Anak-anak kecil terlihat bersukacita bermain air tanpa rasa takut sedikitpun di sebuah  jamban yang  mengapung sempurna diatas air. Air berarus deras yang mengalir dari hulu seperti bersenyawa dengan pekatnya air yang berwarna coklat kemerahan mendekati kehitaman. Usia anak-anak itu rata-rata dibawah 10 tahunan. Silih berganti mereka saling kejar, berlari, terjun dan berenang sesukanya. Jantungku berdegup kencang saat menahan ngeri melihat mereka berlompatan dengan berbagai gaya terjun ke air, tetapi herannya anak-anak itu justru  tertawa lepas. Â
" Anak kecil berenang saling kejar tanpa takut disungai berarus deras?", Â gumamku tanpa sadar. Kemudian secara tidak sengaja didengar oleh Bestari, pengawal lokalku yang duduk persis disamping kananku dalam pelayaran pertamakali mengarah ke hulu sungai.
" Pemandangan biasa saja disini, Tuan Van Dijk!" sahut Bestari datar seolah tahu apa yang sedang kufikirkan atas aktifitas yang barusan kulihat ditepi sungai itu. Mungkin pemandangan biasa saja bagi penduduk lokal disini fikirku membatin, karena ini adalah pengalaman pertamaku berlayar menyusuri hulu sungai Sambas Darussalam.
Udara sejuk menyergap kulit meskipun disiang hari yang terik. Kami melewati beberapa perkampungan kecil yang ditandai dengan keberadaan rumah-rumah yang berada diatas permukaan air mengikut tinggi rendah pasang surut air.Â
Rumah apung yang disebut lanting[1] oleh warga lokal tersebut pondasinya berasal dari beberapa jenis pohon lokal seperti ulin (Eusideroxylon zwageri) yang bisa bertahan sampai ratusan tahun, giyam (Cotylelobium spp), takkam(Hopea spp) dan tammau (Cratoxylum cochinchinense). Batang-batang pohon besar tersebut disatukan dengan ikatan yang kokoh sebagai pondasinya.
 Melihat betapa penasarannya aku terhadap rumah lanting-lanting itu, sehingga aku diberikan kesempatan untuk bertamu disalah satu kerabat Bestari dalam perjalanan kehulu.
"Tidak ada yang perlu ditakutkan, Meneer!", sahut Bestari sambil tersenyum simpul karena ia tahu aku sangat ketakutan melangkahkan kaki di rumah lanting tersebut yang langsung terasa berayun lembut.
Aku sesaat menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum sendiri, karena takjub sambil berkata kepada Bestari
"Pengetahuan dengan kearifan lokal yang sempurna" fakta langsung yang kubisikkan setengah berbisik didekat telinga Bestari. Ia seorang pemuda lokal yang kemampuan bahasa Belandanya sangat baik. Aku masih berdecak kagum dan berusaha menyelidik lebih jauh rumah lanting itu yang berada ditepian sungai tersebut.
Didalam rumah terapung ini, kembali udara terasa dingin dan segar. Semilir angin sungai seperti bebas keluar masuk melalui pintu dan jendela yang terbuka lebar. Atap yang disusun seperti daun sirih berasal dari daun rumbia telah menahan hangatnya sinar matahari tropis yang terik.
Beberapa rumah lainnya terlihat atap yang berasal dari bilah-bilah kayu tipis, dimensinya tiap bilah nya lebih kurang: lebar 8 cm, panjang 30cm dan tebal 5cm .Demikian juga dinding-dinding rumah, terbuat dari papan kayu yang disusun rapi.Â
Rumah lainnya terlihat dindingnya masih banyak terbuat dari atap rumbia yang dalam jarak tertentu ditahan dengan bilah-bilah bambu agar susunannya tidak berantakan saat tertiup angin. Sedang penghubung  lanting kedaratan adalah kayu  persegi lebar untuk titian kaki melangkah yang diikatkan sangat kuat dengan tali ke pohon besar ditepian sungai, agar lanting tidak hanyut oleh derasnya pasang surut air sungai.
Ada 2 kejadian yang sangat mengesankan bagiku saat berada di rumah lanting yaitu:
Menenun, perhatianku langsung tertuju kepada kegiatan seorang perempuan muda sambil mengasuh anak balitanya yang tidur sangat nyenyak dibuaian, terlihat sedang  duduk serius menghadapi benang-benang dengan susunan yang rumit. Benang panjang diurai, dan disusun satu persatu secara horizontal dalam kolom kayu berbentuk segi empat.Â
Kemudian perlahan lembar demi lembar benang ditenun sampai menjadi sebuah kain. Terdengar ritmis teg tog teg tog ret ..., bunyi hentakan kaki dan tangan sipenenun untuk memperkuat susunan benang yang sedang ditenun. Bunyinya bersahutan diantara rumah lanting  yang  satu dan lainnya di siang yang terik menjelang sore itu.
"Mereka menjalankan perintah agama, Meneer!" Bestari berkata pelan, aku mengernyitkan dahi karena perintah agama biasanya berhubungan dengan menjalankan ritual ibadah khusus.
Bestari menceritakan filosofi aktifitas menenun yaitu kegiatan utama perempuan di Kerajaan Sambas Darussalam. Dengan menenun kain, istri-istri akan tetap berada dirumah sambil mengasuh dan membesarkan anak, mengajar baca Quran, mengasah ketelitian dan kesabaran sambil mengurus rumah tangga dan membantu suami dalam mencari nafkah.
Berikutnya peristiwa yang mengesankanku adalah pesta perkawinan, diperjalanan ini juga aku mencatat sebuah peristiwa dimana sebuah keluarga yang sedang menggelar hajatan pernikahan. Orang-orang kampung terlihat ramai berkumpul dengan pakaian melayu. Terdengar olehku seperti nyanyian sayup-sayup lagi merdu. Lagu yang dinyanyikan oleh para pria secara kompak dan berirama khusus.
"Pesta adat perkawinan,"Bestari mendahului menjelaskan sebelum kutanyakan. Â Telunjuknya jelas mengarah ke sebuah bangunan tempat berkumpul pria-pria yang duduk berbaris rapi berhadap-hadapan.
 "Tarup[2] itulah sumber bunyi," kembali Bestari memastikan kepadaku apa yang sedang kami lihat dan dengar bersama. Aku membetulkan kacamataku beberapa kali agar dapat memastikan kembali sumber suara dan aktifitas orang-orang disekitarnya.Â
Kemudian dia menjelaskan detil tentang tarup yaitu bangunan khusus terbuka tanpa dinding yang berbentuk limas yang dibuat secara bergotong royong. Tamu laki dan perempuan berada di tarup yang terpisah. Dengan panduan seseorang pemandu lagu, Â para pria lainnya tampak duduk rapi dikiri kanannya seraya mengalunkan lagu zikir memuji Nabi Muhammad dalam bahasa Arab dengan irama bergantian yang terkadang bersemangat dan kemudian syahdu.
Â
Perjalanan yang telah membuatku terkesima karena saujana alam yang sangat berbeda dengan apa yang kulihat di negeriku Belanda yang semuanya tampak seragam. Melayari sungai berkelok-kelok yang bentuk polanya seperti ular raksasa dimana arah ekornya tampak bersembunyi nun dipelukan gunung berwarna biru.
Â
Terlihat berjejer pohon-pohon  berbaris rapi yang menyerupai pagar betis sekaligus benteng alam
Â
"Pohon Putat (Barringtonia racemosa), menahan pengikisan tanah oleh air di tebing sungai" Bestari menunjuk sebentuk barisan pohon-pohon dan seolah tahu apa yang harus dijelaskannya kepadaku.
Â
"Pucuk segarnya dapat dijadikan sayur ulam segar" aku terus saja melongo mendengar penjelasan sambil memperhatikan secara serius vegetasi yang telah dipotong pendek oleh penduduk ditepian sungai itu. Tampak seperti barisan tentara yang siap berperang.
Â
Perjalanan kapal layar terus melaju melawan arus ke hulu. Terus kuperhatikan sekeliling sambil sesekali membetulkan kacamataku agar lebih fokus melihat objek-objek yang menarik perhatianku.
Â
Ada sejenis tanaman semak dikirikanan sungai. Daunnya memanjang serta pinggir daunnyanya penuh duri menjadi perhatianku berikutnya. Harum semerbak menyeruak dimana-mana. Tumbuh seperti bertumpuk-tumpuk dan memenuhi pinggiran sungai. Bestari menjelaskan itulah tumbuhan yang orang lokal sebut rasau (Pandanus Helicopus). Beberapa penduduk lokal terlihat asyik memancing udang  galah (Macrobrachium rosenbergii)  yang bercapit besar berwarna hijau dan kadang biru kehitaman.
Â
" Semakin kehulu arus airnya tampak menghitam kemerahan, Â tentulah juga buaya senang berdiam disana" ungkap Bestari sembari tersenyum dan seperti mengusik kengerianku. Aku memandangnya dengan serius untuk meminta penjelasannya lebih lanjut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H