Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta Mati (8. Kejutan Pada Dinihari)

30 Januari 2022   07:06 Diperbarui: 30 Januari 2022   07:08 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah pribadi dari pictsart app

16 Dzulqaidah 1410 bertepatan dengan Sabtu 01.15 Dinihari 12 Mei 1990

Waktu terus berjalan. Tidak terasa perjalanan kami sudah melewati 5 tanjung dari 7 tanjung yang akan dilalui. Tanjung yang ke tujuh atau yang terakhir adalah Tanjung Dara. Perjalanan diiringi dengan cuaca langit yang kembali cerah. Bulan dan taburan bintang dilangit seperti selalu mengikuti dan memperhatikan kemanapun kami melangkah.

Dikejauhan kira-kira 100 meter ke depan, kembali aku melihat seperti ada onggokan benda hitam besar yang bergerak di bibir pantai. Benda itu seperti berusaha secepatnya mendaki ke daratan.

"Kita akan melihat penyu Tempayan lagi," seruku spontan. Masing-masing langkah kaki kami seperti bergegas, satu sama lainnya tampak untuk menjadi orang yang paling pertama melihatnya. Dewi sepertinya berusaha mempercepatlangkahnya dari yang lain. Tidak tampak kelelahan sama sekali. Fikirku, malam ini adalah malam keberuntungan bagi ketiga tamuku ini. Tampak sejenis penyu Tempayan yang sebentar lagi akan kami saksikan. Itu penyu langka. Menurut cerita orang-orang kampung sudah jarang sekali terlihat mendarat.

           Seperti tidak biasanya, Amarilis Dewi, justru seperti ingin menjadi orang pertama yang berusaha ingin melihat penyu besar tersebut. Ia berusaha berlari kecil ingin mendekati penyu yang kelihatannya sangat bersusah payah mendaki berusaha melewati gundukan-gundukan pasir yang tebal dipantai.

"Jangan menghalanginya saat naik kedarat ya!" pintaku setengah berteriak dengan Dewi. Tetapi tidak direspon sama sekali. Mungkin karena suara deru ombak yang terus menghempas pantai tanpa jeda diawal pasang laut malam ini. Dewi kembali seperti berusaha merengsek semak-semak mengikuti alur dimana penyu tersebut menyelinap masuk ke semak-semak pantai. Ia sepertinya sudah tidak sabar untuk bertemu langsung dengan penyu yang tergolong spesies langka tersebut.

Penyu perlahan dan pasti mendekati hutan pantai. Kemudian menghilang dari pandangan mata yang diikuti Dewi sekitar 5 meter dibelakangnya. Penyu tampak menyelinap masuk tanpa hambatan. Tumbuhan pandan laut terlihat sangat dominan. Disepanjang daunnya bersusun duri-duri kecil yang tajam serta dapat menggores kulit. Ada pohon ketapang (Terminalia catappa) yang sangat rimbun dan tinggi ditengah-tengahnya. Daunnya seperti tangan yang melambai-lambai lembut agar  kami lebih mendekat lagi.

Dewi yang biasanya tampak tenang. Seperti kuketahui ia tipe orang yang tenang dan penuh perhitungan. Bukan juga orang yang ingin selalu ingin menjadi yang pertama dalam segala hal. Tetapi saat ini sungguh berbeda. Ia seperti tetap berusaha mengejar penyu tersebut. Langkah-langkah kakinya terlihat mantap, percaya diri dan sangat bersemangat masuk mendahului kami kedalam semak belukar, yang rumput-rumputnya kadang melebihi tinggi rata-rata orang dewasa. Sepertinya dia lupa, akan luka dikakinya yang bisa membuatnya kembali berdarah. Diatas tanah berpasir itu tampak ilalang dan rerumputan liar tumbuh sangat subur. Dewi seolah-olah masuk kedalam perangkap semak rimbun tak berujung. Sampai akhirnya ia terlepas dari pandangan kami sama sekali. Ia lenyap dalam genggaman labirin rerimbunan semak belukar dibawah pohon ketapang dan penyu Tempayan yang dibuntutinya sejak tadi.

Pada awalnya kami bertiga terus berusaha membuntutinya dari belakang. Dengan mengikuti jejak-jejak kakinya yang masih sangat jelas terutama saat dipantai yang berpasir. Tetapi semuanya berhenti sampai disana. Setelahnya, jejaknya hilang, sejak mulai dibatas semak-semak tebal dan tinggi. Ketebalan dan tingginya semak tidak saja menyusahkan kami leluasa bergerak, tetapi juga dibawahnya banyak sekali tali temali dari rerumputan mengering yang menghalangi dan menjerat langkah-langkah kaki kami. Tingginya semak kemudian semakin melengkapi hilangnya arah dan pandangan arah yang akan dituju.

Dewi, awalnya masih bisa kami tandai dari adanya goyangan tanaman semak-semak yang dilaluinya. Tetapi setelah masuk lebih kedalam lagi, kami bertiga seakan masuk kedalam pintu yang kami sendiri tidak bisa menemui jalan keluarnya lagi.

Diakui, penyu adalah sejenis binatang amfibi cerdas yang sangat pandai menghilangkan jejak-jejaknya artinya cara hidupnya bertahan sedemikian rupa. Tetapi dengan situasi semak yang tebal seperti ini kami justru  mulai merasa khawatir karena Dewi masih tidak menampakkan tanda-tanda keberadaannya.

"Dewi!" Teriak Kemala sangat kencang memecah kesunyian. Ia sudah merasa kesal seolah-olah dipermainkan oleh Dewi. Tidak terasa sudah 30 menit kami berputar-putar tanpa arah kemudian kembali lagi ketempat semula sampai beberapa kali.

"Kamu jangan bermain main ditempat yang seperti ini!" Aku berusaha mengingatkan Dewi. Sering sekali orang-orang dikampungku hilang karena kepercayaan dirinya terlalu tinggi dengan alam yang masih sangat alami itu.

"Dewi, gerakkan pohon-pohon didekatmu!" Fithar seperti kelelahan. Ia berteriak beberapa kali dengan kalimat yang sama memecah kesunyian.

Aku dan Fithar tetap berusaha bergerak mencari kesana kemari. Meskipun semak-semak tebal dan sebagian telah mengering itu membuat aku dan kadang Fithar jatuh tersungkur berulangkali ketanah yang banyak duri daun pandan yang tua dan mengering. Tidak terasa lagi semuanya yang penting Dewi dapat kami temui. Ternyata memang, kaki kami tidak cukup kuat menahan sandungan tali temali rerumputan liar kering yang terbentuk secara alami tersebut.Luka-luka gores tidak terelakkan lagi terutama ditangan dan kaki yang membuat kulit terasa sangat perih.

Semesta juga seolah kompak. Suasana terasa sunyi senyap. Suara burung tarah papan juga tak biasanya berhenti bernyanyi. Aku sangat berharap Dewi mengejutkan kami dari balik semak-semak rerumputan tebal yang mengering itu.

Kini sampai saatnya tiada lagi fikiran untuk berburu penyu. Dikepalaku saat ini adalah bagaimana Amarilis Dewi bisa segera kembali bersama kami.

Tiba-tiba bulu kudukku mulai berdiri. Kembali seluruh badanku disergap dingin secara tiba-tiba. Kemudian dingin bercampur panas sekaligus terasa mendera tubuh disaat aroma kuat bunga melati menguar kemana mana. Semerbak tiada tara,  terutama disekitar lokasi bawah bayangan pohon ketapang yang gelap dan suram.Diakibatkan daun-daunnya yang lebar, kemudian bersama dahannya seperti membentuk payung-payung alami yang sangat lebar. Semak tebal dibawahnya terlihat menyeramkan dan menambah perasaan dingin serta mencekam dimalam itu.

Kelelahan yang mendera membuat kami hampir putus asa untuk terus mencari dan mencari. Waktu menunjukkan pukul 00.20 dinihari. Berarti kami sudah lebih dari satu jam berputar-putar tanpa arah dibawah semak yang kuduga kuat berpenghuni mahluk tak kasat mata. Saat ini seharusnya kami harus bergerak kembali ke tenda. Air pasang besar akan segera naik. Dari perhitungan tanggal saat ini, maka pasang air laut akan mencapai level tertinggi. Itu berarti akan menyulitkan perjalanan pulang.

Jika terlambat sedikit saja, jalur perjalanan kami akan bergeser naik kearah daratan. Itu berarti harus menempuh semak belukar liar, sama seperti yang kami rasakan saat ini. Itu artinya perlu tenaga ekstra dan waktu berlipat-lipat, bahkan bisa sampai pagi untuk sampai ke tenda kami jika dibanding dengan menyusuri bibir pantai dan jalur normal sebelumnya.

"Kita harus memutuskan untuk kembali atau meneruskan mencari Dewi?" Kataku berusaha tegas karena mengkhawatirkan stamina Kemala dan Fithar. Meski aku sendiri juga merasa tidak siap jika harus meninggalkan Dewi sendirian ditempat ini. Terbayang olehku Dewi menggigil kedinginan seorang diri tanpa ada sorang teman pun disampingnya. Rasanya aku ingin tinggal saja disini daripada harus kembali ke tenda. Hanya sekedar untuk menunggu kapanpun Amarilis Dewi keluar dari tempat persembunyiannya.

Kemala yang berlinang air mata masih bersikeras untuk tetap mencari Amarilis Dewi. Tetapi Fithar bersikeras untuk mencari Dewi kembali dikeesokan harinya. Disaat matahari kembali terbit. Setelah mempertimbangkan stamina yang mulai berkurang, kami sepakat untuk segera bergegas mengambil langkah pulang sebelum pasang besar laut mencapai dataran pantai yang lebih tinggi. Aku menawarkan pilihan dimana aku tetap berada ditempat Dewi hilang saat ini atau bertiga pulang bersama ketenda. Fikirku akan sangat bagus sekali saat Dewi muncul ada seseorang yang menemaninya kembali ketenda.

"Dewa tinggal saja disini, sampai kami kembali lagi esok hari" Kemala sedikit menahan isak tangisnya karena baru saja kehilangan teman terbaiknya.

"Sebaiknya kita pulang bersama, apapun yang terjadi, tidak mungkin kita pergi bersama dan pulang terpisah pisah" Fithar menghendaki untuk tetap pulang bersama.

"Sudah keinginanku sendiri untuk tinggal disini sampai Dewi kembali" ujarku singkat

"Sebaiknya kita pulang bersama Dewa, dan besok saat matahari terbit kita kembali kesini" pinta Fithar dengan mimik terlihat serius dibawah temaram malam. Ia sepertinya mengkhawatirkan staminaku yang juga mulai menurun akibat kelelahan jatuh bangun sebelumnya. Kemungkinan juga Fithar ingin menjaga staminaku yang masih tersisa untuk besok kembali melanjutkan kembali pencarian.

Sedang didalam lubuk hatiku terdalam ingin rasanya menemani Dewi. Aku meyakini ia tengah sangat ketakutan dengan kesendirian, meski aku sendiri tidak yakin kapan waktunya ia kembali.

Tetapi setelah melihat kondisi dua orang didepanku saat ini yang sangat kepayahan. Ditambah dengan tekanan psikologis karena temannya yang hilang belum bisa ditemukan, membuatku berfikir ulang untuk tidak menambah korban lebih banyak lagi.

Perasaanku berkecamuk antara kembali dan tidak, terbayang Dewi sendirian di tempat yang tidak dikehendakinya dan kami harus tega meninggalkannya sendirian. Di sisi lain Kemala dan Fithar juga harus kupastikan kondisi nya jangan sampai penatnya hingga membuat mereka berdua jatuh sakit. Keputusan yang sangat berat, akhirnya aku harus putuskan untuk kembali ke tenda sesegera mungkin.

Perasaanku terasa hampa. Aku takut tidak lagi bisa melihat Dewi. Saat ia senyum sekadarnya saja akan membuat hatiku berbunga-bunga. Sungguh sesuatu  hal yang sulit kuterima dan aku merasa diperlakukan tidak adil saat ini.

Protesku adalah aku yang selama ini tidak pernah merasakan ketertarikan dengan seorang gadis. Tetapi disaat hatiku ini lagi berbunga-bunga, justru kemudian sesorang yang kusayang tersebut hilang secara tiba-tiba. Tragisnya semuanya terjadi di depan mataku sendiri.

Langkah kakiku terasa gontai menapaki jalan pasir saat mengambil langkah arah kembali. Fikiranku tidak menentu. Tetapi sesaat kulihat Fithar dan Kemala, justru kembali membuatku bersemangat untuk membawa mereka ke tempat aman yaitu tenda kami secepatnya.

Saat perjalanan pulang kembali ke tenda, kembali aku berusaha untuk mencari jejak kaki sekeluarga yang kebetulan tadi berpapasan. Tapi tidak juga kutemukan sedikitpun jejaknya di sepanjang perjalanan ini. Sungguh suatu pertemuan dengan keluarga yang misterius.

Perjalanan kembali ke tenda sekitar 1,5 jam dengan kecepatan yang sudah sangat menurun. Rasa kalutku memenuhi isi kepalaku, karena tidak dapat kembali bersama secara utuh. Langkah-langkah kaki kami terasa cepat, meski dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Tumbuhan dan benda mati lainnya seperti berhenti menyapa kami sehingga mempercepat perjalanan pulang kami. Langkah-langkah kaki kami rasanya dipercepat untuk sesegera mungkin dapat mencapai tenda karena cuaca kembali mendung. Angin sudah mulai terasa berhembus kencang seperti akan segera turun hujan. Sedang langit yang tadi cerah segera berubah tertutup awan hitam membawa butir-butir hujan. Sepertinya setiap saat hujan bisa ditumpahkannya.

         Perasaanku sedikit tenang saat melihat tenda telah nampak dari kejauhan. Fithar dan Kemala berlari kecil untuk segera masuk ketenda. Sepertinya lampu badai yang kami hidupkan dan digantung di luar tenda saat pergi, sepertinya telah semuanya dalam keadaan mati karena dihembus angin malam yang semakin kencang.

"Dewi aaa.....apa yang telah kau lakukan kepada kami?" Teriak Kemala didalam tenda seperti menumpahkan perasaan kekesalannya. Seketika aku dan Fithar mendekat ke tenda untuk memastikan apa yang terjadi. Didepan mataku. Hingga mataku kugosok berulang kali untuk memastikan indra mataku masih normal. Kami memang sedang melihat Amarilis Dewi dengan santainya berbaring di dalam sleeping bag nya dengan sangat nyaman. Herannya Dewi seperti terheran-heran dengan Kemala yang sangat kesal hingga setengah emosional beteriak kepadanya.

Aku dan Fithar saling berpandangan diluar tenda dan hanya tertegun dengan apa yang sedang kami lihat dan apa yang sedang berlangsung didepan mata kami. Disamping keterkejutanku. Aku langsung merasa sangat lega karena orang yang kusayangi telah berada dalam kondisi aman dan nyaman dalam kantong tidurnya. Meski menimbulkan banyak pertanyaan lain dikepalaku. Tetapi sepertinya harus kutahan untuk kutanyakan sampai esok hari menjelang dan semua dalam keadaan stamina yang stabil. Terdengar juga olehku Kemala sepertinya juga tenggelam dalam kesunyian karena mungkin kelelahannya tampak langsung jatuh tertidur. Tetapi kuberharap yang Kemala tidak memperpanjang permasalahannya dengan Dewi yang sebelumnya seolah-olah mempermainkannya.

Karena kelelahan yang mendera tidak banyak pilihan yang dilakukan olehku dan Fithar, kecuali secepatnya membaringkan badan sampai semua terlelap dalam keheningan dinihari yang dingin. Tidur terlena dibuai oleh alunan deru pohon pinus yang selalu tertiup angin. Diluar tenda hujan deras turun, sehingga menambah nyenyak tidur kami semua.

******

         Subuh menjelang. Garis-garis warna merah tampak bersinar dilangit timur. Disampingku Fithar masih terlelap. Terdengar dengkur tidurnya yang berirama teratur serta nafasnya terlihat turun naik dengan irama konstan, sepertinya lelah tadi malam masih menderanya.

Segera aku bergegas keluar tenda untuk membuat api unggun.  Api yang menyala juga akan digunakan membuat minuman yang bisa menghangatkan tubuh serta memasak mie instan dipagi hari.

Disela kesibukanku menyalakan api unggun Secara tidak sengaja aku menoleh ke tenda Kemala dan Dewi. Dibalik temaram cahaya lampu badai dan sinar rembulan dilangit timur yang sinarnya sudah sangat meredup. Hanya dengan bantuan cahaya alakadarnya tersebut, jelas terlihat dengan mata kepalaku sendiri, disana ada 2 orang yang tengah mengobrol asyik sangat serius. Sesekali terdengar ketawa yang ditahan. Aku mengenali betul jika yang tertawa tersebut adalah Amarilis Dewi. Tetapi aku sama sekali tidak mengenali tawa lawan bicaranya sama sekali. Kadang terlihat olehku mereka seperti saling berbisik seolah-olah tidak ingin membangunkan Kemala yang masih kelelahan dan terbuai mimpi disamping mereka.

Rasa penasaran memuncak. Kemudian aku berusaha lebih mendekat ketenda yang terlihat ada aktifitas yang sedikit mencurigakan itu. Ingin sekali melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi didalam sana.

Kemudian tanpa aku duga sama sekali. Jantungku terasa mau lepas dan terasa darahku berhenti mengalir dengan apa yang kulihat itu.

           Astaghfirullahaladzimm!!! itukan ibu yang selalu berjalan di belakang bapak misterius yang kami jumpai malam tadi. Seorang wanita anggun, dan  tidak berkata sepatah katapun saat sedang berpapasan sebelumnya gumamku dalam hati. Aku seperti orang kehabisan akal untuk beberapa saat.  Fikiranku kalut dengan apa yang terlihat olehku subuh ini.

Aku berusaha berjalan mengendap-endap kembali ke tempatku semula untuk menenangkan diri. Kembali aku menyalakan api unggun. Seolah-olah tidak mengetahui apa yang sedang terjadi ditenda sana. Tetapi, tetap saja fikiranku selalu diganggu oleh penglihatan terakhir dimana tampak Kemala yang tertidur pulas dan disampingnya Dewi justru sedang asyik mengobrol serta bercanda dengan tamunya salah seorang wanita misterius dinihari tadi.

           Yang menjadi pertanyaanku adalah urusan apa wanita tersebut berada disana?,kemanakah keluarga mereka yang lainnya?, dan tentu saja tidak mungkin untuk mereka semua tidur berkumpul dalam satu tenda kecil itu.

Tanpa kusadari waktu subuh telah masuk. Jika di kampung saat ini, pastilah akan ada suara azan yang menggema. Disana, ditenda Dewi lagi lagi terlihat olehku ada sesuatu yang janggal. Persis sesaat sebelum suara azan berkumandang, itulah saat kumelihat seperti ada sekelebat cahaya dari dalam tenda  yang menembus keluar terbang menjauhi tenda Kemala dan Dewi. Aku berusaha untuk tidak mengedipkan mata sesaatpun.

Dibantu cahaya redup lampu badai didalam tenda, ternyata kulihat Dewi kembali seperti orang yang tertidur pulas bersama Kemala disampingnya. Mereka sepertinya masih mengistirahatkan anggota tubuhnya berselimut hembusan dingin angin laut subuh yang bagiku justru sedikit hangat setelah melihat kejadian-kejadian aneh barusan. Mudahan mereka tetap nyaman untuk melanjutkan tidur lebih panjang,mungkin hanya penglihatanku saja yang terganggu akibat terlalu kelelahan, aku membatin berusaha untuk menetralkan situasi.

Akupun lanjut terus menjaga nyala api unggun, agar saat mereka bangun, air panas telah tersedia dan sarapan mie instan bisa segera disiapkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun