekelilingku. Fikirku ini adalah rumah orang yang paling kaya di kota ini. Hiasan dindingnya penuh dengan ukiran relief-relief timbul dengan ukuran raksasa dan beberapa lukisan pemandangan yang super besar. Tentu semuanya harus didapatkan dengan harga yang super mahal. Lampu gantung kristal bening menyala tepat menjulur dari atas langit-langit meja makan tempat kami duduk saat ini. Terasa dingin. Lampu-lampu penerang lainnya diatur dengan desain tata letak dimana seekor semut pun akan kelihatan jika berjalan diatas meja maupun lantai marmernya. Tetapi tidak menyilaukan. Malahan kita akan merasa teduh dibawah sorot cahaya lampu tersebut.

 "Selamat datang, Dewa Kelana", tiba-tiba Tuan Bestari datang dari suatu pintu besar yang mengarah kedalam bangunan. Sangat mengejutkan. Aku merinding melihatnya bukan karena takut, tetapi karena karisma yang terpencar dari wajahnya. benar-benar seperti seorang raja di dongeng dongeng yang pernah kubaca.

 "Iya, Tuan Raja Bestari" nama yang kuingat sejak perkenalan di perjamuan makan malam mewah di kapal tadi malam.

 "Bagaimana keadaanmu, baik-baik saja?" ia menanyakan keadaanku dengan cara yang sangat simpatik. Setelah bersalaman ia kemudian mengambil posisi duduk di depanku.

 "Sangat baik Tuan dan terimakasih telah mengundangku di istana indah ini" sambungku sambil berusaha membuang jauh-jauh kegelisahanku karena Fithar langsung menghilang setelah mempersilahkan aku duduk.

 "Tentu Dewa Kelana, bahkan kau bisa tinggal dikota ini selamanya" sambungnya dan segera membuatku mengernyitkan dahi. Tawaran spontan yang bagiku tetap tidak masuk akal fikirku.

 "Apa yang bisa saya bantu untuk Tuan?" sahutku ditengah keheningan sesaat. Dia tersenyum lebar dan menatap mataku dengan tajam.

 "Tidak ada yang perlu Dewa bantu untukku, tetapi aku hanya mohon satu permintaan saja"

 "Apa permintaannya Tuan?". Rasanya aku tidak sabar mendengar apa yang akan dikatakannya. Iya kemudian memanggil Kemala yang sepertinya telah berada dibalik ruangan sebelah.

 "Kemala!" ia memanggil Kemala. Segera kemudian dari balik ruangan itu muncullah Kemala yang berjalan sangat percaya diri tetapi tetap anggun. Ia tampak tersenyum sumringah kepadaku. Tetapi dalam hatiku langsung muncul pertanyaan lagi kenapa Kemala dan Bukan Dewi?

 "Dewa, aku ingin kau bersedia dijodohkan dengan Kemala?" pertanyaan yang langsung menukik ke pokok permasalahan.Pertanyaan yang diulang sebelumnya dan membuatku bingung atas tawaran anehnya tersebut.

 "Kakakmu Amarilis Dewi sangat ingin kau dan Kemala menjadi pasangan?" sambung raja kembali.

 Kakakku Amarilis Dewi? aku berguman dalam hati dan hanya bisa menerawang jauh dalam fikiran yang tiada menentu.

 "Kakakmu Amarilis Dewi telah kami jodohkan secara resmi dengan Fithar, tinggal menunggu hari pernikhannya saja" Ini berita apalagi yang disampaikan oleh Raja Bestari fikirku dalam hati.

 " Sejak pertama berjumpa denganmu aku telah menentukan pilihan, kaulah yang akan menjadi pendamping hidupku" Kemala menerangkan dengan lugas dan kata-katanya sangat lancar mengalir diselingi dengan suaranya yang manja.

 "Bagaimana Amarilis Dewi?" pertanyaan yang juga langsung kutujukan kepada Kemala. Dia sepertinya langsung menangkap maksudku.

 "Amarilis Dewi memang ditugaskankan oleh ayahndaku Raja Bestari untuk menggiring engkau masuk ke istana kami," ungkap Kemala. Sambil kuperhatikan Raja disamping Kemala mengangguk-anggukkan kepala tanda menyetujui semua apa yang diutarakan Kemala. Semuanya telah dalam rencana kami tanpa ada halangan apapun.

 "Tetapi aku telah tertambat ke Amarilis Dewi" aku terpaksa jujur dengan apa yang kurasakan saat ini dan harus kukatakan setelah sekian lama kupendam. Biar mereka juga semua tahu apa yang telah terjadi selama ini antara aku dan Dewi. Sambil kutatap wajah Raja Bestari serta Kemala bergantian. Langsung saja wajah Raja terlihat merah padam dan kemudian berkata dengan setengah berteriak.

 "Sangat terlarang!!," sahut raja langsung. Nadanya terdengar meninggi dan lantang. Aku tersentak dengan emosi raja yang tiba-tiba meninggi. Aku masih tidak mengetahui dimana letak kesalahan kata-kataku sebelumnya.

 "Kami telah memantaumu dan menunggumu sejak lama" suara pria didepanku tersebut agak mereda serta berusaha untuk menenangkan suasana,"Dewa dan Kemala saat ini sudah saatnya harus ditentukan" sambung raja kembali. Aku tidak habis fikir mengapa harus aku, dan pilihannya mengapa bukan Dewi dan kenapa harus Kemala. Rasanya aku mau lari saja dari ruangan eksekusi ini. Tapi aku mau lari kemana seolah ruangan semua sudah terkunci rapat. Sekaligus ini tempat yang sangat asing bagiku.

 " Terima saja, tiada hal yang harus dikhawatirkan jika nanti kau bersama Kemala" pinta Fithar seperti membujukku. Ia langsung bergabung diruangan kami disaat terdengar olehnya suara raja yang sangat emosional. Fikiranku terasa kacau dan tidak bisa memutuskan apapun ditengah situasi menekan seperti ini.

 "Dewa tidak harus menjawab sekarang, beristirahatlah dulu sejenak disini" pinta raja kepadaku. Senada dengan Fithar yang raja seperti mulai membujukku kembali. Kuakui memang yang saat ini aku sangat membutuhkan istirahat sejenak agar bisa berfikir jernih.

 Aku diminta meninggalkan meja makan untuk beristirahat. Kemudian diantar Fithar menuju salah satu kamar yang telah disiapkan sebelumnya. Sambil menuju lorong kamar untuk beristirahat. Aku setengah berteriak.

 "Udde, kenapa bisa ada disini?" Aku bisa pastikan yang lewat dikoridor tersebut adalah adik kandungku yang kutemui di tepi taman saat beristirahat sejenak menuju istana pagi tadi. Tetapi, ia hanya menoleh sejenak untuk kemudian berlalu dan menghilang tanpa jejak dilorong-lorong bangunan yang luas ini.

 Pintu kamar dibuka Fithar, ola laa...pemandangan dari dalam kamar ini sangat menakjubkan. Sebagian besar dindingnya adalah kaca selebar dinding dan sebagian menghadap samudra yang membiru. Sebagian lain menghadap kesisi pemandangan kota . Tampak liukan-liukan jalan yang berkontur turun naik. Semakin tampak jelas rumah putih bersih dengan kubah berbentuk bawang berwarna biru serta pohon-pohon peneduh kota yang sedang berbunga warna warni. Rasanya beban yang kufikirkan dan lelah fisik terasa sirna sementara melihat pemandangan yang menakjubkan itu.

 Sekali lagi. Pilihan yang diberikan sangat tidak masuk akal bagiku. Segera aku mendekati ranjang. Aku langsung merebahkan diri untuk sekalian merebahkan fikiranku yang tidak bisa kutahan lagi.

 Aku jatuh terlelap...entah untuk beberapa waktu yang akupun tidak menyadarinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun