Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Mati (7 Bertemu Keluarga Misterius)

30 Januari 2022   05:28 Diperbarui: 30 Januari 2022   05:29 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah pribadi dengan pictsart app

Di bawah keremangan cahaya rembulan. Sejenak kumenengadahkan kepala keatas. Terlihat posisi bulan diarah angka jam pukul sebelas. Kembali kulirik jam tanganku. Secara samar jam menunjukkan pukul 11.40 malam. Beberapa menit kedepan hari akan segera berganti.

"Kita lanjut menuju ke utara!" seruku kepada ketiga mahasiswa Indrapura yang tampak seperti mematung. Semuanya masih terpana, memandang kearah dimana penyu tersebut menghilang perlahan berenang dalam arus yang gelombang.

"Siappp!," balas Fithar bersemangat yang tubuhnya seperti masih dialiri adrenalin semangat kebahagiaan.

"Rasanya penyu-penyu yang lain sedang menunggu kita!"sambung Kemala dengan suaranya yang terdengar manja sedikit bercanda. Sedang Dewi terlihat mengangguk saja sebagai isyarat menyetujui perkataan Fithar dan Kemala. Dewi kemudian justru segera berlalu dihadapan kami. Ia berjalan mendahului dengan langkah-langkah yang pasti. Kumenduga ia sudah tidak sabar ingin menjadi orang pertama yang dapat menjumpai penyu-penyu berikutnya.

Dilangit utara terlihat arak-arakan awan kelabu. Diatas kepala kami ada awan hitam yang menggantung yang seperti ikut serta berjalan beriringan menemani kami. Sinar rembulan menjadi tertahan untuk sekedar menerangi penglihatan kami. Jelas, yang ada hanya  tinggal cahaya temaram yang cendrung kelam melingkupi persekitaran kami. Tetapi nyanyian burung tarah papan dengan ketukan-ketukannya yang konstan tetap terdengar jelas melengking sempurna seolah menyemangati langkah-langkah kami menuju ke utara. Bahkan bunyi ketukan-ketukan suaranya bertambah nyaring sampai digendang telingaku.

          Sesaat kemudian Dewi berteriak seketika seperti kegirangan seraya mengejutkan kami.

"Aku melihat ada orang di kejauhan sana!, apakah mereka seperti kita mencari penyu juga?" tanya Dewi kepadaku, dan sekaligus membuatku sangat terperanjat. Tentu saja aku belum bisa memastikannya. Aku berusaha sekuat tenaga memfokuskan retina mataku dibawah cahaya yang sangat temaram cendrung gelap, untuk memastikan kembali apa yang barusan kami lihat nun sana. Sampai aku berhenti sejenak dan berusaha mempicingkan sebelah mata beberapa kali untuk memastikan siapa sebenarnya sekelompok orang yang sedang berjalan disana. Karena perjalanan berlawanan arah, akhirnya semakin lama jarak kami tambah mendekat. Setelah sekitar 20 menit berjalan saling berlawanan arah, kemudian kami akhirnya mulai berpapasan.

Aku terdiam seribu bahasa. Aku tidak mau tergesa-gesa memastikan apa yang dapat terlihat oleh indra mataku langsung saat ini. Seperti yang kufahami dibulan Mei, adalah musim puncak penyu-penyu naik ke darat untuk bertelur. Terkadang hal tersebut mendorong banyak orang-orang dari kampung Keramat yang ingin tahu dan menyaksikan langsung penyu sedang bertelur. Kemudian mereka sekaligus akan mengambil sekadarnya telur-telur yang mereka jumpai untuk mereka konsumsi.

Dengan bantuan cahaya bulan yang remang-remang karena awan hitam terus menggelayut dibawahnya, sehingga hanya sedikit bintang yang masih terlihat dilangit. Naluri keingintahuanku muncul untuk mencari tahu siapakah sebenarnya orang-orang tersebut?. Siapa tahu orang sekampungku yang kukenal baik dan mempunyai tujuan yang sama dengan kami.

Akhirnya dalam waktu yang singkat. Ditambah upayaku untuk terus dapat memfokuskan penglihatan mata pada objek bergerak didepan kami. Akhirnya perlahan dapat kukenali orang-orang misterius ini.

Mereka adalah sekumpulan orang yang lagi tergesa-gesa menuju ke arah selatan. Persis menuju kearah, dimana tenda kami didirikan. Ada seseorang pria gagah yang berwajah tegas seperti orang kebanyakan dikampungku. Berambut hitam dan lurus, berhidung mancung dengan warna kulit agak putih. Badannya tampak atletis dengan tinggi lebih kurang 170 sentimeter. Ditangan kanannya tampak ia memegang erat ikatan sebuah karung goni putih yang diletakkan pada bagian pundak kirinya. Jalannya sangat stabil meski terlihat sedang membawa beban sangat berat.

Pria asing yang didepan sekali itu justru menyapaku terlebih dahulu.

           "Mau kemana, Nak?" Ujarnya dengan suara agak berat, tapi sangat jelas terdengar olehku. Meski suara beratnya kadang beradu oleh deru ombak pantai. Saat ini seakan-akan suara gemuruh ombak mengganas tiba-tiba. Ketiga tamuku tampak santai bersaha, mungkin mereka biasa-biasa saja.

 "Sebaiknya segera pulang saja Nak!, karena di sebelah utara cuaca mulai gelap dan sebentar lagi akan turun hujan lebat" sambungnya dengan ekspresi datar dan sepertinya ia tidak mau untuk memperlihatkan wajahnya secara langsung.

"Kami ini sedang bergegas!, langkah kaki dipercepat, agar pakaian kami tidak basah kena hujan saat menuju ke selatan," kuperhatikan telunjuknya mengarah persis kearah Pulau Penyu dengan mantap. Tiada kesempatan waktu lagi kepadaku untuk membalas pernyataannya kembali.

Kejadiannya seperti berlalu dengan cepat. Perhatianku kemudian beralih ke seorang perempuan muda yang selalu mengikutinya dari belakang. Dugaan kuatku yang bersangkutan adalah istrinya. Ia seorang wanita yang cantik rupawan seperti gadis Melayu. Ukuran tubuhnya proporsional. Tingginya semampai dan hampir menyamai tinggi pria didepannya. Dugaan kuatku mereka adalah pasangan suami istri. Istrinya ini berwajah oval, berkulit putih dan juga berhidung bangir. Pakaiannya terlihat sangat padu dengan kerudungnya berwarna kuning gemerlap oleh taburan hiasan benang emas. Kain kerudung yang dipakai tampak berpendar-pendar ditimpa cahaya bulan purnama yang masih mampu menerobos segumpalan awan mendung diatas kepala kami.

Malahan perempuan yang berjalan sedikit di belakang suaminya inilah justru yang sangat memperhatikan kami satu persatu tanpa kecuali. Tetap hening tanpa kata-kata. Tidak ada suara sedikitpun yang keluar dari bibirnya. Hanya tampak senyum tipis dari mimik wajahnya yang cantik natural. Sedang dua anaknya yang berada di depan dan sedari tadi berlarian kecil kurang jelas kulihat. Tetapi terlihat sekilas ekspresi wajah anak-anak mereka sangat bergembira menikmati perjalanan malam itu. Tampak anak itu berlari-lari kecil sambil berpegangan tangan dan kadang berkejar-kejaran layaknya anak-anak seusia mereka.

Rentetan kejadian-kejadian saat pertemuan tersebut terjadi kuperkirakan berlangsung dibawah 1 menit. Kemudian masing-masing berlalu sesuai tujuan perjalanan masing-masing.

Segera setelah semuanya berlalu. Teringat olehku untuk mengucapkan sesuatu kepada keluarga misterius tersebut.

"Terimakasih Pak, telah mengingatkan kami," jawabku singkat namun terlambat. Temanku yang lain juga ikut menggangukkan kepalanya masing-masing sebagai tanda setuju dengan apa yang barusan kuucapkan

Belum lama berlalu. Dewi tiba-tiba berkata-kata sambil menutup hidungnya berkata.

          "Bau anyir apa ini?, apakah ada bangkai ikan besar atau penyu yang mati terdampar?" Katanya dengan lugas tanpa beban.

Bagi kami anak kampung hal demikian sangat terlarang untuk dikatakan. Terutama disaat kondisi kita berada dialam bebas. Aku sedari kecil sudah diajarkan untuk menghormati  adanya kehidupan lain diluar, yang tidak bisa ditangkap oleh panca indra manusia. Termasuk mungkin apa yang baru saja tercium oleh hidungnya Dewi saat ini.

           Aku kembali merasa tidak nyaman dengan situasinya. Sangat berharap awan hitam yang menggelantung dibawah rembulan sebelumnya, agar segera bergeser untuk memberikan kesempatan kepadaku untuk melihat lebih jelas semua benda yang ada disekelilingku.

Sebelumnya aku memang ada mencium semerbak harum melati, sesaat terakhir kami baru saja beranjak dari titik lokasi tempat penyu berenang dan kemudian menghilang dari penglihatan. Aku menduga Kemala dan Dewi menggunakan parfum ekstra berlebihan selama di perjalanan  Karena jujur saja bau parfum melati yang membuat suasana hati tenang tersebut mulai sering menguar indra penciumanku sejak tiga tamu ini bertandang kerumahku.

           "Apakah kita akan berbalik arah untuk kembali ke tenda?" Pungkasku memecah kesunyian. Hal itu kukatakan seiring bulu kudukku terasa serempak bergidik tanpa diminta. Tubuhku juga terasa secara tiba-tiba memasuki hawa udara yang sangat dingin. Tawaran itu sengaja aku lontarkan untuk menghilangkan ketakutanku setelah bau anyir air laut yang sangat menyengat tiba-tiba menyergap kami. Meski yang pertama kali menciumnya adalah Dewi. Kemudian diikuti serentak oleh kami yang reflek menutup hidungnya masing-masing.

         "Kita seharusnya tidak kembali ke tenda" Fithar menjawab dengan cepat kemudian disambungnya kembali

"Kita masih penasaran melihat penyu Tempayan dan Belimbing yang ikonik pulau ini!. Rencana kembali ketenda tetap jam 2 subuh," kata Fithar mantap dengan panjang lebar.

"Sekarang pukul 12.15, artinya mungkin kita masih dapat melihat penyu-penyu yang fenomenal itu," ujar Kemala yang katanya seorang aktifis penyayang binatang dan sepertinya senada dengan Fithar agar jangan kembali ketenda saat itu.

Disepanjang perjalanan tadi, Kemala sempat menjelaskan bahwa penyu Tempayan adalah salah satu spesies penyu terbesar. Panjangnya bisa mencapai 2 meter dengan berat mencapai 4 ton. Warna karapas nya coklat kemerahan.Kepalanya besar dengan paruh mulut kelihatan bertumpuk-tumpuk. Seperti penjelasan dari seorang guru biologi yang sangat menguasai materinya.

Kemudian Kemala lanjut menerangkan. Sedangkan penyu Belimbing merupakan penyu dengan spesies besar karena ukuran panjang bisa mencapai 2,75 meter dengan berat mencapai 9 ton, cuman sayang bertelurnya setiap 2 atau 3 tahun sekali dengan jumlah telur hanya antara 60 sampai dengan 120 Butir.  Aku kagum dengan pengetahuan mereka yang luas tentang penyu yang ada kampung Keramat miliki.

         "Iya, aku masih ingin ke Tanjung Dara!" Dewi meraih tanganku, "terkenal dengan batu granit-granitnya yang besar. Jika dibawah sinar bulan akan tampak beberapa bagiannya berkilauan". Dewi kembali menambahkan penjelasannya seolah memohon untuk kami tetap meneruskan perjalanan malam itu. Meski kusadari dan diceritakan banyak oleh orang orang kampung, bahwa Tanjung Dara sebenarnya adalah rumahnya mahluk-mahluk yang tidak kasat mata. Tetapi informasi tersebut kupendam sedalam-dalamnya, hanya untuk diriku saja.

Dari pernyataan ketiga tamuku itu, semakin menambah keraguanku berbalik arah untuk kembali ketenda saat itu. Artinya kami tetap terus melanjutkan petualangan pada dinihari itu.

Tapi akan aku coba yakinkan sekali lagi, untuk memastikan apakah meneruskan perjalanan atau kembali. Terutama kepada Dewi yang mencium bau anyir terlebih dahulu. Tujuanku agar keputusan melanjutkan perjalanan tidak disesali kemudian hari.

"Bagaimana Dewi, apakah kita harus kembali atau meneruskan sesuai rencana kita untuk melihat penyu dan batu granit besar di Tanjung Dara" kataku tenang sambil menunggu jawaban cepat darinya . Fikirku jawaban yang keluar dari bibir Dewi akan menjadi kata kunci untukku mengambil keputusan berikutnya

Dewi menghentikan sejenak langkahnya. Kemudian menoleh kepadaku untuk menjelaskan.

         "Jika melihat saran keluarga yang kita temui barusan, seharusnya kita kembali. Tetapi agenda besok kita tidak disini lagi tetapi akan bermalam di jermal. Jadi ya seharusnya kita lanjut saja, Dewa." alasan Dewi meyakinkanku untuk kami tetap meneruskan petualangan bersama malam itu.

Meski dalam hatiku terasa berat untuk melanjutkan perjalanan malam ini sesuai rencana. Tetapi karena namanya saja untuk menyenangkan tamu yang  datang dari jauh, tambahan lagi aku kalah suara, sehingga terpaksa aku melanjutkan kembali perjalanan ini sesuai rencana yang telah disusun sebelumnya.

           10 menit perjalanan ke utara berlalu. Kami menjumpai sungai kecil, airnya sangat dangkal yang dalamnya hanya semata kaki. Tetapi air yang mengalir dari sumber air diatasnya terus mengalir kelaut. Terlihat sangat  jernih dan sangat dingin menyegarkan saat menyentuh kulit kaki.

           Tetapi. segera tubuhku disergap perasaan gemetar dan dadaku berdegup kencang. Dimanakah gerangan jejak-jejak kaki keluarga misterius setelah diseberang sungai dangkal ini? Aku membatin. Aku masih mencoba meyakinkan, apakah mereka menyusuri sungai kecil ini dari darat menuju ke bibir pantai?. Tetapi kondisi semak belukar diatas pantai dan alur air yang kecil ini tidak memungkinkan orang melalui jalur selain bibir pantai yang di lewati saat ini. Aku berdiri sebentar. Kuperhatikan kembali sejenak sekelilingku, apakah mereka menggunakan jalan lain di sekitar bibir pantai ini atau jalur semak semak lainnya didaratan pantaisana?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mulai berkecamuk didalam kepalaku.

Kulihat-lihat lagi jalur-jalur yang kemungkinan dilewati oleh keluarga misterius tadi, tetapi saat ini dengan situasi kondisi air pasang laut besar. Aku memastikan jalur yang mereka lewati pasti akan persis sama seperti jalur yang saat ini kami lewati. Titik. Itulah kesimpulanku.

Aku kembali mencoba menoleh kebelakang, dan benar saja sekeluarga yang berjalan lebih lambat dari kami serta beriringan dengan 2 anak kecilnya seperti menghilang ditelan bumi. Tanpa kusadari bulu kudukku berdiri tanpa kendali. Terasa merinding menjalar keseluruh tubuhku tanpa bisa kucegah sedikitpun.

Sunyi sendiri melingkupi perasaanku saat itu. Hembusan dingin angin laut malah membuatku bertambah merinding. Sekelilingku terasa membeku. Kecuali deburan ombak pasang yang terus bergemuruh hebat menghempas pantai. Dilangit ada sepasang burung gagak hitam yang terbang kesana kemari diatas kami. Bunyi burung tarah papan tetap memainkan melodi ketukan demi ketukan secara konstan. Aku tidak berharap semuanya terasa membeku saat ini, karena pengalaman batin yang barusan saja kualami.

Seharusnya keluarga misterius itu masih dapat aku lihat dengan jelas. Bulan kembali terang benderang. Awan hitam yang menggantung telah tersapu angin laut ke daratan.

Darahku kembali berdesir dan terasa sendi-sendiku lemas setelah melewati sungai kecil tersebut. Ternyata tidak kutemukan tapak kaki mereka sama sekali, karena tidak ada jalan menuju kedarat di sepanjang jalan dibibir pantai tersebut dimana semak-semak belukarnya tebal serta tinggi.

Aku mencoba menyimpan semua kekalutan setelah apa  yang kulihat dan alami pada diriku saat ini. Aku harus meyakinkan kepada tamuku seolah tidak ada hal ganjil apapun. Sampai saat ini, yang justru sangat bersemangat yaitu ketiga tamuku ini seolah tidak terbendung lagi untuk menjelajahi setiap jengkal pulau yang eksotis ini sambil menuju Tanjung Dara.

Aku berharap bahwa kejadian didepan kami dinihari nanti, hanyalah hal-hal yang menyenangkan tanpa ada sesuatu yang perlu aku khawatirkan. Sampai terakhir dengan kami kembali ketenda lagi menjelang subuh nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun