Â
***
Â
Malam itu aku telah bersiap diri, sangat formal dengan mengenakan pakaian kebesaranku. Sebuah mantel biru yang pada bagian belakang tubuh menjuntai sampai berada sedikit diatas bagian lutut belakang. Rumbai-rumbai benang berwarna perak keemasan seperti ditumpuk dipundak kiri dan kanan, ditambah ornamen benang emas dibagian krah baju dan dibeberapa bagian yang dijahitkan dekat kancing baju. Tambahan, tidak lupa aku memakai wig rambut berwarna putih ikal yang terpasang sangat stabil dikepalaku.
Â
Sesuai dengan statusku yang berpangkat letnan kolonel. Derajat kepangkatan militer yang termasuk di jajaran perwira tinggi militer kerajaan. Tentu banyak kemudahan aku dapatkan termasuk beberapa prioritas pelayanan khusus selama jamuan penting dilaksanakan, seperti posisi duduk di prioritaskan selalu didepan dan saat menyantap hidangan pasti dimeja kehormatan.
Â
Sampai pada suatu saat dalam sebuah perjamuan makan malam yang sering diadakan oleh pejabat Eropa membuatku sangat terkejut sekaligus bangga. Disana ditampilkan tarian lokal pribumi yang wajah penari utamanya sangat kukenal baik. Dia adalah Mayang gadis belia yang menurutku sangat matang sebelum waktunya. Malam itu ia menarikan tari topeng sambil diiringi musik pengiring. Semua tamu yang hadir terhibur dan terlihat sangat menikmati penampilannya malam itu.
Â
 "Kaukah ini Mayang?," kusapa gadis yang baru saja tampil tersebut dalam bahasa Melayu.
Â