Beberapa rumah lainnya terlihat atap yang berasal dari bilah-bilah kayu tipis, dimensinya tiap bilah nya lebih kurang: lebar 8 cm, panjang 30cm dan tebal 5cm .Demikian juga dinding-dinding rumah, terbuat dari papan kayu yang disusun rapi.Â
Rumah lainnya terlihat dindingnya masih banyak terbuat dari atap rumbia yang dalam jarak tertentu ditahan dengan bilah-bilah bambu agar susunannya tidak berantakan saat tertiup angin. Sedang penghubung  lanting kedaratan adalah kayu  persegi lebar untuk titian kaki melangkah yang diikatkan sangat kuat dengan tali ke pohon besar ditepian sungai, agar lanting tidak hanyut oleh derasnya pasang surut air sungai.
Ada 2 kejadian yang sangat mengesankan bagiku saat berada di rumah lanting yaitu:
Menenun, perhatianku langsung tertuju kepada kegiatan seorang perempuan muda sambil mengasuh anak balitanya yang tidur sangat nyenyak dibuaian, terlihat sedang  duduk serius menghadapi benang-benang dengan susunan yang rumit. Benang panjang diurai, dan disusun satu persatu secara horizontal dalam kolom kayu berbentuk segi empat.Â
Kemudian perlahan lembar demi lembar benang ditenun sampai menjadi sebuah kain. Terdengar ritmis teg tog teg tog ret ..., bunyi hentakan kaki dan tangan sipenenun untuk memperkuat susunan benang yang sedang ditenun. Bunyinya bersahutan diantara rumah lanting  yang  satu dan lainnya di siang yang terik menjelang sore itu.
"Mereka menjalankan perintah agama, Meneer!" Bestari berkata pelan, aku mengernyitkan dahi karena perintah agama biasanya berhubungan dengan menjalankan ritual ibadah khusus.
Bestari menceritakan filosofi aktifitas menenun yaitu kegiatan utama perempuan di Kerajaan Sambas Darussalam. Dengan menenun kain, istri-istri akan tetap berada dirumah sambil mengasuh dan membesarkan anak, mengajar baca Quran, mengasah ketelitian dan kesabaran sambil mengurus rumah tangga dan membantu suami dalam mencari nafkah.
Berikutnya peristiwa yang mengesankanku adalah pesta perkawinan, diperjalanan ini juga aku mencatat sebuah peristiwa dimana sebuah keluarga yang sedang menggelar hajatan pernikahan. Orang-orang kampung terlihat ramai berkumpul dengan pakaian melayu. Terdengar olehku seperti nyanyian sayup-sayup lagi merdu. Lagu yang dinyanyikan oleh para pria secara kompak dan berirama khusus.
"Pesta adat perkawinan,"Bestari mendahului menjelaskan sebelum kutanyakan. Â Telunjuknya jelas mengarah ke sebuah bangunan tempat berkumpul pria-pria yang duduk berbaris rapi berhadap-hadapan.
 "Tarup[2] itulah sumber bunyi," kembali Bestari memastikan kepadaku apa yang sedang kami lihat dan dengar bersama. Aku membetulkan kacamataku beberapa kali agar dapat memastikan kembali sumber suara dan aktifitas orang-orang disekitarnya.Â
Kemudian dia menjelaskan detil tentang tarup yaitu bangunan khusus terbuka tanpa dinding yang berbentuk limas yang dibuat secara bergotong royong. Tamu laki dan perempuan berada di tarup yang terpisah. Dengan panduan seseorang pemandu lagu, Â para pria lainnya tampak duduk rapi dikiri kanannya seraya mengalunkan lagu zikir memuji Nabi Muhammad dalam bahasa Arab dengan irama bergantian yang terkadang bersemangat dan kemudian syahdu.